NovelToon NovelToon
Di Ujung Cakrawala

Di Ujung Cakrawala

Status: sedang berlangsung
Genre:Nikahmuda / Anak Genius / Anak Yatim Piatu / Cinta pada Pandangan Pertama / Cinta Seiring Waktu / Transmigrasi ke Dalam Novel
Popularitas:1.3k
Nilai: 5
Nama Author: kaka_21

"Jangan pergi."
Suara itu terdengar lirih, hampir tenggelam oleh tiupan angin perbatasan. Tapi Cakra mendengarnya jelas. Shifa berdiri di hadapannya, mengenakan jaket lapangan yang kebesaran dan wajah yang tidak bisa menyembunyikan kecemasan.

"Aku harus."
Cakra menunduk, memeriksa ulang peluru cadangan di kantongnya. Tangannya gemetar sedikit. Tapi dia tetap berdiri tegak.

Shifa maju selangkah, menatap matanya.
"Kenapa harus kamu? Ada banyak tim. Kenapa kamu yang selalu minta maju paling depan?"

"Karena itu tugasku."
Cakra tidak mengangkat wajahnya.

"Bukan. Itu karena kamu terus ngejar bayangan ayahmu. Kamu pikir kalau kamu mati di sini, kamu bakal jadi pahlawan seperti dia?"

Diam.

"Aku bukan ibumu, Cakra. Aku nggak mau mengantar orang yang aku cintai ke pemakaman. Aku nggak sekuat Bu Dita."
Suara Shifa mulai naik.

Cakra akhirnya menatapnya. "Ini bukan soal jadi pahlawan. Ini soal pilihan. Dan aku sudah memilih jalan ini, jauh sebelum aku kenal kamu."

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon kaka_21, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 26: Demi Satu Nyawa

Hujan tak juga reda. Derasnya mengguyur desa kecil yang kini nyaris porak poranda. Di tengah genangan dan lumpur, suara jeritan warga bercampur dengan letupan suara yang memecah udara—keras, mendadak, dan mematikan. Cakra berlari dari satu rumah ke rumah lain, matanya tajam memindai sekitar. Tangan kirinya memegangi pundak seorang ibu yang gemetar, sementara tangan kanannya melindungi bocah laki-laki kecil yang menangis tanpa suara. “Ayo, kita hampir sampai,” ucapnya pelan, lebih kepada dirinya sendiri daripada kepada mereka.

Di belakangnya, pasukan bergerak cepat. Tim medis sudah siap di kendaraan, membantu para warga yang berhasil dievakuasi. Beberapa relawan sipil ikut mengangkat orang-orang tua, menyelimuti anak-anak yang basah kuyup dan menggigil. “Lewat sisi timur!” teriak Cakra pada radio komunikasinya. “Jalan barat terlalu terbuka, terlalu berbahaya!” Sisi timur desa itu sempit dan gelap, dipenuhi semak basah dan jalan berbatu yang licin. Namun hanya itu satu-satunya jalur yang tersisa untuk menyelamatkan lebih banyak nyawa.

Asap mulai menyelimuti beberapa rumah. Bau hangus menusuk hidung. Kabut tipis yang menggantung di udara membuat jarak pandang semakin terbatas. Dari kejauhan, terdengar letupan beruntun dari arah barat—gelombang perlawanan dari pihak lawan yang belum menyerah. Peluru nyasar menembus udara, menghantam pepohonan dan tembok rumah tanpa arah yang jelas. “Jangan berhenti! Lindungi warga lebih dulu!” suara Komandan terdengar jelas dari radio.

Salah satu anggota tim nyaris tergelincir saat menarik seorang lansia dari dalam gudang tua. Cakra sigap membantu, kemudian kembali menatap ke arah barat. Di balik asap, samar-samar ia melihat bayangan—lawan tak terlihat, tapi nyata. Ledakan kecil terdengar dari kejauhan, membuat tanah sedikit bergetar. Teriakan warga makin histeris. Anak-anak dipeluk erat oleh ibunya, mulut mereka dibungkam dengan sapu tangan agar tak menarik perhatian lebih. Cakra menoleh, melihat para warga mulai masuk satu per satu ke kendaraan. “Kita hampir selesai di titik ini,” ucapnya kepada seorang anggota tim. Tapi wajahnya belum tenang. Karena ia tahu, masih ada rumah yang belum dicek. Masih ada tangisan samar dari arah dalam desa. Dan selama itu masih terdengar, tugasnya belum selesai.

