Zely Quenby, seorang gadis yang bekerja di sebuah perusahaan. ia hanya seorang karyawan biasa disana. sudah lama ia memiliki perasaan cinta pada Boss nya yang bernama lengkap Alka farwis gunanda. Hingga timbul lah tekad nya untuk mendapatkan Alka bagaimana pun itu. meskipun terkadang ia harus menahan rasa sakit karena mencintai seorang diri.
bagaimana yah keseruan kisah antara Alka si bos galak dan crewet dengan gadis bermulut lembek itu?
pantengin terus yah, dan jangan lupa untuk tekan favorit biar bisa ngikutin cerita nya😍.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon sopiakim, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
28. Cemburu kupu-kupu
Radi, seorang dokter muda yang biasanya tenggelam dalam hiruk-pikuk rumah sakit, hari itu memutuskan mengambil jeda. Ia memilih duduk di sudut sebuah kafe kecil yang tersembunyi di antara deretan ruko tua, tempat yang tidak terlalu ramai, tapi cukup hangat untuk membuatnya merasa nyaman. Di hadapannya, secangkir cappuccino mulai mengeluarkan uap, dan aroma kopi yang pekat seolah membelai pikirannya yang lelah. Tangannya menggenggam buku yang sudah lama ingin ia selesaikan, tapi tak pernah sempat disentuh karena kesibukan jaga malam dan pasien yang datang silih berganti.
Ia menyandarkan tubuhnya, mencoba melepas penat yang telah lama bersarang di bahunya. Suara pelan dari musik jazz yang mengalun di dalam ruangan, ditambah riuh rendah obrolan pengunjung lain, terasa seperti latar sempurna bagi ketenangan yang ia cari. Radi tak terbiasa berlama-lama sendirian di tempat seperti itu, tapi anehnya hari itu ia merasa damai. Seolah tubuhnya tahu, ia butuh lebih dari sekadar tidur—ia butuh merasa hidup di luar ruang gawat darurat dan ruangan steril.
Sesekali ia menatap keluar jendela, memperhatikan orang-orang yang lalu lalang dengan cerita mereka masing-masing. Tiba-tiba ponselnya berdering hingga ia sedikit terlonjak kaget, jujur sana sebagai seorang dokter ia sangat siaga saat ada panggilan masuk di hpnya.
"Woyy kemane lu? Libur gini jangan bilang lu ke perpus juga?"Fida selaku rekan nya juga mengambil cuti hari ini. Mereka memang sengaja merencanakan itu.
"Ga lah cuy, nih lagi nongki bentar abis tu balik mau bobo sampe puas."
"Busetdahh, pantesan gua ke rumah lu ga ada, tante bilang masih pagi dah ga keliatan batang idung lo."
"Ooh perihal laporan itu? Pliss besok aja nape aelaaah. Lagi libur niihh ga punya etika banget."
"Ya kan sekalian apa salahnya, gua mau ke toko bunga tempat Zely kebetulan searah yaudah sekalian. Sok banget gaya lo cuti sehari doang, udah yaa bye."
Panggilan terputus dan Radi menggeleng pelan, ia tersenyum sebenarnya ia tidak kesal hanya berpura-pura saja.
Alka kembali ke rumah dengan perasaan kesal, ia ingin menghampiri mereka tadi saking kesalnya tapi ia masih berhasil mempertahankan harga dirinya.
"Kenapa dia mau mau saja dipeluk oleh laki-laki lain? Aku saja belum pernah memeluknya, ck benar-benar tidak habis pikir."
Alka duduk di depan televisi sembari melihat sekeliling rumah, terasa sangat sepi dan juga hampa tanpa kehadiran Zely. Ternyata Alka merasa nyaman dirumah akhir akhir ini karena kehadiran Zely.
Ia sebenarnya masih memiliki pekerjaan lain, tapi entah kenapa ia begitu merindukan rumah dan selalu ingin pulang lebih cepat, ia mengira karena nyaman dirumah untuk beristirahat saja tapi kini ia bahkan merasa tidak nyaman dirumah karena tidak ada Zely. Dan barulah ia sadar ternyata ia merindukan suasana rumah saat ada kehadiran gadis itu di sana.
"Apa aku kesana saja? Tapi untuk apa?"
Alka berdiri sejenak kemudian sadar atas ide tidak masuk akal itu lalu ia kembali duduk, merutuki dirinya yang semakin bertingkah tidak karuan itu.
"Lebih baik kamu tidur Alka! Semakin hari kamu semakin aneh, sepertinya kamu kelelahan. "
Alka memilih untuk naik ke kamar untuk mengistirahatkan dirinya yang mungkin terlalu lelah hingga ngelantur terus menerus.
