NovelToon NovelToon
Pendekar Pedang Halilintar

Pendekar Pedang Halilintar

Status: sedang berlangsung
Genre:Fantasi Timur / Action / Epik Petualangan / Balas dendam dan Kelahiran Kembali / Budidaya dan Peningkatan / Mengubah Takdir
Popularitas:16.9k
Nilai: 5
Nama Author: DANTE-KUN

Ye Fan, pemuda 15 tahun dari Klan Ye—klan kelas tiga di Kota Pelangi—dikenal sebagai anak ajaib dalam seni pedang. Namun hidupnya hancur ketika klannya diserang oleh puluhan pendekar tingkat ahli yang mengincar pusaka mereka, Pedang Giok Langit.

Seluruh klan terbantai. Hanya Ye Fan yang selamat.

Dengan luka di jiwanya dan kemarahan yang membakar hatinya, ia bersumpah untuk menjadi lebih kuat, merebut kembali Pedang Giok Langit, dan membalaskan dendam Klan Ye yang telah musnah.

Ikuti perjalanan Ye Fan di PENDEKAR PEDANG Halilintar!

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon DANTE-KUN, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 28: Hari Ketujuh Perjalanan

Di hari ketujuh perjalanannya, ketika cahaya matahari sore merembes menembus dedaunan hutan perbatasan, Ye Fan berada dalam suasana hati yang relatif tenang. Setelah berhari-hari mamacu kudanya menembus bukit dan lembah, ia akhirnya melihat garis merah tipis yang menunjukkan jarak menuju Kota Mawar Putih—ibukota Kekaisaran Tang.

Hatinya sedikit menghangat.

Setitik harapan menyelinap masuk:

Hanya tinggal sedikit lagi … semakin dekat ke tujuan utamaku.

Namun ketenangan itu buyar seketika—seperti permukaan air yang dihantam batu.

Di tengah jalur hutan, aroma tanah basah bercampur dengan bau darah segar. Di antara pepohonan yang menjulang, adegan itu langsung mencuri perhatian Ye Fan:

Seorang wanita muda, kira-kira berusia 24 tahun—berambut panjang biru gelap yang kusut oleh angin, wajah pucat namun tetap memancarkan kecantikan dan ketenangan yang sulit disembunyikan. Napasnya tersengal, tubuhnya penuh luka sobek dan memar. Jubah birunya koyak di banyak tempat.

Di hadapannya, lima pria berjubah hitam berdiri setengah melingkar. Jubah mereka serupa … sangat serupa dengan mereka yang menghabisi Klan Ye.

Yang membuat jantung Ye Fan berdenyut dingin bukan hanya jubahnya, tetapi suara mereka.

Salah satu dari mereka, pendekar Ahli awal dengan suara serak, berkata:

“Serahkan Kitab Naga Air itu! Warisan leluhurmu tidak ada artinya dibanding nyawamu!”

Wanita itu mencengkeram gulungan kitab biru-perak di dadanya.

Matanya memancarkan keberanian seorang yang siap mati.

“Ini milik klanku … aku tidak akan menyerahkannya, bahkan jika aku harus mati di sini!”

Ye Fan berhenti. Nafasnya tertahan.

Kitab warisan … jubah hitam … Ahli awal dan empat Emas Puncak …

Semuanya terasa seperti kilatan petir yang membelah masa lalu.

Mata Ye Fan menggelap. Sebuah bara dingin menyala di dalam dadanya.

"Ini bukan kebetulan. Orang-orang ini berhubungan dengan pembantai Klan Ye!" pikirnya dalam hati.

Tak ada lagi alasan untuk menunggu.

Kuda tempur Ye Fan menghentak tanah, namun Ye Fan telah melompat lebih dulu.

Tubuhnya melesat seperti kilat putih—bayangan yang bahkan bayangan itu sendiri tak sempat mengejarnya. Angin tersayat. Tanah bergetar.

Kelima pria berjubah hitam menoleh bersamaan.

“Tunggu … ada seseorang—!”

Terlambat.

Dari atas udara, aura Ye Fan meledak seperti badai listrik. Rambutnya berkibar kasar, dan mata tajamnya menyala dengan dingin yang menusuk tulang.

Kilatan pertama.

Sebelum empat Pendekar Emas Puncak itu bisa menarik pedang mereka, Fenglei muncul di tangan Ye Fan. Gerakannya mulus—terlalu cepat untuk mata manusia biasa.

Yang terlihat hanya serpihan cahaya petir.

Cahaya keemasan memotong udara, meninggalkan garis energi yang membuat daun dan debu beterbangan sebelum suara tubuh-tubuh yang terbelah menyusul beberapa detik kemudian.

Keempat Pendekar Emas Puncak itu tak sempat berteriak.

