NovelToon NovelToon
Dua Bilah Yang Tak Menyatu

Dua Bilah Yang Tak Menyatu

Status: sedang berlangsung
Genre:Action / Cinta Seiring Waktu / Kehidupan Tentara / Perperangan
Popularitas:2.7k
Nilai: 5
Nama Author: Mr_Dream111

Dalam dunia yang koyak oleh perang berkepanjangan, dua jiwa bertolak belakang dipertemukan oleh nasib.

Yoha adalah bayangan yang berjalan di antara api dan peluru-seorang prajurit yang kehilangan banyak hal, namun tetap berdiri karena dunia belum memberi ruang untuk jatuh. Ia membunuh bukan karena ia ingin, melainkan karena tidak ada jalan lain untuk melindungi apa yang tersisa.

Lena adalah tangan yang menolak membiarkan kematian menang. Sebagai dokter, ia merajut harapan dari serpihan luka dan darah, meyakini bahwa setiap nyawa pantas untuk diselamatkan-bahkan mereka yang sudah dianggap hilang.

Ketika takdir mempertemukan mereka, bukan cinta yang pertama kali lahir, melainkan konflik. Sebab bagaimana mungkin seorang penyembuh dan seorang pembunuh bisa memahami arti yang sama dari "perdamaian"?

Namun dunia ini tidak hitam putih. Dan kadang, luka terdalam hanya bisa dimengerti oleh mereka yang juga terluka.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mr_Dream111, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Apa itu cinta?

Kesadaranku kembali perlahan, disambut oleh deraan nyeri yang menggerogoti setiap inci tubuh. Seperti kupu-kupu yang baru menetas, kelopak mataku terbuka menembus kabut gelap kamar. Hanya nyala lilin kecil di sudut meja yang setia menemani, menari-nari dalam keheningan malam.

Ada kehangatan aneh bersarang di dadaku—lembut seperti embun pagi, namun terasa asing. Lalu, kurasakan sesuatu.

Sosok itu.

Flerina.

Dia terlelap dalam dekapan tanganku, rambut pirang yang biasanya rapi kini berantakan menutupi separuh wajahnya. Napasnya teratur, tapi alisnya masih sedikit berkerut, seolah bahkan dalam mimpi pun dia tak bisa lepas dari kekhawatiran.

Sejak kapan...?

Ingatanku masih kabur. Pagi tadi, dengan senyum cerahnya, dia bilang akan menginap di laboratorium selama seminggu. Tapi kini, di tengah malam yang pekat, dia justru ada di sini—memelukku erat, seolah takut aku akan hilang jika dia melepaskannya.

"Fler...?" suaraku parau, lebih mirip rintihan daripada panggilan nama.

Dia bergerak pelan, lalu tanpa kuduga—

Sepasang mata hijau itu terbuka, menyapaku dengan pandangan yang membuat dadaku sesak.

" Kau sudah sadar, " bisiknya, suaranya serak karena baru terbangun. Tangannya yang hangat naik perlahan, menyentuh pipiku dengan gerakan lembut, seperti sedang memegang kaca yang retak. " Aku... aku khawatir. "

Aku ingin menjawab, tapi kata-kata itu terperangkap di tenggorokan. Pikiranku kembali melayang dan wajah gadis budak itu muncul lagi—senyum terakhirnya yang getir, darah yang mengalir pelan dari pelipisnya, tatapan matanya yang perlahan kehilangan cahaya... Ini semua dosaku.

Kubaringkan kembali kepala di bantal, mata terbuka lebar menatap langit-langit. Suara jangkrik dan desau angin malam menemani pikiranku yang berputar liar.

Peperangan.

Kematian.

Orang tuaku, rekan-rekan seperjuangan, Kapten Alvar, Silas—semua telah pergi, meninggalkan aku sendirian dengan kenangan yang mengiris. Seakan kehadiranku di dunia ini adalah kutukan bagi setiap orang yang dekat denganku.

Haruskah aku berhenti?

Apakah aku pantas hidup damai sementara mereka yang telah kubunuh menuntut pembalasan?

Sebelum pertanyaan-pertanyaan itu menemukan jawabannya—

" Jangan. "

Jemari Flerina tiba-tiba menekan lembut bibirku, memutus rantai pikiran kelam yang sedang membelit.

" Kau sedang berpikir terlalu keras lagi, " ujarnya, sekarang sudah duduk tegak. Rambut pirangnya yang berkilauan keemasan tertiup angin malam dari jendela yang sedikit terbuka.