"Kakak ga ada niatan mau balik keja kesana? Padahal kakak lebih cocok menjadi asisten menejer dibandingkan kerja bunga seperti ini."
Mbak Mia menatap kesal kearah adiknya itu, seperti khas adek kakak mereka benar-benar memancarkan aura itu. Sedikit tidak akur tapi saling membutuhkan.
"Jangan coba coba mencuri karyawan kesayangan mbak yah Jef! Kamu ga sibuk apa? Artis apa malas malasan begini."
"Yah namanya juga ngambil cuti mbak, hehehe emang gaboleh nongki disini? Disini sepi nyaman dan aman dari seluruh media."
"Busetdah dikate cafe apa?mbak lagi jualan nanti pembeli datang terus kenal kamu gimana?"
"Itung itung jadi penglaris mbak, kapan lagi adekmu ini mbak gunakan buat promosi. "
Mia segera menggeleng karena ia tidak maj repot, dengan keadaan pembeli tetap seperti saat ini saja ia sudah senang dan bersyukur. Tidak mau repot lagi jika sewaktu-waktu toko bunga itu ramai.
"Ga ah gamau, mbak gamau repot kalau sampai banyak pelanggan yang datang."
Jefri tertawa mendengar sembari melihat wajah panik kakaknya itu, Zely juga ikut tertawa dan itu membuat Zefri terpana. Ia segera menggeleng karena sadar akan status Zely.
Zely sendiri tiba-tiba bangkit dan tersenyum melambaikan tangan kearah jalan.
"Fid?"
Jefri kaget karena tiba-tiba seorang gadis datang kearah mereka, ia takut akan dikenali dan keadaan disana langsung heboh.
"Loh, kok kakak gabilang mau kedatangan tamu? Gimana ini? Mana ga bawa topi sama kacamata lagi."
Zeky tertawa pelan "Tidak usah panik Jef, dia sama sekali ga kenal artis manapun. Dia sibuk banget sampe lupa segala hal.
Tetap saja jiwa narsis dan pede dalam diri Jefri tidak percaya, ia sudah sangat terkenal bagaimana mungkin gadis itu tidak mengenali nya.
"Ihh cape banget tau aku muter muter nyasar nyari toko ini."
Fida datang dengan bingkisan yang sepertinya cemilan, ia berikan kepada Zely.
"Temannya Zely yah?" Tanya mbak Mia dengan ramah kemudian menyodorkan tangannya.
"Hehe iya mbak, Fida!" Disambut oleh fida.
"Mbak Mia, silahkan duduk."
Fida hendak duduk namun heran saat melihat laki-laki yang saat ini berdiri dihadapan nya, ia terlihat sangat tampan dengan kulit putih mulus terawat itu,matanya tegas dan rahangnya juga demikian. Siapapun akan mengira dia artis karena penampilan glamor nya itu. Namun terasa aneh saat ia berlagak seolah ingin sembunyi dan tak terlihat jelas Fida bingung dengan laki-laki itu.
"Kenalin ini Jefri!" Zely mencoba memecah suasana canggung itu.
"Fida heheh." Fida memperkenalkan diri dengan santai, tidak ada tanda tanda bahwa gadis itu tertarik dengan Jefri. Hingga mbak Mia hampir saja terbahak melihat reaksi Fida yang biasa saja saat bertemu Jefri.
Jefri benar-benar tidak percaya dengan kenyataan itu, bagaimana bisa Fida tidak mengenal dirinya. Tatapan Fida polos dan jujur, tidak ada sedikit pun tanda pengenalan atau kekaguman yang biasa ia dapat dari para penggemarnya. Ia bahkan bisa merasakan kalau Fida lebih tertarik pada percakapan serius antar sahabat daripada basa-basi dengannya. Benar-benar sebuah hal baru bagi Jefri, rasanya mendebarkan saat melihat gadis setenang Fida.
Sementara Radi benar-benar menikmati hari liburnya hari ini, dari pagi ia keluyuran dari cafe satu ke cafe yang lain. Dan berakhir lah ia di sebuah restoran kecil di pinggir jalan kota itu ramai, riuh dengan suara pelanggan, piring beradu, dan musik akustik yang diputar dari speaker tua di pojok ruangan.
Radi duduk dengan menikmati makanan nya, hari terasa panas dan juga gerah tapi ruangan itu berhasil membuat ia nyaman merasakan kesejukan.