Tubuh mereka terpotong bersih, terhempas dalam bentuk lingkaran darah yang jatuh ke tanah.

Wanita itu terbelalak.

Para pria berjubah hitam membeku.

Sosok Ye Fan mendarat tenang, satu lutut sedikit menekuk, tidak menunjukkan sedikit pun getaran setelah membantai empat orang dalam satu gerakan.

Ia bahkan belum mengeluarkan seluruh tenaganya.

“H-Hentikan!”

Pendekar Ahli awal itu melangkah mundur dengan panik. Tenaganya melonjak keluar, membentuk tekanan yang menggetarkan pohon.

“Tunggu! Kita bisa bicara—!!”

Ye Fan berjalan mendekat dengan tenang, tapi ketenangannya justru lebih menakutkan dari badai. Auranya dingin, seperti seseorang yang telah melihat kematian terlalu banyak di usianya yang masih tergolong belia.

Di mata Ye Fan, pria berjubah hitam itu bukan lagi manusia—dia adalah kunci menuju dalang pembantai klannya.

Ye Fan tidak membunuh.

Tidak langsung.

Dalam sekejap, Fenglei melesat, menembus kaki pria itu. suara tulang yang pecah bergema dari hantaman petir yang merobek daging, membuat tubuh pria itu terbanting keras ke tanah.

Pria itu menjerit, suaranya pecah dan dipenuhi rasa sakit yang menghancurkan.

Namun Ye Fan tetap berjalan perlahan, langkahnya sangat tenang seakan ia sedang berjalan di taman pagi.

Wanita itu, meski kesakitan, memandang dengan campuran takut dan lega.

Ye Fan berhenti di hadapan pria yang kini merangkak dan gemetar.

Ia jongkok.

Menatap lurus, dingin, tanpa sedikit pun belas kasihan.

Suara Ye Fan keluar pelan … namun setiap suku kata membawa tekanan yang membuat pria berjubah hitam itu semakin menggigil ketakutan.

“Siapa dalang di balik kelompok berjubah hitammu itu?”

Pria itu menggigil lebih hebat dari sebelumnya.

Ketakutannya melebihi rasa sakitnya.

Ye Fan menambahkan, suaranya datar, tanpa emosi:

“Kau punya tiga napas.”

Pria itu menelan ludah, tak berani berkedip.

Tiga napas.

Satu…

Dua…

Tiga…

Dan pria itu akhirnya pecah.

“A-Aku akan bilang! Jangan bunuh aku! Jangan—”

SWOSSHHH — SLEB.

Tiba-tiba saja sebuah Jarum kecil berwarna hitam menusuk tengkorak pria itu dari belakang. Tenaga dalam yang sangat terkompresi meledak di kepalanya, menghasilkan getaran yang seolah meremukkan otak dari dalam. Tubuh pria itu langsung terkulai, matanya membelalak kosong.

Ye Fan sontak menoleh tajam ke arah datangnya jarum.

Aura dingin seorang Pendekar Ahli.

Seseorang berlari zig-zag di balik pepohonan—gerakannya cepat dan terlatih.

Ye Fan menggeram rendah.

Begitu dekat. Begitu dekat ia mendapat jawaban.

Wajahnya menegang, dingin seperti baja.

Kelompok ini terlalu rapi … bahkan anggota mereka yang hampir mati pun tidak dibiarkan membuka mulut.

Persis seperti saat Klan Ye dibantai. Tak satu pun yang sempat berbicara.

Matanya menyipit penuh amarah terpendam.

Wanita Itu … Satu-satunya Saksi yang Tersisa

Ye Fan menarik napas panjang lalu membalikkan tubuhnya.

Wanita tadi berdiri terpincang, tubuhnya goyah. Luka di lengan dan bahunya masih mengalir.

Ia menatap Ye Fan dengan dua emosi yang saling bertabrakan:

takut—karena pergerakan Ye Fan barusan seperti iblis petir,

dan lega—karena ia tidak lagi sendirian menghadapi maut.

Ye Fan mendekat, menyarungkan Fenglei.

Suaranya tenang namun dalam:

“Apakah kau tahu siapa mereka sebenarnya?”

Wanita itu menahan napas, lalu menjawab dengan suara lembut namun stabil.

“Tidak. Yang kutahu hanya rumor … ada kelompok misterius yang mencuri pusaka-pusaka legendaris dari klan kecil. Mereka membunuh seluruh anggota keluarga dan hanya mengambil warisan turun-temurun. Tapi … aku tidak tahu siapa mereka, atau di mana mereka bersembunyi.”

Ye Fan menatap wajah wanita itu lama.

Ia bisa melihat ketegaran di balik luka-luka itu—dan kesedihan yang sama dalam matanya.

Wanita itu menunduk hormat.

“Terima kasih … karena telah menyelamatkanku.”

