"Hans, cukup! kamu udah kelewat batas dan keterlaluan menuduh mas Arka seperti itu! Dia suamiku, dan dia mencintaiku, Hans. Mana mungkin memberikan racun untuk istri tersayangnya?" sanggah Nadine.
"Terserah kamu, Nad. Tapi kamu sekarang sedang berada di rumah sakit! Apapun barang atau kiriman yang akan kamu terima, harus dicek terlebih dahulu." ucap dokter Hans, masih mencegah Nadine agar tidak memakan kue tersebut.
"Tidak perlu, Hans. Justru dengan begini, aku lebih yakin apakah mas Arka benar-benar mencintaiku, atau sudah mengkhianatiku." ucap Nadine pelan sambil memandangi kue itu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon alfphyrizhmi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 26 - Pura Pura Lupa
Nadine menarik napas, "Nggak papa, Lin. Aku mau bersihin toilet dulu ya."
Nadine bergegas pergi, dadanya sesak oleh rasa penasaran. Ia diikuti Bu Minah yang juga pamit meninggalkan Lina sendirian.
"Nyonya, sudah bertemu atau berpapasan dengan tuan Arka?" tanya Bu Minah, mengiringi Nadine menuju toilet.
Setelah tiba di toilet wanita, mereka mulai perbincangan serius, cuma pura-pura mengepel lantai yang sejak awal sudah bersih.
"Belum, Bu Minah. Mungkin saat kita membersihkan kamar lain, Mas Arka masuk ke kamar rawat inapnya."
"Kalau begitu, bersiaplah nyonya! Karena kita akan bertemu mereka. Soalnya, kamar rawat inap tuan Arka itu ada di ruang 205, jadwal kita bersih-bersih besok!" ucap Bu Minah.
"Yaampun, saya males banget kalo harus ketemu lagi dengan mereka, Bu. Tapi, sekaligus masih penasaran dengan lupa ingatan yang diderita mas Arka. Apakah benar lupa ingatan, ataukah hanya pura-pura?" Nadine masih berprasangka dan banyak pikiran berseliweran di kepalanya.
"Saya pun ogah! Tapi, dalam hati saya juga ingin tahu, tentang kebenaran dari lupa ingatan yang diderita tuan Arka. Dan karena beliau check up selama dua hari, artinya besok kita pasti akan bertemu saat membersihkan ruang inapnya. Mau tidak mau, suka tidak suka!" kata Bu Minah.
"Semoga saja tidak ada tante Miranda ataupun om Hartono, Bu." ucap Nadine berharap cemas.
"Aamin. Kalaupun mereka ada, hiraukan saja sebisanya, nyonya. Kalau diladeni, akan tambah runyam urusan," Bu Minah memberikan saran.
------
Esok harinya, pagi hari sekali Nadine sengaja datang untuk membersihkan ruang rekam medis. Ia berencana melihat berkas Arka, yang kini melakukan perawatan serta check up rutin. Ia pun tidak sengaja melihat berkas pasien atas nama Arka Hartono di ruang itu.
"Maaf Bu, saya OB yang ditugaskan untuk membersihkan ruang itu," katanya pada petugas arsip yang juga mengurus pasien ruang inap 205.
"Silakan, bersihkan lantai beserta rak di ruang inap itu, ya." jawab petugas.
"Baik, Bu. Tapi setelah saya membersihkan ruang ini," jawab Nadine.
Nadine pun langsung pura-pura mengepel, namun matanya melirik ke file Arka.
'Diagnosis: gangguan amnesia sementara...' gumamnya membaca berkas itu.
Apakah artinya, mas Arka benar-benar lupa ingatan?" Nadine bergumam,
"Tapi kenapa Miranda bisa memaksanya menceraikanku waktu itu?" segelintir prasangka memenuhi kepala Nadine.
Beberapa jam berlalu. Nadine beserta Bu Minah sudah siap memasuki ruang inap 205, tempat Arka dirawat.
Mereka mengetuk pintu dengan hati-hati sekali. Setelah dibuka, ternyata dokter khusus yang sedang memeriksa kondisi Arka.
"Maaf, dok. Kami OB yang ditugaskan membersihkan ruang ini, sesuai jadwal yang tertera," ucap Nadine, sesekali mengangguk. Mereka masih berdiri di depan pintu, menunggu aba-aba dokter paruh baya itu.
Nadine dan Bu Minah dengan stelan lengkap ala-ala cleaning service dan membawa peralatan berupa pelan, ember, dan sapu, dipersilakan masuk oleh dokter tersebut.
"Baiklah, silakan masuk!" perintah dokter Malik.
Malik, adalah dokter khusus yang hanya menangani pasien lupa ingatan atau gejala pada otak. Kali ini, pasien tetapnya adalah Arka. Jadwal kehadiran dokter Malik hanya seminggu sekali, atau tentatif sesuai janji yang dibuat pasien sebelumnya.
Maka, ia tidak begitu mengenal Nadine maupun Bu Minah. Meskipun ramai gosip beredar, ia tidak peduli. Dokter Malik juga tidak begitu kenal dengan dokter Hans.
Setelah Nadine maupun Bu Minah masuk, perasaan keduanya lega. Karena tidak ada satupun yang menginap untuk menjaga Arka. Mungkin ada, tapi pagi-pagi sekali sudah pulang dan menyerahkan sepenuhnya kepada dokter maupun perawat.
Nadine dan Bu Minah saling adu pandang dan mengangguk satu sama lain.
