Hafsah bersimpuh di depan makam suaminya, dalam keadaan berbadan dua.
Karena kesalahan fatal dimasalalunya, kini Hafsah harus hidup menderita, dan berakhir diusir oleh orangtuanya.
Sepucuk surat peninggalan suaminya-Raga, berpesan untuk diberikan kepada sahabatnya-Bastian. Hafsah bertekad untuk mencari keberadaan sahabatnya itu.
5 tahun pencarian yang nihil, akhirnya Hafsah bertemu juga dengan Bastian. Namun, pertemuan itu mengungkap sebuah rahasia besar, yang akhirnya membuat Hafsah semakin benci setengah mati kepada Bastian.
"Bunda ... Yuna ingin sekali digendong Ayah!" Ucapan polos Ayuna mampu menggunjang jiwa Hafsah. Ia dihadapkan pada kebingungan, dan sebuah pilihan sulit.
Mampukah Hafsah mengendalikan rasa benci itu, demi sang putri? Dan, apa yang sebenarnya terjadi?
SAQUEL~1 Atap Terbagi 2 Surga~
Cuma disini nama pemeran wanitanya author ganti. Cerita Bastian sempat ngegantung kemaren. Kita simak disini ya🙏
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Septi.sari, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Episode 28
Drrt.. Drrt..
Ditengah perjalanannya, Bastian dikejutkan dengan panggil dari sang Mamah, yang kini membuat ponselnya bergetar kencang.
"Hallo, Mah ... Ada apa?"
"Bas, kamu dimana?"
"Ini dalam perjalanan pulang, memangnya kenapa?" tanya Bastian terheran.
"Stop! Kamu jangan pulang dulu. Datanglah ke Cafe xxx, Mamah minta tolong jemput Ainun, anterin dia pulang!"
Bastian Sedikit terkejut. Tidak habis pikir dengan jalan pikir sang Mamah. "Mamah ... Mamah ini apa-apaan, sih! Lagian, jika Ainun nggak bawa mobil ... Dia kan bisa menghubungi orang rumahnya, atau sopirnya! Ngapain nyuruh Bastian," tolak Bastian merasa kesal.
"Bastian ... Sudah berani membantah Mamah, sayang? Mamah nggak mau tahu, cepat kamu jemput Ainun, dan anterin pulang!"
Tut!!!!
Setelah membuang ponselnya kearah bangku samping, Bastian sedikit memukul stir mobil, guna meluapkan rasa kesalnya saat ini. Dia dan Ainun sudah sama-sama membuat komitmen, untuk tidak saling mengganggu, dan membuat semuanya seperti semula, tanpa ada pihak yang tersakiti. Ini malah dengan terang-terangan, keluarganya membuatkan jembatan untuk mereka dapat bersatu.
Arghhhh!!! Teriak Bastian frustasi.
Mau tidak mau, Bastian langsung saja membanting setir mobilnya, kembali kearah Cafe yang ditunjukan sang Mamah.
15 menit berlalu, kini mobil Bastian memasuki halaman Cafe xxx.
Sementara Ainun, wanita itu sedang berdiri diteras depan Cafe, mengedarkan pandangan kejalan, terlihat seperti sedang menunggu jemputan seseorang.
'Bastian? Mau apa dia kesini?' batin Ainun, saat melibat Bastian berjalan menuju kearahnya.
"Bastian, untuk apa kamu datang kesini?" tanya Ainun mengernyit. Namun dia masih bersikap tenang, karena memang bukan Bastian tujuannya.
"Kamu bekerja disini?"
"Aku bekerja paruh waktu!" pungkas Ainun.
"Mamah menyuruhku untuk menjemputmu! Kenapa kamu tidak membawa mobil saja?" Bastian sedikit terheran dengan wanita didepannya kini.
Ainun, untuk apa dia bekerja paruh waktu, sementara harta kedua orang taunnya tidak akan habis, jika untuk menghidupi dia. Dan lagi, Ainun tidak pernah membawa mobilnya setiap kali kerja paruh waktu. Bastian benar-benar tidak habis pikir, dengan teka teki hidup Ainun, yang super misterius.
'Ini pasti Mamah,yang menghubungi tante Dina'
"Apa kamu harus tahu semua tentang hidupku? Lebih baik kamu pulang saja. Karena sebentar lagi temanku akan datang!" sergah Ainun, namun masih terdengar lembut ditelinga.
