Asillah, seorang wanita karir yang sukses dan mandiri, selalu percaya bahwa jodoh akan datang di waktu yang tepat. Ia tidak terlalu memusingkan urusan percintaan, fokus pada karirnya sebagai arsitek di sebuah perusahaan ternama di Jakarta. Namun, di usianya yang hampir menginjak kepala tiga, pertanyaan tentang "kapan menikah?" mulai menghantuinya. Di sisi lain, Alfin, seorang dokter muda yang tampan dan idealis, juga memiliki pandangan yang sama tentang jodoh. Ia lebih memilih untuk fokus pada pekerjaannya di sebuah rumah sakit di Jakarta, membantu orang-orang yang membutuhkan. Meski banyak wanita yang berusaha mendekatinya, Alfin belum menemukan seseorang yang benar-benar cocok di hatinya. Takdir mempertemukan Asillah dan Alfin dalam sebuah proyek pembangunan rumah sakit baru di Jakarta. Keduanya memiliki visi yang berbeda tentang desain rumah sakit, yang seringkali menimbulkan perdebatan sengit. Namun, di balik perbedaan itu, tumbuhlah benih-benih cinta yang tak terduga. Mampukah Asillah dan Alfin mengatasi perbedaan mereka dan menemukan cinta sejati? Ataukah jodoh memang tidak akan lari ke mana, namun butuh perjuangan untuk meraihnya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon EPI, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Sok cuek tapi berharap,kedatangan yg salah,dan amukan lucu tak tertahankan
"Rian? Apa yang kau lakukan di sini? Bukankah kau seharusnya sudah tidur?" tanya Asillah, berusaha menyembunyikan rasa senangnya di balik nada cuek.
Rian mengangkat bahu dengan santai. "Nggak bisa tidur. Tadi dengar suara ribut-ribut, jadi penasaran. Ada drama apa lagi nih?" goda Rian, dengan senyum jailnya.
Asillah memutar bola matanya. "Nggak ada apa-apa. Cuma ada dua orang bodoh yang lagi rebutan mantan," jawab Asillah, dengan nada meremehkan. Padahal, hatinya masih berdebar kencang setelah kejadian tadi.
Rian terkekeh. "Rebutan mantan? Wah, seru tuh. Boleh ikut nonton?"
"Nggak boleh! Sana pergi tidur! Ini bukan tontonan yang layak untukmu," usir Asillah, dengan nada galak. Tapi, dalam hati, ia berharap Rian tetap tinggal. Ia butuh seseorang untuk menemaninya dan menghiburnya.
Rian mengangkat kedua tangannya, menyerah. "Oke, oke. Aku pergi. Tapi, kalau butuh sesuatu, panggil saja ya," kata Rian, lalu berbalik dan berjalan pergi.
Asillah menghela napas lega setelah Rian pergi. Ia menutup pintu dan bersandar di sana. "Kenapa aku harus sok cuek sih? Kenapa aku nggak bilang saja kalau aku butuh dia?" gumam Asillah, menyesali sikapnya.
Namun, ia terlalu gengsi untuk mengakui perasaannya. Ia ingin terlihat kuat dan mandiri di depan Rian.
Asillah kemudian berjalan menuju tempat tidur dan merebahkan diri di sana. Ia mencoba untuk tidur, tapi pikirannya terus melayang pada Dokter Alfin dan Renata.
"Apa mereka benar-benar saling mencintai? Apa aku sudah kehilangan Dokter Alfin selamanya?" pertanyaan-pertanyaan itu terus berputar di kepalanya.
Tiba-tiba, terdengar suara ketukan pintu lagi. Asillah mengernyitkan dahi. "Siapa lagi sih? Nggak bisa apa ya, biarin aku tenang sebentar saja?" gerutu Asillah.
Dengan malas, Asillah bangkit dari tempat tidur dan berjalan menuju pintu. Ia membuka pintu dengan kasar dan langsung melotot.
"Kau lagi? Apa maumu sebenarnya?" tanya Asillah, dengan nada ketus.
Namun, orang yang berdiri di hadapannya bukanlah Dokter Alfin atau Renata. Melainkan... seorang pria asing!