“Semua warga sudah aman! Kita harus mundur sekarang!” suara dari radio terdengar jelas di telinga Cakra, diiringi gemuruh kendaraan yang bersiap menarik diri dari lokasi. Tapi langkah Cakra terhenti. Di tengah derasnya hujan dan kekacauan yang belum reda, samar-samar ia mendengar sesuatu. Tangis kecil, lirih, namun menusuk ke relung hati. Seperti jeritan putus asa dari kehidupan yang belum mengerti apa-apa tentang dunia ini.

Tangisan bayi.

Cakra memutar tubuhnya, matanya menangkap rumah kecil di ujung jalan setapak. Atapnya nyaris runtuh, sebagian temboknya telah berlubang. Dari dalam rumah itu, suara tangisan tadi kembali terdengar—sedikit lebih keras, seolah memohon. “Masih ada bayi di dalam sana!” teriak seorang warga dari arah kendaraan, menunjuk dengan panik ke arah rumah itu. “Saya dengar sendiri!” Tapi tak ada yang cukup dekat untuk menolong. Tembakan dari arah barat semakin liar, menghantam pohon-pohon dan dinding rumah tanpa arah. Debu dan serpihan beterbangan. Semua tahu, langkah ke sana berarti menantang bahaya langsung.

Cakra menatap rumah itu sekilas. Lalu menatap ke arah timnya. “Mundur dulu. Pastikan semua warga selamat!” perintahnya cepat. Seseorang mencoba menahannya, tapi Cakra sudah lebih dulu bergerak. “CAKRA!” teriak rekannya.Terlambat. Tubuhnya melesat, menerjang hujan dan udara penuh debu. Ia melompat melewati pagar kayu yang patah, menepis pecahan kaca dan menunduk menghindari serpihan seng yang beterbangan. Derap kakinya menghantam genangan air, cipratan lumpur menodai seragamnya.

Satu suara terngiang kuat dalam kepalanya: “Jangan pergi.” Suara Shifa, lirih namun mengikat, seperti benang halus yang membelit hatinya. Tapi sekarang bukan saatnya ragu. Di dalam rumah yang gelap dan berantakan, Cakra menyusuri suara tangisan itu. Meja terbalik, kursi hancur, atap bocor. Hawa panas dan lembap bercampur dengan bau debu dan kayu basah. Di sudut ruangan, di balik lemari yang roboh, ia melihatnya.

Seorang bayi, dibalut selimut lusuh, tubuhnya kecil dan menggigil. Tangisannya melemah. Tanpa pikir panjang, Cakra mengangkat bayi itu, memeluknya erat di dada. “Tenang, Nak…,” bisiknya pelan. “Kita pulang.”

Tiba-tiba DUAARR!

Sebuah ledakan kecil terdengar tak jauh dari rumah itu, membuat lantainya berguncang. Tekanan udara membuat tubuh Cakra terpental ke belakang, menabrak dinding kayu yang hampir runtuh. Semua menjadi gelap sejenak. Namun tangisan bayi kembali terdengar. Itu cukup membuatnya bangkit, walau tubuhnya sakit dan kakinya goyah. Bajunya berlubang, sobek di beberapa tempat, ada darah di sudut bibirnya—tapi ia tetap berdiri.

Ia berlari keluar, menunduk di bawah hujan dan suara tembakan yang masih bersahutan. Langkahnya terseok, napasnya berat, tapi tangannya tak melepas sang bayi. Satu anggota tim berlari menyambutnya saat ia mendekat ke kendaraan. “Serahkan padaku! Cepat!” Dengan sisa tenaga, Cakra mengulurkan bayi itu. Senyumnya lemah, nyaris tak terlihat di bawah rintik hujan. Dan tepat setelah sang bayi berpindah tangan tubuh Cakra ambruk.

Di pos medis suasana terasa sunyi, Shifa menyiapkan peralatannya seperti biasa: alat infus, perban, tabung oksigen darurat, dan obat-obatan dalam boks logam. Tangannya bergerak cepat, terlatih,  Ia mencoba menepis rasa tak nyaman di dadanya. “Hujannya makin deras,” gumamnya pelan, menatap ke luar pos melalui jendela kecil yang berkabut. “Tapi kenapa… rasanya aneh banget hari ini.”

