Sinopsis
Ini berawal dari Nara yang dijodohkan oleh Ayahnya dengan laki-laki dewasa, umur mereka terpaut selisih 15 tahun. Dimana saat itu Nara belum siap dari fisik dan batinnya.
Perbedaan pendapat banyak terjadi didalamnya, hanya saja Rama selalu memperlakukan Nara dengan diam (sillent treatment) orang biasa menyebutnya begitu.
Semua permasalahan seperti tak memiliki penyelesaian, finalnya hilang dan seperti tak terjadi apa-apa.
Puncaknya saat Nara kembali bertemu dengan cinta pertamanya, rasanya mulai goyah. Perbandingan antara diamnya Rama dan pedulinya Mahesa sangat kentara jauh.
Rama laki-laki dewasa, hatinya baik, tidak gila perempuan dan selalu memberikan semua keinginan Nara. Tapi hanya satu, Rama tak bisa menjadi suami yang tegas dan tempat yang nyaman untuk berkeluh kesah bagi Nara.
Pertemuan dan waktu mulai mempermainkan hati Nara, akankan takdir berpihak dengan cinta Rama atau mulai terkikis karna masa lalu Nara.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Fay :), isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 3. Ajakan makan malam
Bab 3. Ajakan makan malam
"Kak Nara, aku ingin banyak bicara denganmu kali ini." ucap Nata dihadapan Nara yang kini tengah terdiam menyelami lamunannya.
Setelah perdebatan panjang dimeja makan tadi, kini Nara dan Nata memilih keluar, duduk dibangku teras belakang rumah yang biasa menjadi tempat Nara menenangkan diri.
“Kamu sudah pasti bisa mengira apa yang terjadi Nata.” Jawab Nara sedikit tersenyum kearah Adik tersayangnya.
“Bukankah Kak Nara menerima perjodohan ini, seperti yang Kakak katakan di telefon.” Jelas Nata ingin meminta jawaban.
“Nata, perihal perjodohan ini atas kemauan Ayah. Apa Kakak bisa menolak apa yang sudah Ayah mau?”
Tidak ada gurat bahagia diwajah Nara, semua terlihat biasa saja. Mau terlihat menyedihkan itu juga akan percuma, mau dipaksakan bahagia itu pasti tidak akan bisa.
“Ya sudah, aku yang akan bilang ke Ayah kalo Kakak belum siap jika harus menikah lagi dalam waktu dekat ini.” Ucap Nata terlihat serius.
“Percuma, apa yang direncakan Ayah pasti akan dilakukan Nat.” Jawab Nara mencoba tenang.
“Nata, ini mungkin sudah jadi jalan hidup Kakak dan tugasmu cuma ada dua.” Lanjut Nara sambil beralih menggenggam kedua tangan Nata dihadapannya.
Nata memperhatikan wajah Kakaknya yang menyiratkan sebuah luka, ada beban berat yang menghimpit batinnya.
“Tugas pertama kamu, jaga Vania dan terus bahagia bersamanya, jangan sampai ada kata perpisahan didalamnya, selesaikan setiap masalah berdua, jangan libatkan orang lain jika kamu dan Vania masih mampu.” Terang Nara panjang sambil tersenyum kearah Adik kesayangannya.
“Yang kedua?” Ucap Nata meminta kelanjutan.
“Yang kedua cukup sayangi Aiden seperti anakmu juga Nat.” Jelas Nara dengan mata mulai berkaca-kaca.
Sontak Nata langsung merengkuh tubuh kecil Kakaknya.
Rasa hangat dan nyaman setiap pelukan masih sama sejak dulu, mereka memang sedakat itu. Setiap ada hal sedikitpun pasti akan bertukar cerita.
“Jika itu tugas Kakak pasti niatku ada diangka paling atas, tanpa Kakak memintapun pasti akan aku lakukan.” Ucap Nata memberi ketenangan.
“Kakak juga, semoga ini jadi jalan Kakak untuk bahagia. Perbedaan yang ada semoga tidak jadi masalah kedepannya.” Lanjutnya.
Setetes air mata jatuh dari pelupuk mata Nara, sedikit ketenangan yang Nata selalu hadirkan dalam hidupnya.
Andai masih ada Ibu disini, mungkin aku tak seberat ini. Ucap Nara dalam hatinya.
“Apa Kakak menangis?” Pertanyaan terlontar dari mulut Nata, sebab merasakan nafas yang begitu berat dari Nara.
Lekas Nara menghapus air matanya dan berusaha tersenyum dihadapan Nata.
“Idih.. Nangis sudah gede juga, malu tuh sama Aiden.” Ejek Nata berusaha mencairkan suasana.
“Siapa juga yang nangis.” terlihat senyum manis Nara mulai terlihat.
*
*
*
Beban Nara sedikit terangkat, karna kekuatan dari Nata. Semenjak Ibunya meninggal, Nara seperti menjadi Ibu untuk Nata. Menjadi tempat untuk bercerita, menerima keluh kesahnya dan jadi pendengar terbaik.
Nata sudah mengetahui semua yang terjadi pada Nara, tentang perjodohan kali ini bersama laki-laki bernama Rama, maupun rencana pernikahan yang sudah direncanakan oleh Ayahnya.
Nara sudah menceritakan semua yang ada, dan Nata kini tinggal menunggu pertemuan selanjutnya dengan keluarga lengkap dari Nara dan Rama.
*
*
*
Kehadiran Nata seperti memberi kekuatan bagi Nara, meski tak bisa merubah keadaan tapi setidaknya Nara memiliki penenang yang nyaman seperti Nata.
Nara akan mulai mencoba menerima apa yang menjadi takdir untuknya, dengan hati yang lapang agar semuanya berjalan dengan kebaikan.
