Fresha seorang gadis lugu, kurang percaya diri yang viral mirip Sha Artis legend yang telah meninggal 20 tahun.
Setelah kacamata Fresha terlepas maka tanpa sadar Fresha jadi Sha, yang percayadiri , aura bintang dia mulai muncul.
Fresha bisa tahu masa lalu Sha Sangat Legenda.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lingga Mn, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Zheshe, "Fresha Kamu adalah Sha"
Zheshe mengangguk-angguk, mencoba merangkai semua kepingan informasi yang ia miliki. "Fresha," panggilnya lembut, "tadi kamu bilang, meskipun kacamatamu hancur, kamu tetap bisa mengerjakan soal ujian dengan mudah, kan?"
Fresha mengangguk. "Iya, Zhe. Aneh banget. Padahal biasanya aku kesulitan kalau nggak pakai kacamata. Tapi tadi, semua soal terasa gampang banget. Kayak ada yang membantuku gitu."
Zheshe menatap Fresha dengan tatapan penuh arti. "Apa kamu merasa ada yang berbeda dengan dirimu saat itu? Maksudku, apakah kamu merasa seperti... orang lain?"
Pertanyaan Zheshe membuat Fresha terdiam. Ia mencoba mengingat kembali perasaannya saat mengerjakan soal ujian. Ia merasa percaya diri, tenang, dan mampu menjawab semua soal dengan sempurna. Namun, ia juga merasa ada sesuatu yang berbeda. Seolah-olah, ada kekuatan lain yang membantunya.
Zheshe melanjutkan, "Aku berpikir, Fresha. Apakah mungkin... saat kacamatamu hancur, ada sisi lain dari dirimu yang muncul? Sisi yang selama ini tersembunyi?" Zheshe sengaja tidak menyebut nama Sha, ia ingin Fresha sendiri yang menyadarinya. Ia ingin melihat apakah Fresha merasakan hal yang sama dengannya."
Fresha terdiam, membisu. Pertanyaan Zheshe menggantung di udara, namun tak ada jawaban yang keluar dari bibirnya. Mereka hanya diam sepanjang perjalanan pulang, pikiran Fresha berkecamuk dengan berbagai pertanyaan dan keraguan.
Sesampainya di rumah, Fresha mengajak Zheshe ke kamarnya. Ia merasa perlu mencurahkan semua kebingungan yang selama ini menghantuinya.
"Zhe," Fresha memulai dengan suara pelan, "aku bingung banget. Beberapa hari lalu, waktu aku pingsan, aku merasa seperti melakukan perjalanan waktu."
Fresha menceritakan semua yang dialaminya. Tentang bagaimana ia dibekukan untuk pengobatan, tentang proses perpindahan memori dari Fresha ke Sha setelah dua puluh tahun berlalu. Ia menceritakan bagaimana setelah sadar, ia sempat berpikir bahwa dirinya adalah Sha, namun kemudian ia merasa bingung dan tidak yakin.
"Aku ingat, waktu hujan deras, aku merasa sangat kangen sama mamaku," lanjut Fresha dengan suara bergetar. "Dan tadi, waktu ujian tanpa kacamata, aku merasa seperti... Fresha yang berbeda. Fresha yang percaya diri, gaul, berani, dan nggak pemalu. Tapi anehnya, aku juga bisa menjawab semua soal ujian dengan mudah."
Fresha menatap Zheshe dengan tatapan penuh kebingungan. "Aku nggak ngerti, Zhe. Siapa aku sebenarnya? Apa aku ini Fresha? Apa aku ini Sha? Atau aku ini... keduanya?"
Zheshe berhenti sejenak, raut wajahnya serius. "Fresha, dengerin gue baik-baik. Ada hal yang lo harus tahu, dan ini... berat. Gue udah menyelidiki lo selama ini."
Fresha mengerutkan kening, bingung. "Nyelidikin gue? Maksud lo apa, Zhe?"
Zheshe menarik napas dalam-dalam. "Gue bandingin foto lo waktu SMP sama SMA di aplikasi face recognition. Hasilnya... Fresha yang SMA itu 99% Sha."
Fresha tertawa hambar. "Lo becanda kan? Nggak mungkin lah!"
Zheshe menggeleng. "Gue serius, Fresha. Dan nggak cuma itu. Gue minta nyokap sama om gue buat tes DNA rambut lo sama Nenek Fatma. Hasilnya... lo anak kandungnya Fatma. Itu artinya, lo itu Sha."
Fresha terdiam, matanya membulat. "Nggak... nggak mungkin. Gue Fresha. Gue inget semua tentang hidup gue."
"Gue tahu ini berat buat lo, Fresha," kata Zheshe lembut, "tapi ada penelitian tentang transfer memori. Memori orang yang udah meninggal bisa dipindahin ke orang yang koma. Dan orang yang koma itu bakal sadar dengan memori yang masuk ke otaknya."