Dia bangkit, langkahnya ringan tapi menuju meja kecil di sudut kamar. Aromanya—campuran parfum apel dan sesuatu yang metalik khas laboratorium—masih tertinggal di udara.

" Minumlah, ini ramuan herbal sebagai pengganti obat penenang. " Katanya sambil menyodorkan cangkir keramik berwarna biru tua.

Aku menerimanya, jari-jariku yang dingin bersentuhan sejenak dengan hangat tangannya. " Bukannya kau bilang menginap di lab selama seminggu? "

Dia kembali duduk di tepi ranjang dengan wajah yang masih menunjukkan kekhawatiran padaku. " Ajudan Mayor Vouc adalah agen kami juga. Dia mengirimiku surat tentang keadaanmu yang kurang sehat, makanya aku langsung pulang. "

" Kau sudah tahu ya tentang penyakitku? " Tanyaku.

Flerina menghela napas, matanya—biasa begitu penuh percaya diri—kini terlihat lelah.

" Sejak awal aku tahu, " bisiknya sambil memainkan ujung selimut. " Tapi aku... aku pura-pura tidak tahu. Karena setiap kali melihatmu bisa tersenyum... aku ingin percaya bahwa luka itu sudah tidak ada. "

Dia menatapku langsung, hijau matanya yang biasanya dingin kini berkilauan basah. " Tapi malam ini... ketika kudapati kau menggigil ketakutan, mengigau tentang desa yang terbakar... aku tak bisa lagi berpura-pura. "

Aku meneguk cairan manis dan pahit itu, membiarkan rasa getirnya menyapu kerongkongan.

Flerina perlahan mendekatkan diri ke arahku. Pandangannya yang penuh perhatian terfokus padaku, memperlihatkan tatapan mata hijau berkilau yang tampak tersirat rasa penasaran yang mendalam. Seolah-olah ada begitu banyak pertanyaan yang membuncah di dalam pikirannya. " Dulu saat perang Magolia dan Varaya masih berlangsung, rekanku menemukan sebuah desa yang penduduknya terbantai habis. "

Cangkir di tanganku bergetar. Bagaimana dia bisa tahu? Bahkan petinggi militer Magolia tak memiliki catatan tentang desa itu. Aku diam, tapi Flerina terus menatapku—seolah matanya bisa menembus setiap kebohongan.

" Dari informasi yang kudapat, trauma mu disebut muncul akibat perang gerilya melawan konvoi Varaya, yang menewaskan sebagian unit pasukan khususmu, benar? "

" Benar, " jawabku kaku.

Flerina menyipitkan mata. " Tapi itu mustahil. Seorang prajurit pasukan khusus yang ditempa bertahun-tahun dengan metode pelatihan keras tak mungkin trauma hanya karena kejadian seperti itu. Apalagi... " Dia berhenti sejenak. " ... aku juga tau unit pasukan khusus Magolia dirancang agar satu tim tidak mengenal tim lain. Jadi, kematian rekan seharusnya tak terlalu meninggalkan bekas mendalam. "

Aku hanya bisa menatapnya dengan jantung berdebar kencang.

" Ceritakan yang sebenarnya," desak gadis itu, suaranya lembut tapi tegas. " Membohongi diri sendiri hanya akan menyiksamu lebih lama. "

Karena dia sudah tahu sampai sejauh itu, tidak ada pilihan bagiku selain menceritakan yang sebenarnya. Sebuah misi yang kubenci dan kuharamkan dalam ingatan.

***

Ketika itu, tim kami mendapat tugas sabotase logistik Varaya. Targetku berada dekat sebuah desa dengan 170 penduduk yang tak tahu apa-apa. Misi itu sukses besar dengan puluhan prajurit musuh tewas dan logistik mereka berhasil kami bakar.

Tapi kemudian Kapten Alvar memberiku sepucuk surat yang berisi perintah langsung dari Ratu.

" Bantai desa itu! "

Alasannya? Desa itu dulunya berada di wilayah Magolia dan di pimpin seorang Baron, orang tua angkat Ratu. Tempat itu dihancurkan Varaya dalam kampanye militernya. Penduduknya dibantai termasuk orang tua angkat ratu, desa diratakan lalu dibangun kembali menjadi pemukiman mereka. Misi itu adalah keegoisan Ratu yang menginginkan balas dendam.