Pria itu memiliki wajah yang tampan, tubuh yang atletis, dan senyum yang menawan. Ia mengenakan kemeja putih yang dipadukan dengan celana jeans.
Asillah terkejut melihat pria asing itu. Ia tidak mengenal pria itu sama sekali.
"Maaf, apa aku mengganggu?" tanya pria itu, dengan nada sopan.
Asillah mengerutkan kening. "Siapa kau? Dan apa yang kau inginkan?" tanya Asillah, dengan nada curiga.
Pria itu tersenyum. "Perkenalkan, nama saya... (nama pria asing). Saya adalah teman Dokter Alfin," jawab pria itu.
Asillah semakin bingung. "Teman Dokter Alfin? Lalu, kenapa kau datang ke sini?" tanya Asillah.
"(Nama pria asing) adalah... (alasan kedatangan pria asing)," jawab pria itu.
Asillah terkejut mendengar alasan kedatangan pria asing itu. Ia tidak menyangka Dokter Alfin akan melakukan hal seperti ini.
"Apa? Kau bercanda? Aku tidak percaya!" seru Asillah, dengan nada yang tidak percaya.
"(Nama pria asing) adalah... (penjelasan lebih lanjut)," jelas pria asing itu.
Asillah masih tidak percaya dengan apa yang didengarnya. Ia merasa seperti sedang dipermainkan.
"Ini pasti lelucon kan? Dokter Alfin pasti menyuruhmu untuk melakukan ini kan?" tuduh Asillah, dengan nada yang marah.
Pria asing itu menggelengkan kepalanya. "Tidak, Nona. Saya melakukan ini atas kemauan sendiri. Saya ingin membantu Dokter Alfin," jawab pria itu, dengan nada tulus.
Asillah menatap pria asing itu dengan tatapan yang menyelidik. Ia mencoba untuk mencari tahu apakah pria itu berbohong atau tidak.
Setelah beberapa saat, Asillah memutuskan untuk percaya pada pria asing itu. Ia merasa pria itu mengatakan yang sebenarnya.
"Baiklah, aku percaya padamu. Tapi, apa yang kau harapkan dariku?" tanya Asillah, dengan nada yang lebih lembut.
Pria asing itu tersenyum. "Saya hanya ingin kau memaafkan Dokter Alfin. Dia benar-benar menyesal atas perbuatannya," jawab pria itu.
Asillah terdiam sejenak. Ia berpikir keras tentang apa yang harus ia lakukan.
Di satu sisi, ia masih marah dan sakit hati pada Dokter Alfin. Ia tidak
Di satu sisi, ia masih marah dan sakit hati pada Dokter Alfin. Ia tidak ingin memaafkan pria yang sudah menyakitinya itu.
Namun, di sisi lain, ia juga merasa kasihan pada Dokter Alfin. Ia tahu Dokter Alfin berada dalam posisi yang sulit dan terpaksa melakukan semua itu.
"Aku... aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan," lirih Asillah, dengan nada yang bimbang.
Pria asing itu tersenyum lembut. "Saya mengerti, Nona. Ini bukan keputusan yang mudah. Tapi, saya yakin, jika kau memberikan kesempatan pada Dokter Alfin, dia akan membuktikan bahwa dia pantas untuk dimaafkan," kata pria asing itu, dengan nada yang penuh keyakinan.
Asillah menatap pria asing itu dengan tatapan yang penuh pertanyaan. "Kenapa kau begitu yakin? Apa kau tahu sesuatu yang tidak aku tahu?" tanya Asillah.
Pria asing itu menghela napas panjang. "Sebenarnya, ada satu hal yang ingin saya beritahukan padamu. Tapi, saya tidak yakin apakah kau siap untuk mendengarnya," kata pria asing itu, dengan nada ragu.
Asillah mengerutkan kening. "Hal apa? Katakan saja. Aku siap mendengarnya," desak Asillah, dengan nada penasaran.
Pria asing itu mendekat ke arah Asillah dan berbisik di telinganya. "Sebenarnya, Dokter Alfin... (pengakuan mengejutkan tentang Dokter Alfin)," bisik pria asing itu.
Asillah terkejut mendengar pengakuan pria asing itu. Ia tidak menyangka Dokter Alfin akan melakukan hal seperti ini.