Ia berjalan menuju dispenser, ingin menenangkan diri sejenak dengan segelas air. Tapi baru saja ia menyentuh gelas, tangannya terpeleset dan PRANGG!

Gelas itu jatuh, pecah berkeping-keping di lantai. Temannya, suster Rina, refleks menoleh. “Eh! Kamu nggak apa-apa?” Shifa mengangguk pelan, berjongkok untuk memunguti pecahan kaca, tapi pandangannya kosong. Ada hal yg mengganggu di pikirannya. “Enggak tahu kenapa… hatiku gelisah banget.” Suaranya nyaris berbisik, tapi terdengar jelas. Rina mengernyit, ikut membantu memunguti pecahan. “Mungkin karena situasi di luar. Wajar, sih, kamu khawatir. Tapi semua pasti baik-baik aja, kok.”

Shifa tidak menjawab. Tangannya berhenti di udara, memegang sepotong kaca bening yang menangkap bayangan wajahnya sendiri dan di sana, dalam pantulan itu, ia melihat matanya sendiri yang mulai berkaca. Ia berusaha keras menahan perasaan yang bergolak. Dalam hatinya, ia berdoa.

“Tolong jaga dia….”

“Tolong, jangan ambil dia dariku seperti dulu Kau ambil Ayahnya…”

Dan saat itulah, denting radio militer yang terletak di atas meja mulai berbunyi pesan baru masuk. Shifa dan Rina saling menoleh. “Semua tenaga medis standby. Akan ada evakuasi korban dari lokasi serangan. Satu personel terluka saat mengevakuasi warga.” Shifa membeku. Langit di luar semakin gelap.

Hujan masih belum reda ketika deru kendaraan taktis terdengar memasuki halaman pos. Lumpur terpercik ke mana-mana, dan suara pintu terbuka disambut teriakan beberapa prajurit. “Tandu! Cepat, siapkan tandu!” Shifa yang saat itu sedang menata perban di meja langsung menoleh. Ia melihat dua prajurit berlari menuju tenda medis, diikuti oleh beberapa lainnya yang menggotong seorang prajurit dengan tubuh penuh luka dan pakaian yang sobek oleh serpihan tajam.

Darah mengalir dari sisi tubuhnya. Nafasnya berat. Shifa berdiri terpaku ketika sosok itu dibawa masuk.

“Bang… Cakra?” Nafasnya tercekat. Lututnya hampir goyah saat mengenali wajah yang kini penuh luka dan lumpur itu. Wajah yang tadi pagi masih tersenyum meski enggan berpisah. Tanpa membuang waktu, ia segera mengendalikan dirinya. Ia segera mengenakan sarung tangan, mengatur peralatan, dan memeriksa luka-luka di tubuh Cakra sambil memberikan instruksi cepat ke Rina dan tim medis lain.

“Tekanan darah turun…! Siapkan oksigen! Luka di sisi kiri cukup dalam, kita harus hentikan perdarahannya!” Cakra sesekali mengerang lemah. Matanya mencoba terbuka, seolah ingin mengatakan sesuatu, namun hanya bisikan lirih keluar dari bibirnya. “Shi…fa…” Shifa menggigit bibirnya. “Jangan bicara. Simpan tenagamu. Aku di sini,” katanya lirih namun tegas. Ia terus bekerja, namun dalam hatinya, ada badai yang jauh lebih besar dari hujan di luar. Setiap detik terasa seperti siksaan. Tangannya bergetar, namun ia tidak berhenti.

Setelah beberapa menit berlalu, perawat lain melapor, “Tekanan terus turun. Kita harus pindahkan dia ke rumah sakit kota. Peralatan di sini tidak lengkap.” Shifa menunduk, menggenggam tangan Cakra yang mulai dingin. “Siapkan ambulans. Segera.” Tak lama kemudian, sirene ambulans meraung di tengah guyuran hujan. Dengan langkah tergesa, Shifa ikut naik ke dalam mobil, mendampingi Cakra yang kini dipasangi alat bantu pernapasan dan infus ganda. Sepanjang perjalanan, ia terus menggenggam tangan Cakra yang melemah. Dalam hatinya, ia hanya bisa berdoa untuk waktu yang cukup, dan kesempatan yang belum selesai.

