Mandala Buana seperti berada di dunia baru, setelah kehidupan lamanya dikubur dalam-dalam. Dia dipertemukan dengan gadis cantik bernama Gita, yang berusia jauh lebih muda dan terlihat sangat lugu.
Seiring berjalannya waktu, Mandala dan Gita akhirnya mengetahui kisah kelam masa lalu masing-masing.
Apakah itu akan berpengaruh pada kedekatan mereka? Terlebih karena Gita dihadapkan pada pilihan lain, yaitu pria tampan dan mapan bernama Wira Zaki Ismawan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Komalasari, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
DUA PULUH DELAPAN : SALING MENGENAL
“Ingatkan aku untuk memberikan sesuatu padamu,” ucap Mandala, sebelum Gita pergi dari sana.
“Apa?”
“Apa saja. Sesuai yang kamu inginkan. Sesuatu yang benar-benar ingin dimiliki."
Gita tersenyum kecil menanggapi ucapan Mandala.
“Mungkin tidak saat ini karena aku belum bisa bekerja dan menghasilkan uang banyak ___”
“Mas,” sela Gita segera. “Aku hanya berharap Mas Maman segera pulih dan bisa beraktivitas seperti biasa.”
“Terima kasih,” balas Mandala pelan dan dalam. Setelah itu, dia terdiam menatap Gita yang beranjak pergi dan menghilang dari balik pintu.
Ada dinding yang memisahkan dan menutupi sehingga sejoli itu tak bisa saling melihat secara langsung. Namun, keduanya sama-sama mengembuskan napas berat, demi melepaskan ganjalan yang menyesakkan dada.
Ini mungkin jadi sesuatu yang gila. Perasaan indah itu tumbuh terlalu cepat di hati Gita. Bagai senandung merdu, begitu nyaman dan melenakan. Namun, Gita terlupa akan dirinya.
Ya, Mandala telah berkali-kali menegaskan tidak tertarik dengan wanita penghibur, yang rela menjajakan tubuh demi sejumlah uang dan kesenangan semu. Segala hal yang terjadi dengan pria itu hanya sebatas selingan. Tak harus dikenang, apalagi sampai dibiarkan membekas dalam ingatan.
Lalu, bagaimana dengan Mandala? Apakah dia menyesali semua ucapannya terhadap Gita?
Bimbang menyelimuti hati Mandala. Pria yang sebentar lagi akan menginjak usia 39 tahun tersebut jelas dihantui rasa gelisah. Di satu sisi, dia mengakui ada setitik kenyamanan ketika berdekatan dengan Gita. Di sisi lain, bisikan kuat terus mengatakan bahwa itu tak akan berjalan baik.
Kejadian buruk di masa lalu membuatnya ragu. Ya. Mandala kesulitan menemukan kembali ritme dari keindahan percintaan tulus, yang dibangun atas dasar kepercayaan. Bagaimana mungkin dia akan bertahan dengan wanita yang jelas telah dinikmati banyak pria?
Makin dipikirkan, makin terasa jauh untuk digapai. Meskipun ada harapan yang begitu besar, tetapi kenyataan memberikan tamparan keras yang menyadarkan bahwa berlapang dada dan merelakan merupakan jalan terbaik.
“Bagaimana kabarmu hari ini?” tanya Wira, ketika Gita sudah tiba di apartemen yang dibelikannya untuk gadis itu.
“Aku tinggal di kontrakan kecil bersama Ratih. Warung masih ditutup untuk keperluan penyelidikan,” jawab Gita, setelah duduk tenang di sebelah Wira.
“Sudah saatnya pindah kemari. Saya sengaja membelikan apartemen ini untukmu. Di sini jauh lebih nyaman dan pasti aman.”
Gita tidak langsung menanggapi. Dia merasa tak enak karena Wira terlalu berlebihan.
“Kenapa?” tanya Wira.
“Apartemen ini terlalu mahal. Aku tidak bisa menerimanya, Mas. Aku takut hadiah sebesar ini justru membuat kita ____”
“Saya tidak bermaksud apa-apa, Gita. Tak ada niatan untuk mengikatmu terlalu kencang. Saya hanya ingin akses mudah untuk menemuimu,” ucap Wira, mengemukakan alasannya.
Gita tersenyum kecil, lalu menggeleng pelan. “Apakah Mas Wira melakukan hal yang sama kepada wanita lain? Wanita sepertiku.”
Wira langsung menggeleng. “Tidak pernah.”
“Bagaimana aku bisa percaya? Kita baru bertemu beberapa kali. Aku hanya memberikan pelayanan kecil dan Mas Wira langsung memberikan hadiah sebesar ini.”
“Itu hanya sebagai ucapan terima kasih dan …. Ini merupakan yang pertama.”
“Maksud Mas Wira?” Gita menatap tak mengerti.