Fresha menggeleng-gelengkan kepalanya, air mata mulai mengalir di pipinya. "Ini nggak mungkin! Ini semua pasti salah! Gue bukan Sha! Gue Fresha!"
Zheshe mendekat dan memeluk Fresha erat. "Gue tahu ini sulit buat diterima, tapi gue yakin lo bisa ngadepin ini. Kita bakal cari tahu semua kebenarannya sama-sama."
Fresha membalas pelukan Zheshe, tangisnya semakin pecah. "Gue takut, Zhe. Gue takut kehilangan diri gue sendiri."
Zheshe mengelus punggung Fresha dengan lembut. "Lo nggak akan kehilangan diri lo sendiri, Fresha. Lo tetap Fresha, tapi lo juga Sha. Lo punya dua identitas, dan lo harus belajar buat nerima."
Di rumahnya yang mewah, Nindy makan malam dengan semangat membara. Ia tak sabar untuk berbagi kabar baik dengan mamanya, Jeslyn. "Ma, tahu nggak? Aku berhasil bikin kacamatanya Fresha rusak!" serunya dengan nada riang. "Jadi dia pasti nggak bisa jawab soal ujian dengan bener. Nilainya pasti turun, dan aku bakal jadi nomor satu lagi!"
Jeslyn mengangkat alisnya, tertarik dengan cerita putrinya. "Oh ya? Kok kamu bisa tahu kalau tanpa kacamata Fresha jadi nggak bisa ngerjain ujian?" tanyanya penasaran.
Nindy tersenyum licik. "Itu karena aku nggak sengaja denger Bu Lusi sama Zheshe ngobrol di kantor. Zheshe bilang, kalau Fresha pakai kacamata, dia jenius banget di pelajaran akademik. Tapi kalau nggak pakai kacamata, dia malah jadi jenius seni."
Jeslyn tertawa kecil. "Wah, pintar juga kamu, Nindy. Mama bangga sama kamu. Tapi inget, jangan sampai ketahuan ya. Kalau sampai ketahuan, bisa berabe urusannya."
Nindy mengangguk mantap. "Tenang aja, Ma. Aku udah nyuruh Carla sama Carli buat ngelakuin semuanya. Mereka nggak akan bocorin rahasia ini."
Oke, kita buat lebih dramatis dan dialognya lebih kekinian:
Aula sekolah riuh rendah. Detik-detik pengumuman hasil ujian semester serasa kayak final countdown. Fresha menggenggam tangan Zheshe erat, jantungnya dag-dig-dug nggak karuan. Nindy, di barisan depan, pasang muka confident abis, kayak udah pasti menang.
"Dan inilah dia... peraih nilai tertinggi di sekolah... sekaligus peringkat satu provinsi... FRESHA!"
Boom! Seisi aula langsung pecah. Tepuk tangan, sorakan, semuanya bercampur jadi satu. Fresha dan Zheshe saling tatap, senyum mereka merekah lebar. Nggak nyangka, guys, nggak nyangka!
Tapi, coba lihat ekspresi Nindy. Muka shock, marah, kesel, semuanya jadi satu. Tanpa ba-bi-bu, dia langsung cabut dari aula. Drama queen emang!
Di kelas, Nindy ngamuk nggak karuan. "Gara-gara lo berdua! Sialan!" teriaknya sambil nunjuk Carla dan Carli. "Gue udah suruh lo berdua buat ngerusak kacamatanya, kan?! Kok dia masih bisa menang sih?! Lo berdua beneran becus nggak sih?!"
Oke, let's amp up the drama and modernize the dialogue!
Nindy mencengkeram rambutnya frustrasi. "Argh! This doesn't make sense! Kacamatanya udah ancur lebur, tapi kok dia masih bisa menang?! What the heck is going on?!" Dia mondar-mandir kayak setrikaan rusak, otaknya muter kayak gasing. Tiba-tiba, dia berhenti. "Oke, fine. Gue cari tahu sendiri apa yang sebenarnya terjadi." Tanpa ngelirik Carla dan Carli, dia langsung ngacir keluar kelas. Bye Felicia!
Carla dan Carli bengong ngeliatin Nindy cabut. "Eh, kita ditinggalin gitu aja?" kata Carla, nggak percaya.
"Gila ya, tuh anak. Kita udah bantuin dia, eh malah dikacangin," timpal Carli, kesel. "Udah deh, guys, gue rasa kita salah gaul selama ini. Kalau terus-terusan deket sama Nindy, yang ada masa depan kita ikutan ancur."
Carla mengangguk setuju. "Bener banget! Mendingan kita move on dan cari temen yang lebih positif. Sayonara, Nindy! Semoga sukses dengan kedramaan lo!" Mereka berdua tos, lalu keluar kelas dengan langkah ringan. New life, here we come!