Maya Amelia, seorang mahasiswi hukum Universitas Bangsa Mulya, tak pernah menyangka kalau takdir akan mempertemukannya dengan Adrian Martadinata pengacara muda,tampan,dan terkenal di kalangan sosialita.
Awalnya, Maya hanya mengagumi sosok Adrian dari jauh. Namun, karena sebuah urusan keluarga yang rumit, Adrian terpaksa menikahi Maya gadis magang yang bahkan belum lulus kuliah, dan tak punya apa-apa selain mimpinya.
Setelah Menikah Adrian Tak bisa melupakan Cinta Pertamanya Lily Berliana seorang Gundik kelas atas yang melayani Politisi, CEO, Pejabat, Dokter, Hingga Orang-orang yang punya Kekuasaan Dan Uang. Lily Mendekati Adrian selain karena posisi dirinya juga mau terpandang, bahkan setelah tahu Adrian sudah memiliki istri bernama Maya, Maya yang masih muda berusaha jadi istri yang baik tapi selalu di pandang sebelah mata oleh Adrian. Bahkan Adrian Tak segan melakukan KDRT, Tapi Ibunya Maya yang lama meninggalkannya kembali Greta MARCELONEZ asal Filipina untuk melindungi Putrinya
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Putri Sabina, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Langkah Kecil, Takdir Besar
Setelah tugasnya rampung, Maya mulai berkemas. Ia memasukkan laptop dan buku ke dalam tas dengan rapi. Reza yang sudah selesai makan menawarinya tumpangan pulang.
"May, mau gue anter gak? Gue sekalian lewat arah rumah lo kok." tawar Reza ramah.
Namun Maya menolaknya halus, seperti biasa.
"Enggak ah, takut. Bokap gue tuh bawel banget kalo tau gue pulang bareng cowok." jawab Maya sambil tersenyum.
Reza hanya mengangguk, mengerti. "Ya udah, hati-hati ya."
Maya lalu berjalan ke arah pintu keluar restoran, sambil sibuk membuka aplikasi ojek online di ponselnya.
Namun tanpa sengaja, saat lengah menunduk ke layar, tubuhnya menabrak seseorang.
"Aduh, maaf, Kak! Aku nggak sengaja." ucap Maya buru-buru.
Minuman dingin yang tadi dibawa wanita itu tumpah, sebagian membasahi bajunya. Maya langsung panik.
"Aduh... beneran maaf, Kak. Aku nggak liat jalan."
Wanita itu menatap Maya tajam. Lily Berliana. Dengan pakaian ketat dan dandanan mencoloknya, ia tampak kesal, apalagi bajunya jadi kotor karena minuman.
"Kalau jalan liat-liat dong. Dasar bocah! mata lo buta!" ujar Lily sinis, sambil membersihkan roknya yang basah.
Maya hanya menunduk, menahan diri meski hatinya agak tersinggung.
"Maaf, Kak. Aku gantiin minumannya deh, aku beliin lagi." tawarnya sopan.
Lily hanya mendengus, lalu melirik Maya dari atas ke bawah dengan pandangan meremehkan.
"Udahlah, gak usah sok baik, dari penampilan lo aja kismin." katanya ketus, lalu berlalu pergi sambil memegang lengan Adrian yang baru saja keluar dari toilet.
Maya menoleh sekilas. Baru sadar, pria yang berjalan bersama wanita tadi… adalah Adrian Martadinata. Sosok yang tadi sempat mereka bicarakan.
"Ah, sial… malah ketemu lagi. Udah cakep, pengacara, sayang pacarnya kayak begitu." batin Maya, lalu kembali fokus ke ponselnya untuk memesan ojek.
Setelah berhasil memesan ojek online, Maya akhirnya pulang dengan perasaan sedikit lega. Namun perjalanan tak semudah yang ia kira. Jalanan Jakarta sore itu benar-benar padat, macet parah, seperti biasa.
Dari jam 3 sampai jam 6 sore, kota seolah lumpuh. Semua orang berusaha pulang, semua kendaraan menumpuk. Motor yang ia tumpangi pun hanya bisa merayap pelan di sela-sela mobil yang berhenti nyaris tak bergerak.
Maya melirik ponselnya. Jam 7 malam.
Dadanya mulai was-was. Ia tahu betul ayahnya tak suka jika ia pulang terlalu malam, apalagi tanpa kabar.
"Aduh… bisa-bisa kena semprot nih gue..." batinnya sambil memandang lampu jalanan yang mulai menyala.
Akhirnya, setelah menembus kemacetan panjang, Maya tiba juga di depan warung makan sederhana milik sang ayah. Warung kecil itu masih ramai pelanggan, aroma masakan tercium sampai ke jalan.
Dengan langkah pelan, Maya masuk ke dalam. Ayahnya, Pak Ahmad, tengah sibuk di dapur, memasak sambil sesekali melayani pelanggan yang memesan.
Begitu melihat Maya datang, Pak Ahmad langsung menatapnya sekilas.
"Jam berapa ini, May?" tegurnya dengan nada tak suka, tapi masih menahan emosi karena ada pelanggan.
Maya menunduk pelan. "Maaf, Pak… macet banget. Aku pulang dari kampus naik ojek, tadi susah jalan."