Sementara Yesha duduk di sudut, menunggu pesanan yang tak kunjung datang. Mereka berdasarkan dalam satu ruangan tanpa janjian dan tanpa tau satu sama lain. Teman-temannya sedang ke toilet. Ia menunduk, memainkan sedotan plastik sambil mengatur napas pelan. Tapi dari tadi… ada rasa tak enak di dada.
Radi menikmati makanannya sembari melihat sekeliling hingga tersadar melihat seorang gadis yang membuat senyuman terukir dibibirnya.
Ia semakin tersenyum saat melihat gadis itu sedang meminum jus tanpa uap es disana.
"Ahh dia ternyata sangat penurut. " Radi merasa lega kemudian melanjutkan acara makannya.
Sedangkan Yesha sejak tadi merasa nyaman di dadany. Sedikit berat. Sesak pelan. Seperti ada yang menekan.
Astaga. Bukan sekarang. Panik dan itu sangat jelas bisa di tangkap oleh Radi, gadis itu seolah sedang dalam keadaan yang kurang baik.
Ia buru-buru meraih tas, mencari inhaler. Tapi matanya melebar.
Kosong. Inhalernya… tidak ada. Ia lupa lagi dan lagi, ia benar-benar benci karena ia sangat lalai dengan dirinya sendiri.
Panik mulai menjalari tubuhnya. Napasnya mulai terdengar kasar. Suara orang di sekitarnya jadi bergema tak jelas. Dada seperti ditusuk dari dalam. Ia berdiri terburu-buru, mencoba keluar dari restoran, tapi langkahnya goyah.
Dan tepat saat tubuhnya limbung ke depan— dengan kesadaran yang sudah setengah melayang.
Seseorang menangkapnya.
“YESHA?”
Suara itu... familiar. Hangat. Tegas.
Radi.
Ia berlari dari arah berlawanan, mungkin sejak tadj mereka berada di meja yang berbeda dan Yesha tidak sadar akan hal itu . Matanya membelalak melihat kondisi Yesha. Tanpa pikir panjang, ia mengangkat tubuh Yesha pelan, menyandarkannya ke dinding dekat pintu keluar.
“Nafas... sesak... inhaler... lupa...” gumam Yesha dengan napas terputus-putus.
Radi segera mengeluarkan tas selempang kecilnya. Sebagai dokter, ia selalu bawa satu set nebulizer portabel dan inhaler darurat. Instingnya bekerja cepat.
“Lihat aku, Yesha. Tarik napas pelan. Ini, pakai ini.”
Ia menempelkan inhaler ke mulut Yesha, membantunya menekan dan menarik napas perlahan.
Yesha menggenggam lengan jaket Radi dengan sisa tenaganya, matanya basah karena panik. Tidak ada sikap dingin atau tajam hari ini—hanya seorang gadis yang berusaha bertahan.
“Good. Pelan. Lagi. Kamu bisa,” kata Radi dengan suara lebih lembut dari biasanya.
Beberapa menit terasa seperti selamanya.
Tapi perlahan, napas Yesha mulai teratur. Suaranya masih berat, tapi tidak lagi berdesing. Tangannya mulai melepas cengkeramannya dari lengan Radi.
“Ceroboh,” gumam Radi pelan, setengah lega setengah kesal. “Lupa inhaler lagi? Mau bikin saya kena serangan jantung juga?”
Yesha tak menjawab. Wajahnya masih pucat, tapi matanya sudah lebih tenang.
Radi menatapnya lama, lalu berkata pelan, “Tahu nggak? Saya udah cukup terbiasa kamu jutek tiap kali kontrol. Tapi nggak pernah siap lihat kamu kayak gini.”
Yesha menatap Radi balik. Kali ini tidak dengan tatapan sinis, tapi kosong—lelah. Rapuh.
“Kenapa... kamu bisa ada di sini?” tanyanya lirih.
Radi menghela napas. “Kebetulan. Atau mungkin… saya memang selalu muncul di tempat kamu butuh.”
Yesha mengalihkan pandangan. Tapi jantungnya berdetak lebih cepat dari sebelumnya—bukan karena sesak. Bukan karena panik. Tapi karena… Radi. Ia ingin membalas dengan wajah seolah lelah dengan gombalan Radi tapi ia tak berdaya.
Dan entah sejak kapan, untuk pertama kalinya dalam hidupnya, ia tak keberatan kalau dokter tengil itu berdiri di sisinya lebih lama. Ia bahkan merasa aman dan nyaman.
...🎀Bersambung 🎀...
Awww lebih baper liat kisah dokter dan Yesha, plisss gakuat ngetik iniii. Mereka bikin senyum senyum sendiri hihi.
Jangan lupa yah like komen dan votenya wan kawan.
See you guys 🫶
ini beda 👍👍👍👍