Di ruang tunggu rumah sakit, Shifa duduk sendirian. Tangan kirinya menggenggam ponsel erat, sementara tangan kanannya bergetar saat menekan nama yang terpampang di layar: Ibu Dita. Nada sambung terdengar beberapa kali sebelum suara lembut namun penuh ketegasan menjawab. "Halo, Shifa?" Suara itu terdengar biasa, namun Shifa tahu ia akan segera menghancurkannya.

"Bu… Bang Cakra... Terluka. Sekarang sedang ditangani di rumah sakit kota. Kondisinya tadi kritis… tapi sekarang mulai stabil." Senyap. Beberapa detik hening, hanya terdengar suara nafas berat dari seberang telepon. Lalu… "Ya Allah…" Dita akhirnya bersuara, tapi suaranya bergetar. "Anakku… Cakra…" Shifa menelan ludah. Ia ingin menenangkan, tapi tidak ada kalimat yang cukup kuat untuk meredakan perasaan seorang ibu.

"Ibu pengen kesana... tapi…" Suara Dita mulai pecah, "Bandara ditutup karena cuaca buruk. Ibu nggak bisa ke sana sekarang." Shifa menunduk, menahan air mata. "Saya akan jaga dia, Bu. Setiap detik. Kalau ada perubahan, saya akan langsung kabari." Dita menarik napas panjang, mencoba tenang. "Tolong... jangan tinggalkan dia sendirian, ya, Nak."

"Iya, Bu. Saya janji." Telepon ditutup, namun perasaan Shifa justru semakin berat. Ia menatap ke arah pintu ICU yang masih tertutup, berharap ada kabar baik. Beberapa menit kemudian, dokter keluar dengan wajah yang sedikit lebih tenang. "Keluarga Cakra, ya?" Shifa segera berdiri. "Saya... saya tunangannya." Dokter mengangguk. "Kondisinya mulai stabil. Masih perlu pengawasan intensif, tapi untuk sekarang... dia sedang beristirahat." Napas Shifa tertahan. Ia membungkuk, mengucapkan terima kasih pelan-pelan, lalu mengikuti perawat yang mengizinkannya masuk ke ruangan.

Cakra terbaring di ranjang, dengan selang infus dan alat bantu napas. Wajahnya pucat, tapi dadanya perlahan naik turun dengan ritme yang lebih teratur. Shifa mendekat, menarik kursi, dan duduk di sampingnya. Ia menggenggam tangan Cakra dengan lembut. "Bang... aku di sini. Jangan kemana-mana lagi, ya." Air matanya jatuh pelan, tanpa suara, namun penuh makna.

1
Siyantin Soebianto
ceritanya jadi penisirin gini ya😇
Nanang
SEMANGAT Thor berkarya nya ya 😇
kaka_21: siap kakak,terimakasih udah mampir
total 1 replies
piyo lika pelicia
semangat ☺️
perhatikan lagi huruf kapital di awal paragraf
kaka_21: baik kak, terimakasih
total 1 replies
piyo lika pelicia
Assalamualaikum, paman pulang! waduh ... makan apa nih?"
piyo lika pelicia
Tiba-tiba pintu terbuka
piyo lika pelicia
Rama
piyo lika pelicia
"Ee.. kamu mau kemana" pake nanya. Virza tertawa kecil. "Aku mau
piyo lika pelicia
"Terimakasih, sepertinya tidak pernah."
piyo lika pelicia
ibu dan juga bapaknya kemana
piyo lika pelicia
"Ma, dengarkan aku
piyo lika pelicia
tidak boleh berkata kasar pada anak mu sendiri 😒
kaka_21: sabar kak, sabar
total 1 replies
piyo lika pelicia
"Ma, dengarkan aku
piyo lika pelicia
iklan untuk kakak ☺️
piyo lika pelicia
dasar ibu yang buruk
piyo lika pelicia
adik yang baik ☺️
piyo lika pelicia
"Eh, Riz. Ada apa?"
Inumaki Toge
Ayatnya enak dibaca,lanjut semangat ya
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!