Zara adalah gambaran istri idaman. Ia menghadapi keseharian dengan sikap tenang, mengurus rumah, dan menunggu kepulangan suaminya, Erick, yang dikenal sibuk dan sangat jarang berada di rumah.
Orang-orang di sekitar Zara kasihan dan menghujat Erick sebagai suami buruk yang tidak berperasaan karena perlakuannya terhadap Zara. Mereka heran mengapa Zara tidak pernah marah atau menuntut perhatian, seakan-akan ia menikmati ketidakpedulian suaminya.
Bahkan, Zara hanya tersenyum menanggapi gosip jika suaminya selingkuh. Ia tetap baik, tenang, dan tidak terusik. Karena dibalik itu, sesungguhnya...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon zenun smith, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Zara Dan Mila malam itu
Zara berhasil melajukan mobilnya dengan mulus, tanpa hambatan keamanan di jalan. Perjalanan pulang kali ini terasa sunyi dan damai, jauh dari keramaian yang sempat ia rasakan sebelumnya. Ia mempercepat lajunya menuju rumah, yang kini sudah berada di depan mata. Tadinya, ia sempat berencana berhenti sebentar untuk membeli martabak kesukaannya, namun niat itu mendadak ia urungkan. Perasaannya mengatakan kalau di mampir maka tidak aman.
Begitu mobil berhenti di depan gerbang rumahnya, Zara mengembuskan napas lega. Ketegangan pada dirinya perlahan mengendur. Ia turun dari mobil, bergegas menghampiri gerbang rumahnya yang tinggi, lalu membukanya sendiri.
Tetapi kelegaan itu tidak bertahan lama.
Tepat saat ia mendorong gerbang besi itu, telinganya kembali disergap oleh bunyi grasak-grusuk yang tidk mengenakkan. Kali ini suaranya jauh lebih keras dan mengganggu dari sebelumnya. Terdengar seperti bunyi gedebuk keras, mirip suara tong sampah besar yang ditabrak atau digulingkan.
Jantung Zara berdebar kencang. Ia sudah cukup merasa was-was sejak tadi, dan suara aneh ini menguatkan kecurigaannya. Rasa tidak nyaman itu berubah menjadi kewaspadaan. Ia menarik napas, bertekad untuk tidak lari.
"Tidak, aku harus tahu apa itu," bisiknya pada diri sendiri.
Dengan segenap keberanian yang tersisa, ia merogoh tasnya. Tangannya menggenggam erat sebuah botol kecil semprotan cabai, pertahanan diri yang selalu ia bawa belakangan ini. Ia melangkah perlahan mengitari mobilnya, matanya menyapu ke arah sekitar yang gelap.
Setiap langkahnya terasa berat, diiringi irama detak jantung yang memukul-mukul dadanya. Napasnya tercekat, dan telapak tangannya berkeringat dingin memegang botol semprotan. Situasi terasa mencekam. Bayangan akan sosok misterius yang mungkin bersembunyi di sana membuatnya hampir berteriak.
Tepat saat ia melongokkan kepala ke belakang tumpukan pot bunga besar, sebuah bayangan melompat.
"AAA--"
Teriakannya langsung terputus. Seseorang dengan sigap membungkam mulutnya dengan telapak tangan, sekaligus menariknya kuat merapat ke pagar rumah Zara.
Beberapa detik terasa seperti sebulan. Setelah dirasa aman, tangan itu dilepas. Zara membalikkan badan dengan cepat, matanya memicing menatap sosok yang baru saja membungkamnya.
"Eh, kamu, Mil!" seru Zara.
Di depannya berdiri Mila, sahabat lamanya yang sudah beberapa waktu terakhir menjaga jarak darinya. Wajah Mila terlihat tegang.
"Bukan aku ya, yang bikin suara aneh itu sambil ngikutin kamu, Ra." potong Mila cepat, takutnya Zara salah paham bahwa yang menguntit dirinya itu adalah Mila. "Aku justru cuma mau nolongin."