*
*
*
“Selamat malam..” begitu isi pesan masuk di handphone Nara dengan nomor yang tak tersimpan.
Nara mencoba melihat profil dan keterangan si pengirim pesan tersebut. Tertulis Rama Andrian, dengan profil Rama duduk dibangku kafe.
“Iya, malam.” Balas Nara.
“Ini aku Rama.” Pesan masuk lagi.
“Iya, aku tahu dari profil dan keterangan namamu.” Ketik Nara membalasnya.
“Oh begitu ya.”
“Aku ingin mengajakmu dan Aiden pergi mencari makan malam bersama.”
“Besok malam, jam 19.00 aku akan menjemputmu.”
“Apa kamu bisa?”
Rentetan pesan dari Rama masuk, Nara berpikir Rama orangnya sangat to the poin atau langsung menuju inti pokok pembicaraan dan mengutarakan apa yang ingin ia sampaikan.
Nara tak lekas membalas pesan tersebut, masih berpikir dan membaca berulang-ulang pesan dari Rama.
“Bisa ngga ya? Tapi aslinya sih bisa soalnya aku ngga pergi kemana-mana, tapi…” begitu isi angan-angan Nara sambil memperhatikan pesan tersebut.
Nara beralih menatap putra tersayangnya Aiden yang kini tengah terlelap disampingnya, mungkin terlalu lelah sebab tadi terlalu bersemangat bermain bersama Vania.
Banyak pikiran berkecamuk dalam benak Nara, rasanya masih ingin menikmati momen berdua bersama Aiden. Tapi Ayahnya sudah mendapatkan calon Ayah sambung untuk putranya itu.
“Gapapalah dicoba dulu, semoga laki-laki ini benar bertanggung jawab dan menerima setiap kekukurangan ku dan anakku.” Sambung Nara dalam hati.
“Kalo tidak bisa, tidak apa-apa. Bisa dilain waktu yang akan datang.” Pesan masuk lagi dari orang yang sama.
“Bisa, jam 19.00 aku dan Aiden akan bersiap.” Lekas Nara membalas.
Balasan dari Nara hanya dibaca tanpa ada pesan balasan lagi, Nara menyimpan handphone miliknya ke atas nakas samping tempat tidurnya.
Pikirannya menerawang jauh, masih ada ketakutan dalam diri Nara perihal laki-laki. Bagaimana soal pukulan dan cacian yang banyak ia dapat dari mantan suaminya dulu.
Rasa trauma pasti masih ada, bayang-bayang rasa sakit dan air mata yang menemani dirinya saat itu masih membekas rapi dalam benaknya.
Tapi Nara mencoba berpikir postif, tidak semua laki-laki akan bersifat seperti itu.
Hingga rasa kantuk dalam diri Nara menguasai dan alam mimpinya menunggu untuk diarungi.
*
*
*
Pagi menyapa, sebelum matahari mulai memancarkan cahayanya, Nara sudah menyibukkan diri didapur. Ia tak mau jika sampai keduluan Ibu tirinya, sebab dimeja makan nanti pasti akan ada aksi saling sindir menyindir kepada Nara.
Ia berpikir apa semua Ibu tiri seperti itu sifatnya? Apa hanya Nara saja yang merasakan Ibu tiri seperti difilm-film ikan terbang itu?
Mulai Nara pindah lagi kerumah ini, bawaan Ibu tirinya kentara sekali jika tak menginginkan keberadaan Nara dan Aiden.
Untung saja, Aiden tak serewel itu anaknya. Hanya sesekali menangis dan itupun dengan mudah menenangkannya.
Setiap hari Nara berusaha cepat menyelesaikan pekerjaannya, sebelum Aiden bangun.
Setelah semua siap Nara hanya tinggal menyuapi Aiden makan dan menemaninya bermain.
Ibu tiri Nara kadang bangun ketika seluruh pekerjaan hampir selesai, termasuk masakan yang hanya tinggal disajikan.
*
*
*
Semua makanan mulai terhidang dimeja makan, semua berkumpul untuk sarapan sebelum memulai aktivitas masing-masing.
Sebelum semua benar-benar selesai Nara membuka obrolan, “Ayah, tadi malam Rama kirim pesan. Ingin mengajakku dan Aiden makan malam bersama.” Ucapnya.
“Bagus dong, kamu setujukan?” Tanya Ayah Nara.
“Iya.” Balas Nara.
“Itu baru anak Ayah, harus patuh apa kata Ayah, itupun untuk kebaikan mu dan Aiden juga.” Pungkasnya lagi mengingatkan Nara.
“Dan ini uang jajan untuk Aiden, mungkin cucuku ingin membeli biskuit.” Sodor uang berwarna biru selembar kearah Nara.
Nara tak menolak itu, ia memang tak pernah meminta uang kepada Ayahnya, tapi kebutuhannya dan Aiden pasti dicukupi dan dibelanjakan oleh Ibu tirinya, yaa meskipun kadang barang-barang yang teramat sangat murah.
“Biar aku saja yang belikan.” Ucap Ibu tiri Nara.
“Sudah tak apa, untuk pegangan Nara juga nanti kalo mau jalan keluar.” Balas Ayah Nara, sedikit menghangatkan batin Nara.tulus
Itu hanya uang 50 ribu rupiah yang Nara terima belum uang berjuta-juta, tapi Ibu tiri Nara kentara sekali tak menyukainya.
“Terima kasih Yah.” Kata Nara tulus.
“Dandan yang cantik dan bersifat baik kepada calon suamimu, jangan permalukan Ayah.” Petuah Ayah Nara lagi.
Tanpa banyak bicara lagi, Nara hanya mengangguk merespon Ayahnya.
*
*
*