Menjadi anak haram bukanlah kemauan Melia, jika dia bisa memilih takdir, mungkin akan lebih memilih hidup dalam keluarga yang utuh tanpa masalah.
Melia Zain, karena kebaikan hatinya menolong seseorang di satu malam membuat dirinya kehilangan kesucian.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mimah e Gibran, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 29
Liona berjalan keluar gerai, mencari dimana letak toilet khusus berada. Mendesah pelan, menatap cermin.
"Barusan menjadikan mama alasan, harusnya Verell tidak akan curiga." Liona menatap diri ke araj cermin, membenahi make upnya yang hampir luntur. Lipstik keluaran terbaru merk C, dan memoles kembali wajahnya dengan bedak.
Gerimis tipis-tipis di luar sana, tak menghalangi orang-orang untuk tidak keluar rumah. Mall terbesar di Jakarta itu malah semakin ramai. Sama halnya dengan orang yang masih beradu perdebatan di gerai yang tak berhenti tapi malah semakin menjadi-jadi. Terlebih Lyn sangat tidak menyukai Melia dan Sintia, menggunakan kebencian pelayan itu untuk semakin menjatuhkan harga diri mereka di depan orang-orang.
"Lama sekali, Liona." Lyn membatin. Namun, bukankah ini kesempatan bagus. Lagi pula, Liona tidak tahu menahu identitas dua wanita yang saat ini di hadapannya.
"Gerai ini hanya melayani pelanggan VIP seperti kami, kalian berani masuk apa sudah punya kartu VIP disini? Lagi pula apa yang bisa kalian banggakan." tantang Lyn, ia merasa puas karena memiliki kesempatan untuk menjatuhkan Sintia di depan umum. Apalagi saat ini Liona tak berada di sisinya.
"Jaga mulut anda nyonya, memang kami bukan orang kaya seperti anda. Tapi, harta itu cuma titipan. Bisa jadi setelah anda pulang dari mall ini, anda akan langsung jatuh miskin dalam sekejap."
Lyn mencelos, darahnya mendidih tak terima mendengar ucapan Melia.
"Dasar anak tidak tau diri, ibumu hanya simpanan orang kaya dan sekarang kamu mengikuti jejaknya. Dengan tidak tahu malunya berbicara seperti itu. Apa tidak sadar derajat dan kehidupan kalian seperti apa." Cerca Lyn, pelayan yang mencemooh Melia tadi mendeklik. Menyimak pembicaraan mereka tanpa ada niat untuk melerai sedikitpun.
"Ingat ya Sintia, mau bagaimanapun kehidupanmu sekarang. Kamu tetaplah orang ketiga di dalam rumah tangga orang," ucap Lyn. Sintia hanya diam, memang benar adanya yang di katakan Lyn. Tapi, kesalahan harusnya wanita itu lemparkan pada Bram, bukan dirinya.
Ia hanyalah korban dari mulut buaya dan tipuan Bramantyo. Laki-laki bertopeng baik yang ternyata telah menipunya mentah-mentah lantaran mengaku lajang. Kesialan itu membuat Sintia enggan mempercayai laki-laki yang mendekatinya. Ditambah Bramantyo seolah mencapakkannya dan dengan tidak tahu malu membuang ia dan Melia tanpa mau menafkahi.
Sintia terdiam, lagi-lagi masa lalu pahit itu mengusik hatinya, menoreh kembali luka-luka yang terkubur dalam-dalam.
Merasa ibunya tertekan, Melia khawatir.
"Jadi mereka simpanan orang kaya, pantas meskipun kampungan berani membeli gaun yang terpajang disana." bisik pelayan satunya.
"Iya, makanya jangan sembarangan berkata hanya karena penampilan seseorang. Kalau orang kaya yang dibalik mereka tidak terima dan langsung datang kesini, habislah kita." Pelayan satunya menimpali.
"Mana ku tahu, orang penampilannya standar kaya kita. Kalau simpanan orang kaya harusnya gak tanggung-tanggung. Mesti manfaatin hartanya minimal buat merubah penampilan agar terlihat modis." gerutu pelayan yang sempat beradu mulut dengan Melia tadi.
Sontak pelayan sebelahnya mendorong kepala temannya pelan karena kesal.
"Emang tujuannya cuma buat merubah penampilan, bisa jadi kan karena cinta. Jadi ya gitu, gak dapat apa-apa."
Mereka justru asik berghibah mode pelan saat Melia dan Lyn tengah berdebat. Layaknya dua orang musuh yang di satukan, mau berapa menit, jam bahkan hari sama saja. Mereka terus menerus saling mencerca mengeluarka kata-kata pedas.
