Elara, seorang ahli herbal desa dengan sihir kehidupan yang sederhana, tidak pernah menyangka takdirnya akan berakhir di Shadowfall—kerajaan kelabu yang dipimpin oleh raja monster. Sebagai "upeti" terakhir, Elara memiliki satu tugas mustahil: menyembuhkan Raja Kaelen dalam waktu satu bulan, atau mati di tangan sang raja sendiri.
Kaelen bukan sekadar raja yang dingin; ia adalah tawanan dari kutukan yang perlahan mengubah tubuhnya menjadi batu obsidian dan duri mematikan. Ia telah menutup hatinya, yakin bahwa sentuhannya hanya membawa kematian. Namun, kehadiran Elara yang keras kepala dan penuh cahaya mulai meretakkan dinding pertahanan Kaelen, mengungkap sisi heroik di balik wujud monsternya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon tanty rahayu bahari, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 6: Makan Malam yang Canggung
Matahari baru saja tergelincir di balik pegunungan Shadowfall, menyisakan langit ungu memar yang suram, ketika pintu kamar Elara diketuk.
Bukan ketukan kasar prajurit, melainkan ketukan tegas dan berirama.
Nyonya Thorne masuk membawa tumpukan kain di lengannya. Wajah wanita tua itu sama kakunya seperti biasa, tetapi matanya meneliti ruangan dengan cepat, memastikan Elara tidak menyembunyikan paku atau senjata tajam lainnya.
"Mandi," perintah Nyonya Thorne singkat. Dia meletakkan tumpukan kain itu di atas tempat tidur. "Raja mengundangmu makan malam."
Elara, yang sedang duduk membaca buku botani tua di dekat jendela, mendongak kaget. "Makan malam? Bersama?"
"Tentu saja bersama. Itu arti dari 'mengundang'," jawab Nyonya Thorne sarkas. "Lord Vorian bersikeras bahwa 'tabib pribadi' Raja harus diperlakukan dengan hormat. Jangan tanya aku kenapa. Menurutku, memberi makan tahanan tiga kali sehari sudah cukup hormat."
Elara menelan ludah. Makan malam resmi dengan Raja Kaelen. Bayangan cakar batu dan mata merah menyala itu masih segar di ingatannya. Namun, bayangan lain juga muncul—wajah lelah pria itu saat Elara membalut lukanya.
"Baiklah," kata Elara pelan.
Satu jam kemudian, Elara berdiri di depan cermin besar berbingkai perak yang kusam. Dia nyaris tidak mengenali bayangannya sendiri. Gaun lusuh desanya telah diganti dengan gaun beludru berwarna biru malam yang berat. Gaun itu indah, dengan lengan panjang yang menutupi tangannya hingga pergelangan, dan kerah tinggi yang sopan. Potongannya kuno, seolah diambil dari lemari pakaian ratu yang sudah meninggal seratus tahun lalu.
Rambut cokelatnya yang biasanya dikepang asal kini digerai, disisir rapi hingga berkilau.
"Jangan buat beliau menunggu," kata Nyonya Thorne dari ambang pintu. "Raja benci orang yang tidak tepat waktu."
Ruang makan utama Shadowfall dirancang untuk menjamu seratus orang bangsawan. Langit-langitnya melengkung tinggi seperti katedral, dihiasi lampu gantung kristal yang debunya mungkin lebih tua dari umur Elara. Namun malam ini, ruangan itu kosong melompong.
Hanya ada satu meja panjang dari kayu eboni di tengah ruangan. Di satu ujung meja, duduk Raja Kaelen. Di ujung lainnya—yang berjarak hampir sepuluh meter—sebuah kursi kosong menunggu Elara.
Kaelen sudah menunggu. Dia mengenakan kemeja sutra hitam longgar yang menyamarkan bentuk bahu kanannya yang berduri, tapi tidak bisa menyembunyikan sarung tangan kulit yang dia pakai di tangan kanannya. Dia tampak kaku, seperti patung yang dipaksa duduk.
Saat Elara masuk, Kaelen mendongak. Mata abu-abunya menyapu penampilan Elara, dan untuk sesaat, ada kilatan emosi yang tidak terbaca di sana. Terkejut? Kagum? Atau hanya bingung melihat gadis desa berpakaian seperti bangsawan?
"Duduklah," suara Kaelen bergema di ruangan yang sunyi itu.