"Tidak mungkin! Ini pasti bohong! Kau pasti berbohong padaku kan?" seru Asillah, dengan nada yang tidak percaya.
Pria asing itu menggelengkan kepalanya. "Tidak, Nona. Saya tidak berbohong. Saya bisa membuktikannya jika kau mau," kata pria asing itu, dengan nada yang meyakinkan.
Asillah terdiam sejenak. Ia berpikir keras tentang apa yang harus ia lakukan.
Jika pria asing itu berbohong, maka ia akan merasa sangat marah dan kecewa. Namun, jika pria asing itu mengatakan yang sebenarnya, maka ia akan merasa sangat bersalah dan menyesal.
"Baiklah, aku akan memberikanmu kesempatan untuk membuktikannya. Tapi, jika kau berbohong, aku tidak akan pernah memaafkanmu dan Dokter Alfin," kata Asillah, dengan nada yang tegas.
Pria asing itu tersenyum lega. "Terima kasih, Nona. Aku janji tidak akan mengecewakanmu," kata pria asing itu.
Pria asing itu kemudian mengeluarkan ponselnya dan menunjukkan sebuah foto kepada Asillah. Foto itu adalah... (bukti yang membuat Asillah terkejut).
Asillah terkejut melihat foto itu. Ia tidak menyangka Dokter Alfin akan melakukan hal seperti ini.
"Ini... ini tidak mungkin..." gumam Asillah, dengan nada yang shock.
Pria asing itu mengangguk. "Saya tahu ini sulit untuk dipercaya. Tapi, ini adalah kenyataannya," kata pria asing itu.
Asillah merasa sangat bersalah dan menyesal. Ia merasa telah salah menilai Dokter Alfin.
"Ya Tuhan, apa yang sudah aku lakukan? Aku sudah menyakiti orang yang aku cintai," lirih Asillah, dengan nada yang penuh penyesalan.
Pria asing itu menepuk pundak Asillah dengan lembut. "Jangan menyalahkan dirimu sendiri, Nona. Ini bukan salahmu. Ini adalah salah Dokter Alfin yang tidak berani jujur padamu," kata pria asing itu.
Asillah menatap pria asing itu dengan tatapan yang penuh terima kasih. "Terima kasih sudah memberitahuku yang sebenarnya. Aku tidak tahu apa yang akan aku lakukan tanpamu," kata Asillah.
Pria asing itu tersenyum. "Sama-sama, Nona. Saya hanya ingin membantu Dokter Alfin dan dirimu untuk bahagia," kata pria asing itu.
Asillah mengangguk. "Aku juga ingin bahagia. Aku ingin bersama dengan Dokter Alfin," kata Asillah, dengan nada yang penuh harapan.
"Kalau begitu, kau harus menemuinya dan berbicara dengannya. Katakan padanya apa yang kau rasakan," saran pria asing itu.
Asillah mengangguk setuju. "Kau benar. Aku harus menemuinya dan menjelaskan semuanya," kata Asillah.
Asillah kemudian berpamitan kepada pria asing itu dan bergegas pergi mencari Dokter Alfin. Ia ingin meminta maaf dan mengatakan bahwa ia masih mencintai Dokter Alfin.
Namun, saat ia keluar dari villa, ia melihat Dokter Alfin sedang berciuman dengan Renata!
Asillah terkejut melihat pemandangan itu. Hatinya hancur berkeping-keping.
"Tidak! Ini tidak mungkin! Kenapa ini harus terjadi padaku?" teriak Asillah, dengan nada yang penuh kepedihan.
Asillah kemudian berlari menjauh dari villa, meninggalkan Dokter Alfin dan Renata yang sedang berciuman. Ia tidak tahu harus
Asillah berlari sekencang-kencangnya, air mata membasahi pipinya. Ia tidak peduli dengan tatapan aneh orang-orang yang melihatnya. Yang ada di pikirannya hanyalah rasa sakit hati dan kecewa yang mendalam.
"Kenapa? Kenapa harus aku yang mengalami semua ini? Apa salahku?" ratap Asillah dalam hati.
Ia terus berlari hingga akhirnya tiba di sebuah taman yang sepi. Ia terduduk lemas di bangku taman dan menangis sejadi-jadinya.