Awalnya aku menolak. Selama berhari-hari aku bersembunyi di hutan sambil mengamati desa itu. Melihat anak-anak bermain, para petani bercocok tanam, wanita-wanita menjalani hari mereka dengan tenang.

Tapi perintah Ratu adalah mutlak. Dan malam itu saat gerhana bulan menyelimuti langit...

Aku seakan dirasuki iblis.

Dengan senapan dan belati, kuhabisi mereka satu per satu. Pria, orang tua, wanita, bahkan anak-anak yang bersembunyi di kolong tempat tidur. Jeritan mereka memenuhi telingaku, tapi tanganku terus bergerak. Menembak. Menikam. Membakar.

Desa itu berubah menjadi neraka. Api menjilat ke rumah-rumah, asap hitam mengepul ke langit, dan bau daging terbakar memenuhi udara.

Setelah pembantiaan itu, aku pergi ke tepi sungai. Kucelupkan tubuhku ke dalam air dingin, menggosok tangan hingga kulitku merah. Tapi darah itu tak hilang. Darah bersama suara dan wajah mereka selamanya menempel dalam ingatan.

Kapten Alvar menemukanku—seorang prajurit yang sudah kehilangan akal. Dia membawaku ke satu dokter jiwa ke dokter jiwa lain, mencoba menyembuhkan apa yang sudah hancur dalam diriku. Tapi tak ada obat untuk dosa dan yang membuatku terus bertahan adalah dengan membohongi diri sendiri bahwa kejadian itu tidak pernah ada.

Bahkan sampai sekarang aku tidak tahu apa alasan ratu memilihku untuk misi keji itu padahal masih ada anggota lain yang mentalnya lebih kuat dariku.

Tapi seiring berjalanya waktu setelah unit pasukan Faks dibubarkan dan kembali ke Ventbert, aku mulai bisa terbiasa dengan keadaan. Suara berisik yang kudengar, halusinasi, atau mimpi buruk mulai kuanggap biasa setelah menjalani terapi dan dengan bantuan obat penenang dosis tinggi dari dokter Kai.

Kuakui, menyadari bahwa membohongi diri sendiri dan mencoba lari dari kenyataan hanya akan memperpanjang penderitaan yang kurasakan. Namun, di saat yang sama, menghadapi kebenaran tersebut terasa begitu sulit sehingga jalan yang kuambil adalah bersembunyi di balik kebohongan, baik terhadap diri sendiri maupun orang lain, mengenai asal muasal trauma yang menghantui hidupku.

Kisah pilu itulah yang kuceritakan pada Flerina dan dia kulihat juga mulai berkaca-kaca. Anehnya baru kali ini aku bisa menceritakan kisah paling kelam ke orang lain tanpa merasa takut malah aku merasa lega walau saat bercerita aku tidak bisa berbohong bahwa aku menangis dan hatiku seperti ditusuk ketika mengingat wajah-wajah ketakutan para penduduk desa.

Flerina tiba-tiba mengusap air mataku lalu menindih badan dan memeluk erat. Kudengar samar dia juga menangis memelukku.

" Flerina? " Bisikku.

" Aku menyesal memaksamu bercerita. Itu pasti sangat menyakitkan tapi siapapun saat diposisimu pasti akan melakukan hal sama. " Jelasnya. " Tapi kau tidak perlu menyalahkan diri sendiri. Kau seharusnya juga sudah tau bangsa Varaya lebih kejam daripada dirimu dan apa yang kau lakukan adalah karma bagi mereka yang merebut wilayah dengan darah. "

Setelah melepas pelukannya, dia menyentuh pipiku sekali lagi sambil memberikan tatapan lembut yang penuh kehangatan, meski matanya basah oleh air mata yang tertahan. Tatapan lembutnya selalu memberi rasa tenang dan damai ketika aku berada di dekatnya. Apa yang ia katakan ada benarnya; bangsa Varaya memang terkenal akan kekejamannya dan aku bisa saja membenarkan tindakanku dalam menjalankan misi kali ini. Namun, meski mampu memberikan pembenaran pribadi, misi itu telah menjadikanku seorang penjahat perang.

" Yoha... "

Suara Flerina mengalun lembut di tengah kesunyian malam, seperti angin yang berbisik di antara dedaunan.