Elara berjalan melintasi lantai marmer yang berbunyi tak-tak-tak setiap kali hak sepatunya melangkah. Dia merasa kecil di ruangan raksasa ini. Dia menarik kursi berat itu dan duduk.
Hening.
Pelayan-pelayan bisu muncul dari bayangan, meletakkan piring-piring perak di depan mereka. Menu malam itu mewah tapi aneh. Daging rusa panggang dengan saus berry hitam, sup jamur liar, dan roti yang masih hangat. Jauh lebih baik dari bubur gandum yang biasa dimakan Elara di desa.
Tapi tidak ada yang mulai makan.
"Jadi," Kaelen memecah keheningan. Dia tidak menyentuh makanannya. Dia hanya memutar gelas anggur kristal dengan tangan kirinya. "Vorian bilang aku harus bersikap 'beradab' padamu karena kau menyelamatkan bahuku."
Elara tersenyum canggung. "Lord Vorian sangat perhatian."
"Dia cerewet," koreksi Kaelen datar. "Makanlah. Aku tidak meracuninya, kalau itu yang kau takutkan."
Elara mengambil sendok perak, tangannya sedikit gemetar. Dia mencicipi sup jamur itu. Rasanya lezat luar biasa, kaya rempah dan krim. Perutnya yang lapar bersorak, tapi dia menahan diri untuk tidak makan dengan lahap.
"Bagaimana bahu Anda?" tanya Elara basa-basi, mencoba terdengar sopan.
"Masih ada," jawab Kaelen singkat.
Percakapan mati lagi. Elara mulai menyadari bahwa Raja ini mungkin ahli dalam strategi perang dan sihir hitam, tapi dia memiliki kemampuan sosial setara dengan batu bata.
Elara memutuskan untuk mencoba pendekatan lain. Dia melihat sekeliling ruangan.
"Istana ini... sangat besar," katanya. "Apakah Anda tinggal sendiri di sini? Maksud saya, selain para pelayan dan Lord Vorian?"
Kaelen menatap gelas anggurnya, seolah melihat masa lalu di dalam cairan merah pekat itu. "Dulu tidak. Dulu tempat ini penuh. Ada pesta setiap minggu. Musik. Tawa." Dia terkekeh sinis. "Lalu kutukan itu datang. Teman-teman menjadi takut. Keluarga menjauh. Dan sisanya... yah, mereka menjadi patung di taman."
Elara meletakkan sendoknya. Nafsu makannya hilang mendengar itu. "Apakah... apakah paman Anda, Duke Vane, pernah berkunjung?"
Rahang Kaelen mengeras mendengar nama itu. Aura di ruangan itu tiba-tiba menjadi lebih dingin. Lilin-lilin di atas meja berkedip redup.
"Jangan sebut nama dia di depanku," geram Kaelen pelan. "Vane lebih suka aku membusuk di sini agar dia bisa memerintah dari ibu kota musim panas. Dia yang mengirimmu ke sini, bukan? Lewat dekrit dewan?"
"Saya tidak tahu," jawab Elara jujur. "Saya hanya tahu desa saya dipilih."
Kaelen mendengus. Dia mencoba memotong daging di piringnya.
Di sinilah bencana kecil itu terjadi.
Karena tangan kanannya adalah cakar batu yang kaku dan terbungkus sarung tangan tebal, Kaelen kesulitan memegang pisau. Dia mencoba menekan pisau itu, tapi jari-jari batunya tidak memiliki kepekaan rasa.
Krak.
Piring perak itu penyok tertekan cakar batunya. Pisau tergelincir, menghantam gelas anggur hingga pecah berkeping-keping. Cairan merah tumpah membasahi taplak meja putih, tampak seperti darah segar yang menyebar.
Kaelen membeku. Dia menatap kekacauan itu dengan napas memburu. Rasa malu dan frustrasi memancar darinya.
"Sialan," bisiknya.
Elara bangkit dari kursinya tanpa berpikir. Naluri perawatnya mengambil alih. "Biar saya bantu—"
"Jangan mendekat!" bentak Kaelen. Dia berdiri kasar, menjatuhkan kursinya ke belakang. "Lihat? Ini sebabnya aku tidak makan bersama orang lain! Aku monster, Elara! Aku bahkan tidak bisa memotong daging sialan ini tanpa menghancurkan segalanya!"