“Sebelumnya tidak pernah berjalan mulus,” ucap Wira, diiringi embusan napas pelan.
“Kenapa?”
“Entahlah. Saya merasakan ada sesuatu terlalu sulit untuk diungkapkan. Saya sudah mencoba beberapa kali menyewa wanita penghibur. Namun, selalu berakhir dengan sesuatu yang sangat membosankan. Tidak ada kesan menarik sama sekali,” terang Wira.
“Kenapa Mas Wira mencari wanita penghibur?”
“Karena saya merasa bosan dan kesepian, Gita. Segalanya benar-benar memuakkan.”
“Apa yang membuat Mas Wira merasa muak dan bosan? Kesepian?”
Wira tak langsung menjawab. Pertanyaan yang dilontarkan Gita terlalu berat baginya. Bukan karena tidak ada penjelasan, tetapi sangat sulit untuk dijabarkan dalam untaian kata.
“Apakah terlalu pribadi?” Gita tersenyum lembut. “Tidak apa-apa, Mas. Aku tak akan memaksa Mas Wira untuk menceritakan sesuatu yang dianggap tidak perlu diketahui orang lain,” ucapnya bijak.
Namun, Wira segera menggeleng. “Bukan karena terlalu pribadi, melainkan ini sangat memalukan,” bantahnya. “Saya berasal dari keluarga baik-baik. Ayah saya merupakan salah satu petinggi militer angkatan darat. Seharusnya, saya mengikuti jejak beliau. Tapi, saya justru tersesat dan memilih menjadi warga sipil. Pengusaha konstruksi. Tidak ada senjata atau baju loreng,” tutur pria berkemeja putih itu tenang. Dia bahkan tersenyum kalem setelah bercerita.
“Itu bukan prestasi buruk. Mas Wira menjadi pengusaha sukses dan pasti sangat membanggakan dengan pilihan sendiri.”
“Tidak sesederhana itu, Gita. Bapak menginginkan saya menjadi prajurit seperti beliau.”
“Lalu? Apakah itu membuat hubungan Mas Wira dengan beliau jadi tidak baik-baik saja?” tanya Gita penasaran. Dia mulai menikmati jadi seorang pendengar.
“Tidak juga. Hubungan saya dengan bapak masih terjalin baik, meskipun saya tahu ada kekecewaan yang teramat besar di matanya. Namun, apa mau dikata? Setiap orang memiliki takdir masing-masing.”
“Jika hubungan Mas Wira dengan beliau masih terjalin baik, lalu apa yang membuat Mas Wira merasakan kehampaan, kebosanan dan sebagainya?” Gita makin tertarik menelisik lebih jauh. Dia yang awalnya tidak berniat masuk terlalu dalam, nyatanya tak bisa mengendalikan rasa penasaran yang tiba-tiba menggelitik keingintahuannya.
“Ada sesuatu dan ….” Wira tak melanjutkan kalimatnya. Pengusaha tampan 40 tahun itu mengembuskan napas berat.
“Kemarahan terpendam dan penyesalan. Dua hal yang terus membayangi hidup saya hingga saat ini. Sebenarnya, mungkin Tuhan telah memberikan jalan untuk memperbaiki semua. Namun, entahlah.” Wira menggeleng tak mengerti.
“Apakah Mas Wira yakin sudah mendapatkan kesempatan? Jalan untuk menebus segala rasa sesal yang bisa menghilangkan kemarahan terpendam itu.”
Wira langsung menghadapkan tubuh sepenuhnya kepada Gita. Dia menatap lekat, lalu menggenggam erat jemari lentik gadis itu. “Bagaimana cara menjelaskannya padamu?”
Gita membalas tatapan Wira dengan sorot aneh. “Aku tidak tahu. Kurasa, mungkin Mas Wira belum siap untuk berbagi lebih banyak cerita denganku. Jangan dipaksakan. Aku juga tidak berhak mengetahui terlalu dalam.”
“Bukan itu maksud saya, Gita.”
Gita tersenyum lembut. “Sebenarnya, hanya ada satu hal yang benar-benar membuatku penasaran.”
“Apa itu?”
“Aku hanya ingin tahu, ada hubungan apa antara Mas Wira dengan Mas Maman. Kenapa kalian bersikap sangat aneh? Di satu sisi, Mas Maman menyuruhku menjauhi Mas Wira. Di sisi lain, Mas Wira pun mengatakan hal yang sama. Lalu, bagaimana denganku? Tidak ada penjelasan sedikit pun yang bisa membuatku memahami maksud kalian berdua. Aku tidak mengerti kenapa bisa terjebak di antara Mas Wira dan Mas Maman.”
“Jadi, Mandala menyuruhmu agar menjauhiku?”
“Ya. Tapi, aku merasa tak harus mengikuti ucapannya karena tak ada alasan.”
“Kami memang saling mengenal.”