Bastian menyunggar kepalanya pelan, merasa terjebak dengan ucapan Mamahnya. Namun belum sampai dia membalas ucapan Ainun, tiba-tiba wanita cantik itu mengembangkan senyum manis. Senyum yang tidak pernah Bastian lihat sejak perkenalannya, dan baru kali ini Ainun bermurah senyum.
Namun senyum itu bukan ditujukan untuk dia. Bastian mengikuti arah tatapan Ainun, saat terdapat sebuah pengendara pria dengan memakai motor sederhana, kini tengah memasuki halaman Cafe tersebut.
"Bastian, saya duluan!"
Hanya kalimat itu yang tertinggal dalam lamunannya, saat Ainun segera berjalan kedepan menghampiri pengendara motor tadi.
Bastian masih melongo, sedikit terkejut, terheran, merasa tidak habis pikir atas pemandangan yang dia lihat saat ini.
"Apa, capek? Maaf, kalau jemputnya agak telat. Aku juga baru selesai pulang kerja!" ucap pria tadi, yang kini tengah memasangkan helm dikepala Ainun.
"Sedikit! Tapi capeknya hilang, setelah kamu kesini, Firman!" jawab Ainun, dengan nada manjanya.
Hanya dengan kekasihnya itu, Ainun dapat menjadi sosok anak kecil, yang dengan bebas bersikap manja, tanpa ada tuntutan ini itu. Sementara Firman, dia tidak pernah keberatan atas sikap manja Ainun. Pria itu begitu mencintai kekasihnya, karena mereka sudah merajut hubungan hampir 3 tahun lamanya.
Namun hingga kini, Ainun masih takut memberitahu kepada orang tuanya, tentang hubungannya saat ini.
'Haa ... Bagaimana bisa wanita itu bersikap seperti anak kecil? Dimana sikap elegant serta tenangnya waktu lalu?'
'Apa itu sebabnya, dia selalu menolak perjodohan yang dilakukan orangtuanya?'
Bastian berasa mengenal dua orang dalam satu jiwa. Benar-benar sulit ditebak. Tatapanya masih melekat, hingga Ainun dan sang kekasih benar-benar pergi dari Cafe itu.
Ainun sangat merasa bahagia, dengan senyum yang terus mengembang sejak tadi. Dia mengeratkan tanganya pada perut sang kekasih, menempelkan dagunya pada pundak Firman, seakan tidak ingin kehilangan pria sebaik kekasihnya.
"Ainun, apa kamu sudah makan? Jika belum, ayo kita makan dulu. Aku tadi habis gajian! Kamu boleh minta apapun, selama aku sanggup membelikanya."
Ainun tertawa renyah. Dia hanya menggelengkan kepala pelan, tanda tidak setuju dengan pernyataan sang kekasih kini.
"Firman ... Aku bisa gemuk jika kamu tersikap seperti ini!" manja Ainun mengerucutkan bibirnya.
"Aku mencintaimu dengan tulus, Ainun! Aku tidak peduli, mau kamu gemuk, kurus, bahkan hanya tinggal tulang sekalipun!"
"Kamu serius? Jika iya, apa kamu sudah berani datang menemui Papah, dan Mamahku?" tanya Ainun diiringi tawa kecil.
"Lusa aku libur! Aku akan datang bersama Bapak malamnya, Ainun! Kamu bersiaplah," kekeh Firman sambil menggenggam sebelah tangan sang kekasih.
Singkat waktu, tepatnya pukul 9 malam. Motor butut Firman, baru saja berhenti didepan gerbang mewah rumah Ainun.
Firman langsung melepas helm sang kekasih, setelah Ainun turun dari motornya.
"Selamat tidur cantiknya aku! Jangan lupa berdoa, agar mimpi indah!" Firman mengusap sayang kepala sang kekasih, sambil mencubit kecil hidung mancung Ainun.
Ainun tersenyum manja, hingga kedua pipinya bersemu merah. Namun setelah itu, dia tampak mengeluarkan sesuatu dari dalam tasnya.
"Firman ... Ini ada beberapa uang, dan satu cincing. Belilah cincin terserah yang kamu inginkan, dan paskan dengan cincin miliku!" Ainun menyodorkan amplop putih yang berisikan sejumlah uang.
Firman terkejut. Dia menggelengkan kepala, mendorong amplop putih tadi, "Tidak usah Ainun! Aku sudah memiliki tabungan yang cukup untuk membelikan kamu cincin! Lebih baik kamu simpan saja untuk pegangan, kamu! Oh ya, sebentar!"
Firman terlihat merogoh dompet dari saku belakang, dan mengambil 5 lembar uang pecahan seratus, untuk dia berikan pada kekasihnya.