"Nolongin? Emangnya ada apa La?"
Alih-alih menjawab pertanyaan Zara, Mila justru memberi petuah kepada temannya itu.
"Makanya, hidup itu yang normal-normal aja sih, Ra. Nikah itu sama yang single," ujar mila, nadanya dingin, sarat akan sindiran. Dia malas cerita panjang lebar tentang apa yang terjadi barusan, yang tidak diketahui Zara. Tapi sesungguhnya dari kalimat sindiran Mila, tersirat bahwa Mila baru saja membereskan bahaya yang mengintai Zara.
Tidak dipungkiri, kata-kata Mila mengena langsung ke ulu hati Zara. Ia tidak membantah, tidak membela diri sedikit pun. Mila benar. Dalam posisi sebagai orang ketiga, memang tidak ada pembelaan yang akan diterima, bahkan dari sahabat sendiri.
Zara hanya menjawab, "Iya, Mil."
Bahkan setelah dikata-katai seperti itu, Zara tidak marah. Ia hanya bisa tersenyum sendu dan mengangguk, sebuah tanda bahwa ia menerima semua kata-kata Mila dan tetap menaruh kasih sayang serta perhatian pada sahabatnya itu.
"Terimakasih La, kamu sudah mengingatkan ku. Ah ya, mampir yuk ke rumah. Kebetulan aku tadi habis belanja snack kesukaan kita. Aku juga beli kuaci yang kamu suka. Menginap saja ya, besok libur kan?"
"Nggak ah, makasih."
Zara masih tetap tersenyum, "Yaudah kalau begitu kamu bawa pulang saja ya."
"Nggak usah Ra, makasih sebelumnya. Aku pulang dulu." Mila berbalik pergi meninggalkan Zara.
Mendengar itu, Zara bukannya bertolak masuk ke dalam rumah, akan tetapi wanita itu justru mengikuti langkah Mila. Begitu sampai di motor, Zara sangkutin bungkusan jajanan ke motor Mila, seraya balik badan lalu pergi dengan langkah setengah berlari.
Mila yang terhenyak apa yang dilakukan Zara, refleks mengambil gantungan bungkusan itu lalu berlari ke arah pagar Zara. Dia sangkutkan di pagar tersebut sembari menjulurkan lidah, meledek Zara.
Zara hanya tersenyum tipis melihat tingkah Mila, lalu melambaikan tangan dengan santai dan masuk ke dalam rumah.
Mila berbalik dan berjalan cepat ke arah motornya. Kunci motornya tidak ada! Mila meraba saku jaketnya, tidak ada. Ia ingat tadi terlalu buru-buru menolong Zara hingga tidak sempat mencabut kunci dari lubangnya.
"ZARAAA! KUNCI MOTORKU DI MANA?!" seru Mila dengan nada mulai kesal.
Yang diteriaki langsung berlari kecil ke arah pintu belakang dan masuk ke dalam rumah. Wajahnya menunjukkan ekspresi geli yang tidak bisa disembunyikan.
Mila langsung menerobos masuk melalui pagar yang terbuka itu. "Awas ya kamu, Ra!"
Di dalam rumah, Mila mendapati Zara sedang berlari kencang menuju dapur. Pengejaran pun terjadi. Mereka berlari mengitari meja makan, sofa, dan sesekali Zara menghindar dengan gesit. Sampai akhirnya, Zara berhasil lolos keluar melalui pintu depan. KLIK! Suara kunci diputar terdengar nyaring.
Mila yang baru saja hendak menyusul keluar, terperanjat. Ia terperangkap di dalam rumah Zara. Sementara Zara ada di luar. Mila menggedor pintu dengan panik.
Di luar, Zara pergi ke motor Mila, memarkirkannya dengan benar di halaman rumahnya, memastikan motor itu aman, dan mencabut kuncinya.
Setelah mengamankan motor Mila, Zara kembali masuk, tetapi ia memilih lewat pintu belakang yang memang tidak ia kunci.