"Aku benci Dokter Alfin! Aku benci Renata! Aku benci semua pria di dunia ini!" teriak Asillah, melampiaskan semua amarahnya.
Setelah puas menangis, Asillah mulai berpikir jernih. Ia tidak bisa terus-terusan meratapi nasibnya. Ia harus bangkit dan menunjukkan kepada Dokter Alfin dan Renata bahwa ia bisa bahagia tanpa mereka.
"Aku tidak akan membiarkan mereka berdua bahagia di atas penderitaanku. Aku akan membalas dendam!" tekad Asillah, dengan mata yang berkilat-kilat.
Namun, bagaimana caranya ia bisa membalas dendam? Ia tidak punya kekuatan atau kekuasaan untuk melawan Dokter Alfin dan Renata.
"Aku harus mencari cara untuk membuat mereka menyesal telah menyakitiku. Aku akan membuat mereka merasakan apa yang aku rasakan," gumam Asillah, dengan nada penuh dendam.
Tiba-tiba, sebuah ide muncul di benaknya. Ide yang gila, tapi bisa jadi berhasil.
"Aku akan membuat Dokter Alfin cemburu! Aku akan membuatnya menyesal karena sudah memilih Renata daripada aku," seru Asillah, dengan senyum licik yang menghiasi wajahnya.
Tapi, bagaimana caranya ia bisa membuat Dokter Alfin cemburu? Ia tidak punya pacar atau teman pria yang bisa ia gunakan untuk membuat Dokter Alfin cemburu.
"Aku harus mencari seseorang yang bisa berpura-pura menjadi pacarku. Seseorang yang tampan, menarik, dan bisa membuat Dokter Alfin merasa iri," pikir Asillah.
Saat itulah, ia teringat pada Rian. Rian adalah sahabatnya sejak kecil. Ia tahu Rian selalu ada untuknya dan siap membantunya dalam situasi apapun.
"Rian! Dia adalah orang yang tepat! Aku akan meminta bantuannya untuk berpura-pura menjadi pacarku," seru Asillah, dengan semangat yang kembali membara.
Namun, ada satu masalah. Asillah tidak yakin apakah Rian bersedia membantunya. Ia tahu Rian tidak menyukai drama dan kebohongan.
"Aku harus mencoba. Tidak ada salahnya kan? Siapa tahu Rian bersedia membantuku," gumam Asillah.
Asillah kemudian mengeluarkan ponselnya dan menghubungi Rian. Setelah beberapa dering, Rian mengangkat teleponnya.
"Halo, Sil? Ada apa? Kenapa kau meneleponku malam-malam begini?" tanya Rian, dengan nada khawatir.
"Rian, aku butuh bantuanmu. Bisakah kau menemuiku sekarang?" pinta Asillah, dengan nada memohon.
"Ada apa? Apa terjadi sesuatu?" tanya Rian, dengan nada yang semakin khawatir.
"Aku akan menjelaskannya nanti. Pokoknya, aku mohon, temui aku sekarang. Aku sangat membutuhkanmu," pinta Asillah.
"Baiklah, aku akan segera ke sana. Di mana kau sekarang?" tanya Rian.
"Aku ada di taman kota. Aku tunggu kau di sini," jawab Asillah.
"Oke, aku akan segera datang," kata Rian, lalu menutup teleponnya.
Asillah menghela napas lega setelah berbicara dengan Rian. Ia berharap Rian bersedia membantunya dalam rencana balas dendamnya.
Tidak lama kemudian, Rian tiba di taman kota. Ia berlari menghampiri Asillah dengan wajah yang cemas.
"Sil, apa yang terjadi? Kenapa kau menangis?" tanya Rian, dengan nada khawatir.
Asillah menceritakan semua yang terjadi kepada Rian. Ia menceritakan tentang pengakuan pria asing itu, tentang Dokter Alfin dan Renata yang berciuman, dan tentang rencana balas dendamnya.
Rian mendengarkan cerita Asillah dengan seksama. Ia tampak terkejut dan marah mendengar apa yang telah dialami oleh Asillah.
"Mereka benar-benar keterlaluan! Aku tidak