"Sudahlah, Mel. Nggak akan habis kamu meladeni perempuan licik itu. Buang-buang waktu dan tenaga, dia gak akan berhenti meskipun tiba-tiba Kevin datang menyelamatkanmu." bisik Sintia yang meminta anaknya mengalah saja.
"Tidak bisa bu, lama-lama orang di muka bumi habis ditindasnya kalau tidak di lawan."
"Apa!" bentak Lyn, Melia meminta pelayan yang tengah berbisik-bisik di belakang itu sekali lagi, mencoba gaun yang terpajang itu untuk ibunya.
Pelayan itu bimbang, sepertinya mereka telah salah menilai Melia yang dari kalangan bawah. Bisa jadi mereka memiliki identitas sama pentingnya mengingat dua orang itu, Melia dan Sintia sangat mengenal Lyn dan berseteru dengannya.
"Sudahlah lebih baik pulang saja, mau kamu ngotot juga mereka tidak akan melayanimu. Kalian berdua cuma orang miskin, mana mungkin laki-laki yang tertimpa sial itu akan datang. Kamu cuma simpanan, mau punya sebanyak apapun uang, yang namanya simpanan ya cuma disimpan pas di butuhkan, kalau sudah bosan nanti juga di buang seperti ibumu." ucap Lyn dengan nada menyombongkan diri, tidak sadar bahwa suaminya termasuk laki-laki sial itu. Tidak sadar, bahwa bagaimanapun Sintia pernah hidup bersama suaminya hingga mempunyai buah cinta.
"Anda lupa nyonya Lyn, jika laki-laki sial itu adalah suami anda, ups!" Melia menutup mulutnya lantas terkekeh.
"Oh, iya anda kan suka lupa diri hehe. Kadang anda mencari keburukan orang lain. Padahal keburukan orang lain itu tercipta karena kelicikan suami anda."
"Heh, suamiku itu juga papamu." Kecam Lyn.
"Oh ya, setelah terus menerus menghinaku dimanapun, menjatuhkan harga diri ibuku. Bahkan membuat hidup kami terlunta-lunta. Ini pertama kalinya anda bilang jika dia papaku. Ck! papaku sudah mati dimakan ikan piranha." Melia lantas melipat tangannya di dada. Tidak habis fikir dengan istri sah sang ayah.
"Kau, dasar anak haram tidak tau diri." Hardik Lyn.
Melia tertawa sinis, sebutan anak haram sudah melekat di dirinya sejak dulu. Meski sejujurnya jauh dalam lubuk hati ia begitu terluka akan takdir yang kejam ini.
"Anda tidak salah minum obat kan?" tanya Melia yang mampu membuat Lyn seketika terdiam kesal.
"Pertama, anak haram yang anda maksud adalah kesalahan suami anda. Yang kedua, mau seperti apapun kalian berkata buruk padaku, aku tidak akan pernah perduli Orang kaya seperti kamu cuma bisa memanfaatkan kekuasaan. Kelak jika kekuasaanmu itu hilang, jangan pernah menampakkan wajah busukmu itu di hadapanku. Ketiga, jangan hina ibuku. Yang bersalah itu sudah jelas suami anda nyonya Lyn. Karena tamu tidak akan pernah masuk ke dalam rumah jika si pemilik tak membukakan pintu." balas Melia dengan sorot mata tajam, siapa tahu lubuk hatinya dipenuhi kekecewaan dan kabut kesedihan.
Melia Zain, meski seluruh dunia menolaknya. Kenyataan tak akan mampu membuat dia memilih takdir. Hidupnya sudah terlalu rumit dengan masalalu sang ibu yang seperti benang kusut. Belum lagi, masa depannya yang sudah tak ada artinya lagi karena malam kelam telah merenggut sesuatu berharga miliknya. Sesuatu yang harusnya ia jaga dan beri untuk orang yang ia cintai nanti.
Tidak tahu, apakah kelak menikah dengan Kevin akan menghadirkan kebahagiaan atau tidak.
Lyn terdiam membisu. Namun, kekesalan tampak jelas di raut wajahnya. Tidak mungkin jika dia akan menyerah begitu saja menghadapi Melia.
menikah Dengan Mr. Arogan mampir
Menikah dengan Mr. Arogan mampir
Menikah dengan Mr. Arogan Mampir
tp kasian deh sama Mel.. pasti dia takut ibunya kecewa karena tidak perawan lagi
Menikah dengan Mr. Arogan mampir
Menikah dengan Mr. Arogan mampir
Menikah dengan Mr. Arogan mampir