Elara tidak mundur. Dia justru berjalan mendekati ujung meja Kaelen. Dia mengambil serbet kain bersih.
"Anda bukan monster karena menjatuhkan gelas," kata Elara tenang, meski jantungnya berdebar kencang. "Nenek Hestia menjatuhkan gelasnya setiap hari karena tangannya gemetar, dan dia wanita paling baik yang saya kenal."
Elara mulai membersihkan pecahan kaca di atas meja.
Kaelen menatapnya, napasnya perlahan melambat. Kemarahannya surut, digantikan oleh rasa lelah yang amat sangat. Dia melihat gadis itu memunguti pecahan kaca tajam tanpa rasa takut.
Lalu, matanya menangkap sesuatu.
Saat Elara menjangkau pecahan gelas di dekat tangan Kaelen, lengan gaunnya sedikit tersingkap. Di jari-jari tangan kanannya—tangan yang kemarin dia gunakan untuk mengoleskan obat—terdapat perban putih yang melilit ujung jarinya.
Mata Kaelen menyipit. Dengan gerakan cepat, dia menangkap pergelangan tangan Elara.
"Ah!" Elara tersentak kaget.
"Apa ini?" tanya Kaelen tajam. Dia mengangkat tangan Elara ke arah cahaya lilin.
"Bukan apa-apa," Elara mencoba menarik tangannya, tapi cengkeraman Kaelen kuat—meski hati-hati. "Hanya tergores pisau dapur."
"Bohong," kata Kaelen dingin.
Dia membuka ikatan perban itu dengan satu tangan kirinya. Di balik kain putih itu, ujung jari telunjuk dan tengah Elara melepuh, kulitnya merah dan mengelupas. Itu jelas luka bakar kimia.
Luka bakar akibat menyentuh darah Void yang beracun kemarin.
Kaelen menatap luka itu, lalu menatap wajah Elara. Ekspresinya hancur. Topeng kemarahan dan arogansinya retak, memperlihatkan rasa bersalah yang telanjang.
"Darahku," bisik Kaelen. Suaranya bergetar. "Kau terbakar saat mengobatiku kemarin. Dan kau tidak bilang apa-apa?"
"Itu hanya sakit sedikit," kata Elara cepat, mencoba menenangkan pria itu. "Sudah saya beri salep. Akan sembuh dalam dua hari."
Kaelen melepaskan tangan Elara seolah tangan gadis itu terbuat dari api. Dia mundur selangkah, menabrak dinding di belakangnya.
"Aku menyakitimu," katanya horor. "Bahkan saat kau mencoba menyelamatkanku, aku tetap menyakitimu."
"Kaelen, dengar—" Elara memanggil namanya tanpa gelar untuk pertama kalinya.
"Cukup," potong Kaelen. Wajahnya kembali tertutup topeng dingin, tapi kali ini matanya redup. Dia berbalik memunggungi Elara.
"Makan malam selesai. Kembali ke kamarmu."
"Tapi Anda belum makan," protes Elara.
"KUBILANG KEMBALI!" bentakan Kaelen menggetarkan kaca-kaca jendela. Suaranya bercampur dengan geraman monsternya. Bayangan di sudut-sudut ruangan tampak memanjang, merespons emosinya yang tidak stabil.
Elara terdiam. Dia tahu dia tidak bisa menembus tembok pertahanan itu malam ini. Pria itu sedang menghukum dirinya sendiri, dan kehadiran Elara hanya memperparah rasa bersalahnya.
"Baik," kata Elara pelan. Dia membungkuk singkat, lalu berbalik.
Saat dia mencapai pintu besar ruang makan, dia menoleh sekali lagi.
Raja Kaelen berdiri sendirian di ujung ruangan yang remang-remang, di tengah pecahan gelas dan tumpahan anggur. Dia menatap tangannya sendiri—tangan kanan yang mengerikan itu—dengan tatapan penuh kebencian.
Elara menutup pintu pelan-pelan, hatinya terasa nyeri. Bukan karena luka bakar di jarinya, tapi karena dia baru menyadari bahwa musuh terbesar Kaelen bukanlah kutukan atau Void, melainkan dirinya sendiri.
Dan menyembuhkan hati yang membenci dirinya sendiri jauh lebih sulit daripada menyembuhkan luka fisik.
BERSAMBUNG.....
Terima kasih telah membaca💞
Jangan lupa bantu like komen dan share❣️