" Setelah misi ini selesai, " ujarnya, tangannya yang hangat menggenggam erat jemariku, " mari kita pergi ke suatu tempat... di mana tak ada seorang pun yang mengenali kita. Mari menjadi orang biasa di sana. "

Senyum kecil mengembang di bibirku. Betapa ironis, pikirku. Aku pun pernah bermimpi hal yang sama. Namun, bayangan sebuah rumah sederhana di Venbert langsung menyergap—paman, bibi, dan Lena. Wajah-wajah yang setia menanti kepulanganku.

Kuraih pipinya yang basah oleh air mata, usapanku pelan seperti menyentuh daun kering yang rapuh. " Maaf, Flerina... Aku punya keluarga angkat yang tak bisa kutinggalkan di Venbert. "

" Kita bisa ajak mereka! " desaknya, suaranya bergetar penuh harap. Tangannya yang biasanya mantap kini gemetar mencengkeram bajuku. " Kita bisa hidup sebagai keluarga besar— "

" Aku tak yakin kita bisa menjadi pasangan sungguhan, " potongku, hati terasa berat mengucapkannya. " Ada seseorang yang... menungguku di sana. "

Flerina mendekat, wajahnya hanya berjarak sejengkal. Napasnya hangat menyentuh kulitku.

" Aku tak peduli, " serunya, suaranya pecah antara marah dan putus asa. " Aku tahu hatimu milik siapa, tapi izinkan aku membawamu pergi dari neraka ini! Aku rela—bahkan jika harus menjadi yang kedua! "

Kenapa?

Kenapa dia bersikeras seperti ini?

Pertanyaan itu menggantung di udara sebelum akhirnya—

" Karena sejak pertama melihatmu... saat aku menjalankan misi dulu, " bisiknya, suara serak oleh emosi yang tertahan lama, " aku sudah jatuh cinta padamu. "

Jantungku berhenti.

Selama ini, aku mengira sandiwara suami-istri kami hanyalah bagian dari penyamaran. Tapi ternyata... getaran di suaranya, sentuhan yang selalu terlalu lama, tatapannya yang kadang mengembara—semuanya nyata karena perasaan.

Aku terdiam.

Tak ada kata-kata yang pantas kukeluarkan.

" Aku tak peduli jika cintaku tak berbalas, " lanjut Flerina, air matanya yang asin jatuh ke pipiku. " Tapi izinkan aku menyelamatkanmu dari dunia yang sudah merenggut semua cahayamu! "

Tulus.

Dia benar-benar tulus.

" Flerina... " Kumulai dengan suara parau. " Sejak kecil, hidupku hanya tentang ambisi balas dendam dan medan perang. Aku tak mengerti apa itu cinta... atau bagaimana seharusnya perasaan terhadap seorang wanita. " Kepalaku menunduk. " Bersama Lena dan bersamamu—rasanya berbeda. Tapi aku tak bisa memastikan mana yang... "

Namun, sebelum kalimatku selesai—

Dia menciumku.

Bibirnya yang hangat menyentuh milikku dengan lembut, seperti kelopak bunga yang jatuh di permukaan danau. Pelukannya erat, seolah takut aku akan menghilang.

Ini... ciuman?

Selama ini, aku hanya mendengar cerita kapten Alvar tentang bagaimana rasanya—tapi tak pernah kuduga akan selembut ini.

Dan tiba-tiba—

" Maafkan aku... "

Dia menarik diri begitu cepat, lalu berlari keluar kamar sebelum sempat kuraih. Aku tertatap kosong ke arah pintu yang ternganga.

Mungkin... dia butuh waktu sendiri.

Kuhirup napas dalam, lalu menenggak sisa air di cangkir. Cairan manis pahit itu mengalir ke tenggorokan, tapi entah mengapa...

Bibirku masih terasa hangat.

***

Malam semakin larut, namun mataku tak kunjung terpejam. Pikiranku terus melayang kepada Flerina—kepada air mata yang jatuh dari mata hijau itu, kepada bibirnya yang hangat menyentuh bibirku.

Akhirnya, kuputuskan untuk turun. Perlahan, kutapaki anak tangga satu per satu, berusaha menahan bunyi kayu yang berderak.

Dan di sana—

Flerina.

Duduk menyendiri di kursi dekat perapian, tubuh putihnya hanya terbungkus piyama pendek yang tipis. Cahaya bulan menyelinap dari jendela, menyapu lembut punggungnya yang sedang terguncang oleh isak tangis yang ia coba sembunyikan.