Pak Ahmad menghela napas panjang, meletakkan spatula ke meja.
"Kamu tuh anak perempuan, jangan pulang malem-malem gini. Kalau kenapa-kenapa di jalan gimana? Ayah gak mau denger alasan macet tiap hari."
"Iya, Pak… Maya ngerti. Maaf ya, lain kali aku kabarin lebih cepet." jawab Maya pelan, menerima teguran itu dengan sabar. Ia sudah biasa.
Pak Ahmad mendengus kecil, lalu kembali sibuk memasak.
"Yaudah sana, makan dulu. jangan lupa bantuin Ayah cuci piring abis itu."
Maya tersenyum kecil. Meski sering cerewet, ayahnya tetap perhatian.
"Iya, Pak. Makasih ya."
Dengan perasaan lega, Maya duduk di sudut warung, memesan makanan seperti pelanggan lain. Hari ini melelahkan… dan entah kenapa, perasaan Maya seperti mengatakan: besok hidupnya gak akan lagi se-normal ini.
Setelah makan malam sederhana, Maya tak langsung naik ke kamarnya. Ia sudah hapal kebiasaan di rumah: selesai makan, bantu Ayah. Itu aturan tak tertulis yang sudah ia jalani sejak kecil.
Dengan sabar, Maya berdiri di balik dapur kecil, mencuci tumpukan piring kotor sambil sesekali mengamati sang ayah yang sibuk melayani pelanggan. Warung sederhana itu memang tak pernah sepi. Pembeli datang silih berganti, sebagian pelanggan tetap yang sudah akrab dengan Pak Ahmad.
"May, itu habis cuci piring, tolong lap meja juga ya. Banyak yang belepotan kuah tuh," pinta Pak Ahmad sambil menuang mie rebus ke mangkok pelanggan.
"Iya, Pak." jawab Maya singkat, meski lelah mulai merayap di tubuhnya.
Tangannya cekatan. Piring demi piring, sendok demi sendok, dicuci bersih. Sesekali ia mengusap wajah dengan lengan karena lelah seharian kuliah, macet, lalu sekarang harus membantu lagi. Tapi Maya tak pernah benar-benar mengeluh.
Inilah hidupnya. Biasa saja. Sederhana. Tapi tetap ia jalani.
Selesai mencuci, ia membersihkan meja-meja kecil yang dipenuhi bekas makan. Menata ulang kursi, menyapu lantai, semua ia lakukan tanpa banyak suara. Hanya sesekali terdengar napas panjangnya yang lelah.
Pak Ahmad memperhatikannya sekilas.
"Makasih, May. Nanti kalo udah selesai, langsung istirahat aja. Besok kuliah pagi, kan?"
Maya tersenyum kecil. "Iya, Pak. Besok aku kelas jam 8."
Pak Ahmad hanya mengangguk. Di matanya, Maya tetap anak perempuan kecil yang harus ia jaga.
Jam di dinding menunjuk pukul setengah sembilan malam. Warung perlahan mulai sepi, satu per satu pelanggan selesai makan. Maya menyelesaikan tugasnya dengan tenang.
Di hatinya, terselip perasaan aneh. Entah kenapa, malam ini Maya merasa seperti… hidupnya sebentar lagi akan berubah. Sesuatu yang lebih besar, lebih rumit, akan datang.
Tapi untuk malam ini, cukup jadi anak warung yang cuci piring. Besok… siapa tahu nasib membawanya ke tempat yang tak pernah ia bayangkan.
Setelah selesai membantu ayahnya di warung, Maya masuk kamar dengan tubuh lelah. Ia meletakkan tas, membuka jilbab, lalu segera membersihkan diri.
Air hangat dari shower sedikit mengurangi penatnya. Ia keramas, membiarkan air membasuh tubuhnya sambil sesekali memejamkan mata.
Sehari ini sungguh melelahkan.
Selesai mandi, Maya duduk di kasurnya sambil mengeringkan rambut dengan handuk. Ponselnya berbunyi. Notifikasi WhatsApp dari Tiara.
"Hah? Tiara, ada apaan malem-malem gini?" batin Maya, sambil membuka pesannya.
Maya Heran kenapa Tiara sudah menawarkan dirinya magang di Firma hukum saja padahal belum ujian, ah sudahlah ikuti saja alurnya.
Maya yang melihat itu pun langsung membalas pesan dari sahabatnya yakni Tiara, karena dengar-dengar orangtua Tiara itu adalah CEO yang bergerak di perusahaan makanan.
Pernah dengar jika keluarga Tiara punya pengacar pribadi demi mempertahankan bisnis keluarganya, tapi apapun itu Maya hanya berdoa yang terbaik untuk smeuanya.
Pinginnya gak panjang-panjang awalan ceritanya...
malah kadang suka lebih seru kalau awalan nya langsung yg konflik atau sudah jadi nya aja 👍😁
Ditengah atau setelahnya baru dehh bisa di ceritakan lagi sedikit atau pelan-pelan proses dari awalan Konflik tsb 👍😁🙏
kalau di awalin sebuah perjalanan cerita tsb,kadang suka nimbulin boring dulu baca nya... kelamaan ke konflik cerita tsb nya 🙏🙏🙏