Mila masih menggedor-gedor pintu depan dengan sekuat tenaga. "BUKA! ZARA! AKU MAU PULANG!" Ia berbalik, mencari celah, melihat pintu belakang. Ia berlari ke sana, tapi saat ia sampai di ambang pintu, Zara sudah berdiri tegak di ruang tengah, menyilangkan tangan di dada, sambil tersenyum polos.
"Oh jadi ini trikmu. Pantaslah kamu jadi perebut suami orang kalau caranya begini! Aku jadi tahu trik pelakor kaya gimana. Main kunciin orang aja di dalam rumah biar gak bisa balik! Iya kan begitu? Iya kan? Gak tahu diri itu namanya, Zara!"
"Iya, La. Aku nggak tahu diri."
"Rebut suami orang itu salah, Ra! Salah! Itu merusak rumah tangga orang!" sungut Mila lagi.
"Iya, La. Aku salah."
Mendengar Zara yang begitu pasrah dan tidak melawan, Mila kehilangan kata-kata. Tenaganya seakan terkuras habis. Ia pun terdiam, menghela napas panjang.
"Capek ngomong sama kamu, Ra," ujar Mila akhirnya.
"Kalau begitu, duduk disini, sahabatku," ajak Zara, menepuk sofa di sebelahnya.
Mila mendengus keras, namun tetap mengikuti ajakan Zara. Ia menjatuhkan diri di sofa dengan kesal.
Zara beranjak berdiri. "Aku buatkan minuman kesukaanmu ya? Dingin-dingin begini pasti enak."
"Iya, iya, terserah kamu," jawab Mila tanpa semangat.
Begitu Zara melangkah menuju dapur, Mila langsung bersuara, membuka fakta yang tadinya malas dia ungkap. "Ra, sebenarnya tadi ada yang ngikutin kamu."
Langkah Zara berhenti, ia membalikan badan.
"Aku lihat ada seseorang. Laki-laki, jaket hitam, kepala tertutup hoodie, wajahnya pakai masker. Dia ngikutin kamu sejak di jalan, dan dia sempat sembunyi pas kamu buka gerbang." Lanjut Mila.
Penjelasan Mila membuat darah Zara seolah berhenti mengalir. Ketakutannya tadi ternyata berdasar.
"Awalnya aku cuek. Aku pikir, ya sudahlah. Itu resiko yang harus kamu tanggung atas pilihan hidupmu menikah dengan suami orang."
Kata-kata itu menusuk, namun Zara hanya diam mendengarkan.
"Tapi rasa persahabatan kita lebih mendominasi daripada rasa kecewa aku ke kamu. Jadi, aku putuskan buat ikutin kamu diam-diam, dan pas dia mau mendekat tadi, aku langsung ganggu dengan tendang tong sampah itu keras-keras. Aku bikin dia kaget, terus aku langsung lari ke arah kamu dan bungkam. Dia pasti pergi karena denger suara keras itu dan lihat ada orang lain."
Mila menjelaskan semuanya dengan ringkas dan terkesan enggan.
Mata Zara berkaca-kaca. Ia tidak peduli dengan nada dingin Mila, yang ia rasakan hanyalah kehangatan karena diselamatkan, dan ketulusan yang mendalam.
"Ya ampun, Mila... makasih banyak. Kamu baik-baik aja?" Zara langsung bergerak maju, hendak memeluk sahabatnya itu dengan erat.
"Udah tenang, aku baik-baik aja kok. Makanya, yang normal-normal aja sih, Ra hidup tuh. Jangan cari penyakit." tutup Mila.
Zara termenung, memikirkan apakah Emily sudah tahu soal ini? Apakah itu orang Emily?
.
.
Bersambung.
Yaaa tapi kan hukum di negeri enih bisa dibeli 😌
jelas bikin perut keram
aku gak punya madu aja sering keram, gara dongkol hati ini 😁😁😁
jadi curhat nih