Dia mencintaiku?

Pertanyaan itu menggantung di benakku, menusuk-nusuk.

Dulu, di Burga, aku mengira telah memahami arti cinta. Saat bersama Lena, jantung ini selalu berdegup kencang, seolah ingin kabur dari sangkar tulang rusukku. Tapi sekarang—

Flerina memberiku sesuatu yang berbeda. Kehangatannya mengingatkanku pada ibu. Pada pelukan yang selalu bisa menenangkan badai dalam diriku.

Mana sebenarnya arti cinta?

Degupan jantung untuk Lena, atau ketenangan dan kenyamanan yang diberikan Flerina?

Kududuk di anak tangga, memperhatikannya dari kejauhan. Tubuhnya yang biasanya tegar kini terlihat begitu rapuh. Udara malam yang dingin akhirnya memaksaku bergerak. Kuambil selimut dari kamar, lalu menghampirinya.

" Maaf, " bisikku sambil membalutkan selimut itu di pundaknya. " Aku belum bisa memberimu jawaban... setidaknya sampai kau bertemu Lena. "

Flerina menengok. Matanya yang merah masih basah, tapi senyumnya—senyum yang selalu membuatku terpana—perlahan muncul.

" Maaf... tadi aku menciummu, " ujarnya, suaranya serak.

Kusentuh lembut pipinya. " Jangan minta maaf. Aku... tidak menyesalinya. "

Senyumnya mulai kembali perlahan, seperti matahari yang menembus awan kelam.

" Kalau begitu, " bisiknya, tangannya yang dingin menggenggam jemariku, " boleh aku minta satu hal malam ini? "

" Apa itu? "

" Aku ingin kau tidur di sampingku... benar-benar di sampingku."

" Bukankah kita selalu— "

" Kau selalu pindah ke kursi saat aku tertidur," potongnya, matanya berbinar.

Tak bisa berkata lagi, kuangkat bahu. Tangannya yang halus segera menarikku kembali ke kamar.

Ranjang terasa lebih sempit dari biasanya. Flerina segera meringkuk di sampingku, tangannya erat mencengkeram bajuku, seolah takut aku pindah tempat.

Dia benar-benar tidak akan membiarkanku pergi malam ini.

Kubiarkan saja. Bagaimanapun, dialah yang telah menyelamatkanku dari jurang kegilaan. Berkat dirinya, aku bisa mencoba kembali untuk menerima kenyataan paling kelam dalam hidupku.

" Selamat malam... " bisiknya, napasnya sudah teratur.

Mataku menatapnya—wajah yang tenang di bawah cahaya bulan, senyum kecil yang masih mengembang di bibirnya.

Dan untuk pertama kalinya dalam hidupku—

Aku membiarkan diriku tenggelam dalam kehangatan seorang wanita.

^^^To be continued^^^

1
Milacutee
Lanjuuut makin ksini makin seru
Milacutee
Lena kalah dong😅
Milacutee
🥰🥰🥰🥰🥰🥰
IM_mam
/Good//Good//Good//Good//Good//Good//Good/
Xiao yu an
Suka bgt ceritanya
Lia ✧◝(⁰▿⁰)◜✧
Akhrnya kjawab sebab ptsd si mc
Mikoooo dayooooo
Ratunya munafik bgt😡
Ubi
Smnagat min
Nara
Lgsg update dong😁😁😁 lnjut trs thor
Lia ✧◝(⁰▿⁰)◜✧
Semangat updatenya
Lia ✧◝(⁰▿⁰)◜✧
Alat komunikasinya tu kyk gmn? tlg kasih aku pnjelasan thor
Lia ✧◝(⁰▿⁰)◜✧
Aduhhhh stres emg Varaya
Mikoooo dayooooo
Dtnggu lnjutanya
Mikoooo dayooooo
Aku jd mmbayangkan adeganya🤢
pangestu mahendra
Awalnya narasinya agak kaku tapi makin kesini authornya memperbaiki penulisan. Ceritanya lumayan bagus sih terutama waktu udh chapter 20
Caramel to
update plissss
Nertha|
Gassss terus thor klo bsa updatenya 3 chapter langsung gtu
Nertha|
Heroine baru/Drool//Drool//Drool//Drool//Drool//Drool/
Nertha|
agak konyol ni ngekudeta tpi mental pasukanya lembek wkwkwk
Layciptuzzzz_^^
semangat
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!