"Karena kamu tidak mau jajan, jadi ambilah untuk uang jajanmu, Ainun! Maaf, jika belum banyak yang aku berikan!" kata Firman sambil menutup kembali dompetnya.
Selayaknya anak kecil, Ainun langsung berbinar. Namun, dia hanya mengambil satu lembar uang itu, dengan wajah bahagianya.
"Yeayyy ... Makasih Firman!"
"Kok cuma satu? Ini ambilah semuanya," kekeh Firman.
"Satu aja ,cukup kok! Itu buat pegangan kamu saja."
"Aku sudah ada, Ainun! Ambilah lagi," ucap Firman sambil mencubit gemas pipi sang kekasih.
Ainun lalu mengambil sisa uang itu. Firman sempat senang, namun setelah itu Ainun melipat uang itu dan langsung dimasukan kedalam saku kemeja sang kekasih.
"Jangan diambil lagi! Biarlah disitu!"
Firman hanya dapat tertawa kecil, merasa gemas dengan kekasihnya. Dia tidak dapat membayangkan, bagaimana jika Ainun dijodohkan orang tuanya, dan mendapatkan seseorang yang setara dengan keluarga mereka.
*
*
*
*
Keesokan harinya.
Tepat pukul 06.00 pagi, Bastian kini sudah rapi dengan stelan kemeja dinasnya, tanpa memai jas hitam. Pria itu turun sambil menenteng tas kerja, dan langsung menjatuhkan diri dikursi ruang makan.
"Ini Den, nasi goreng spesial bikinan Murti!" seru pelayannya, sambil meletakan satu mangkok besar nasi goreng.
"Terimakasih, Murti!" balas Bastian sembari membalikan piringnya.
Murti dengan segala kekepoannya, kini masih berdiri disebrang Bastian, sambil memeluk nampan yang tadi dia gunakan. Keningnya berkerut, sedikit memajukan badan kedepan.
"Den, kok tumben pagi banget sih, berangkatnya? Biasanya aja, Aden bangun jam 8 pas! Itu aja, dibangunin Nyonya, sampai teriak-teriak."
Bastian hanya tersenyum, dengan menyendok nasi goreng tersebut kedalam piringnya.
"Nanti saya ada meting pagi, Murti! Dan ini membahas proyek besar. Jadi saya nggak boleh ketinggalan dalam meting besar kali ini," jawab Bastian sambil makan.
Tap!! Tap!!!
Dari atas, Dinda juga tak kalah bangun pagi. Gadis cantik iti suda rapi dengan tas punggungnya, dan juga beberapa buku didalam tanganya.
Brug!!
Tanpa Dinda rasa, buku bersampul merah jambu itu terjatuh diatas bawah tangga, tanpa si pemiliknya tahu.
"Wah ... Enak banget aromanya, Mbak Murti," gumam Dinda sembari menggeser kursi didepannya.
"Iya dong, Non! Buatan siapa dulu ... Murti gitu loh!" sambung Murti dengan percaya diri. Setelah itu dia pamit kembali lagi kebelakang.
"Tumben banget pagi sekali, Mas?" Dinda mulai menungkan teko air kedalan gelasnya.
"Kepo banget sih, Bocah!" sinis Bastian mengabaikan pertanyaan adiknya.
Dinda menatap muak. Lalu memalingkan wajah dengan gaya tengilnya. Setelah itu dia langsung memulai sarapannya, tanpa mau menatap sang kakak.
Singkat waktu, setelah beberapa menit, Bastian dan juga Dinda kini juga sudah berangkat.
Bastian sengaja berangkat pagi, karena dia ingin mengantarkan putrinya berangkat sekolah.
Masih didalam kediaman tuan Atmaja.
"Papah turun dulu, Mah!" seru tuan Atmaja, sambil berjalan keluar. Parubaya itu sibuk memasang dasi, jadi pandanganya pun spontan menunduk.
Setibanya dilantai dasar, tun Gading sedikit mengernyit, kala mendapati ada sebuah buku yang tergeletak dibawah ujung tangga.
Tuan Gading menundukan setengah badan, dan segera mengambil buku tersebut.
"Hafantara? Buku siapa ini? Apa bukunya Dinda jatuh?" Tuan Gading masih membolak balikan buku itu, dengan tatapan penuh tanya.
Karena waktu sudah mepet, dia lantas memasukan buku itu kedalam tas kerjanya. Setelah itu, tuan Gading langsung bergegas untuk sarapan.