Nadine fokus mengepel lantai dan mengelap jendela ataupun kaca di ruang inap itu. Sesekali pandangannya tertuju pada Arka yang masih istirahat di ranjangnya.
"Kamu... kain kasa yang membalut sebagian wajahmu itu, kapan terakhir diganti?" tanya dokter Malik, basa-basi dengan Nadine, sebelum memulai pemeriksaan pada Arka.
"Baru dua hari yang lalu, dok. Saya punya kenalan suster yang sudah biasa ganti kain kasa ini."
"Karena air keras, ya?" tebak dokter Malik dengan benar. Nadine mengonfirmasi dengan sekali menganggukkan kepala.
"Ke depannya, lebih hati-hati, ya. Dan saya harap, kamu nggak minder dengan penampilan barumu yang dikira setengah mumi oleh banyak orang." ucapnya memberikan nasehat serta menguatkan Nadine.
"Nggak apa-apa, dok. Awalnya memang minder. Tapi lama kelamaan saya udah terbiasa." jawab Nadine santun.
Setelah persiapan cukup, dokter Malik hendak melakukan pemeriksaan, Arka pun dibangunkan.
Saat sadar dan menguasai dirinya. Arka melihat sekitar, dan mengamati baik-baik. Ia melihat Nadine dengan mengamati berkali-kali.
Arka terdiam melihat seorang OB dengan penampilan setengah mumi, sedang fokus mengepel lantai. Ia memperhatikan Nadine dengan fokus. Rasanya, beberapa ingatan samar-samar mulai terbentuk di otaknya.
"Ka-kamu... apakah kita pernah bertemu sebelumnya?" tanya Arka.
"Ng-nggak, Pak. Saya baru bertemu bapak hari ini. Mungkin bapak salah orang." jawab Nadine sambil menahan getir hatinya.
Saat itu juga, ia yakin bahwa Arka benar-benar telah lupa ingatan dan dikendalikan sepenuhnya oleh Miranda, saat memberinya talak tiga.
Hari berlalu seperti rutinitas biasanya. Sudah sebulan lebih Nadine dan Bu Minah bekerja di rumah sakit tempat Hans dinas. Keduanya merasa sangat nyaman dan betah sekali. Para staf, suster/perawat maupun tim medis begitu ramah. Semakin membuat keduanya susah untuk berpaling dan mencari pekerjaan lain. Walaupun memang, setiap hari selalu menguras fisik.
Ini adalah minggu kelima, artinya Arka akan kembali check up sesuai rutinitasnya bersama dokter Malik.
Hans jarang sekali berbincang dengan Nadine selama di rumah sakit itu. Alasannya karena sibuk dan menuruti permintaan Nadine. Sekalipun mereka berpapasan, Hans hanya melempar senyum ramah dan tulus. Meski dibalas wajah datar dan tatapan dingin Nadine.
Banyak suster maupun perawat bergosip, bahwa cinta dokter Hans bertepuk sebelah tangan. Ini membuat mereka senang bukan main. Bagaimana tidak, satu saingan berat tersisih tanpa mereka harus bekerja keras. Hal ini pun yang membuat para fans dokter Hans sudah tidak mengganggu atau iseng kepada Nadine.
"Nad, kamu kok belakangan ini bersikap dingin terus kalau berpapasan denganku," tanya dokter Hans.
Pagi-pagi sekali dokter muda itu mendatangi lantai empat. Karena memang butuh dokumen medis, serta ingin menyapa dan ngobrol serius dengan Nadine.
"Karena kamu sibuk, aku pun demikian," jawabnya datar.
"Aku kangen masa-masa kita ngobrol dulu saat di rumah pakde Rusli. Serasa nggak ada penghalang dan cuma obrolan santai saja," Hans bernostalgia masa-masa dirinya rutin seminggu full ke rumah pakde Rusli, setelah kepergian kedua orang tua Nadine.
"Dunia akan terus berputar, Hans. Aku nggak selamanya ada di zona nyaman itu. Sekarang, aku sedang menikmati masa-masa perjuangan mencari rupiah. Ya, walaupun nggak seberapa, tapi aku senang saat selesai bersih-bersih dan melihat ruangan itu rapi," ujar Nadine, mulai terbuka.
"Syukurlah kalau begitu. Setidaknya, kamu dulu yang bahagia. Kalau buatku, bahagiamu udah cukup," ucap dokter Hans dengan nada getir di hatinya.
Dokter muda itu berlalu membawa sebuah rasa sakit hati. Tapi, Hans tidak juga menyalahi sakit yang kini ia derita. Seolah sebuah saya-tan yang menguliti hatinya, namun bukan oleh tangan Nadine. Melainkan ekspektasinya yang terlalu berlebihan terhadap Nadine.
"Nyonya, maaf kalau pertanyaan ini agak privasi, emangnya nyonya nggak punya perasaan sama sekali terhadap dokter Hans? Dia udah bantu banyak banget. Mulai dari biaya pengobatan dan perawatan, donasi untuk tahlilan tujuh hari mendiang Abah dan Umi, lalu ngasih rekomendasi dan akhirnya kita bisa kerja di rumah sakit ini." ujar Bu Minah sekaligus memberikan beberapa pertanyaan.
Mereka masih santai di sekitar area resepsionis. Bangku tempat Lina pun masih kosong.
"Hm... Emang, seharusnya responku seperti apa Bu... ketika mendapat kebaikan sebanyak itu darinya?" bukan menjawab, Nadine malah membalas pertanyaan Bu Minah.
Bersambung......