Ye Fan terdiam beberapa detik.

Kalimat itu terasa berat baginya.

Ia sudah lama tidak mendengar rasa syukur dari siapa pun—sejak malam kehancuran Klan Ye.

Ye Fan bertanya dengan suara rendah,

“Apa yang akan kau lakukan sekarang?”

Wanita itu terdiam lama.

Kemudian suaranya pecah pelan, namun tetap tegar,

“Aku … satu-satunya yang selamat dari klanku. Sejak pusaka ini diwariskan padaku, aku terus diburu. Aku ingin ke Ibu Kota Kekaisaran … mencari tempat yang cukup aman untuk berpikir. Untuk bertahan hidup.”

Ye Fan merasakan sesuatu yang menusuk dadanya.

Hanya satu yang selamat … diincar … diburu karena pusaka warisan…

Persis seperti aku.

Empati dingin yang ia simpan dalam-dalam selama berhari-hari bergolak.

Ye Fan akhirnya berkata,

“Kebetulan … tujuanku juga ke sana.”

Wanita itu mengangkat kepala.

Ada sedikit cahaya di matanya.

Ye Fan melanjutkan,

“Kita punya nasib yang hampir sama. Jika kita berangkat bersama, setidaknya jalanmu akan lebih aman. Dan … jika kelompok itu muncul lagi, aku akan menangkap salah satu dari mereka hidup-hidup.”

Ada ketegasan sekaligus luka di balik suaranya.

Wanita itu terdiam.

Kemudian ia mengangguk perlahan—bukan hanya karena kebutuhan, tetapi karena kepercayaan yang terbentuk dari keteguhan Ye Fan.

Ye Fan mengambil botol kecil dari cincin ruangnya.

“Minum ini. Ramuan Pemulihan tingkat tinggi. Luka-lukamu akan membaik dalam satu jam.”

Wanita itu menerimanya dengan dua tangan.

Matanya bergetar—ramuan sekelas itu tidak murah, bahkan untuk keluarga bangsawan biasa.

“T-Terima kasih … benar-benar…”

Ye Fan mengangguk singkat.

Ia tidak melakukannya untuk pujian.

Wanita itu menatap bajunya sendiri, yang robek dan penuh noda darah.

Dengan pipi memerah karena malu, ia berkata pelan,

“Bisakah aku … berganti pakaian sebentar?”

Ye Fan menunduk sedikit, memberi ruang dan jarak.

“Silakan. Aku akan menjaga sekitar.”

Wanita itu lalu masuk ke balik semak-semak dan pepohonan.

Beberapa menit kemudian, ia kembali dengan pakaian biru baru yang sederhana namun bersih—masih terlihat cantik dan anggun meski matanya menyimpan lautan luka.

Ye Fan membantu wanita itu naik ke kudanya, sementara ia sendiri duduk di belakang, mengendalikan tali kekang.

Kuda itu meringkik pelan, lalu bergerak maju.

Cahaya matahari sore menembus sela-sela pepohonan, memantulkan bayangan dua orang yang sama-sama membawa masa lalu penuh darah.

Dua orang asing, namun terhubung oleh takdir pahit.

Wanita itu memandang ke depan, suaranya lembut:

“Namaku … Chu Ling.”

Ye Fan menjawab pelan, penuh ketegasan yang dingin:

“Ye Fan.”

1
saniscara patriawuha.
gasssd polllllll....
saniscara patriawuha.
gasssss.
BOIEL-POINT .........
very niCe Thor ...........
saniscara patriawuha.
gassss pollllll..
saniscara patriawuha.
tingkatkan lagi mc nya biar lebih sat set sat set,,,
saniscara patriawuha.
lanjutkennnnnn....
saniscara patriawuha.
gassssdd....
𝕸𝕬𝕾𝕿𝕰𝕽𝕾 𝕷𝕰𝕰, 𝕬𝕸𝕶
Mantap
udenk
goooos
BOIEL-POINT .........
very niCe Thor .........
🌼🆚🐝
tdk sprt di awal alurnya,terlalu byk penjelasan yg di ulang2
🌼🆚🐝
keren
🌼🆚🐝
crazy up babang💪💪💪💪
Jojok Supriyanto
bukankan Ji Hong ayahnya Ji Hun ya... koq ini jadi pamannya...
Dante-Kun: Hehe 🤭🤭 otornya ngantuk, makasih udah di kasih tau, langsung revisi sekarang
total 1 replies
Jojok Supriyanto
empat ditambah tujuh, sebelas Thor..
BOIEL-POINT .........
very niCe Thor ...........
BOIEL-POINT .........
very niCe Thor ..........
BOIEL-POINT .........
very niCe Thor ........
BOIEL-POINT .........
very niCe Thor .........
BOIEL-POINT .........
very niCe Thor ........
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!