Zevanya memiliki paras yang cantik turunan dari ibunya. Namun, hal tersebut membuat sang kekasih begitu terobsesi padanya hingga ingin memilikinya seutuhnya tanpa ikatan sakral. Terlebih status ibunya yang seorang kupu-kupu malam, membuat pria itu tanpa sungkan pada Zevanya. Tidak ingin mengikuti jejak ibunya, Zevanya melarikan diri dari sang kekasih. Namun, naasnya malah membawa gadis itu ke dalam pernikahan kilat bersama pria yang tidak dikenalnya.
Bagaimana kisah pernikahan Zevanya? Lalu, bagaimana dengan mantan kekasih yang masih terobsesi padanya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Naaila Qaireen, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 28
SELAMAT MEMBACA
Wira menggosok hidungnya, merasa terganggu dengan parfum yang begitu menyengat di jasnya. Parfum wanita itu, yang tak lain Almira tertempel di jasnya. Ia pun memutuskan menepikan mobil di dekat tempat sampah, membuka jasnya lalu membuangnya. Setelahnya, kembali melajukan mobilnya menuju rumah.
Bukannya terlalu membenci mantan sehingga membuang jasnya akibat tertempel parfum wanita itu, karena sejatinya ia memang sudah move on. Tetapi ia menghargai istrinya dan tidak ingin Zevanya memikirkan hal yang tidak-tidak yang dapat mempengaruhi hubungan mereka yang masih berkembang ini. Masalah jasnya bisa ia beli lagi, sayang dengan harganya. Lebih sayang lagi dengan istrinya. Jas itu tidak ada apa-apanya dibandingkan keutuhan rumah tangga mereka.
Tibanya di kediaman, Wira langsung disambut oleh istrinya itu di depan pintu mobil. Pria itu tersenyum lebar, membuka pintu mobilnya dan keluar. Ia berjalan mendekat, senyum keduanya sama-sama merekah.
"Mas," panggil Zevanya disertai senyuman yang manis. Gadis itu mengulurkan tangan, berniat mengambil alih tas kerja suaminya. Namun, Wira malah mengartikan lain. Bukannya memberikan tas kerjanya, ia malah memeluk istrinya itu. Menjatuhkan kepalanya di pundak kecil istrinya. Posisi itu bertahan cukup lama, Wira pun menjauhkan kepalanya tetapi sebelum itu ia tentu mencuri satu kecupan di pipi sang istri yang membuat si empunya protes.
Wira terkekeh, "Kamu makin cantik kalau bibirnya maju gini, jadi pengen cium." Ujarnya membuatnya Zevanya semakin malu. Tidak ingin suaminya melihat wajahnya yang memerah, Zevanya segera meraih tas itu dan berjalan memasuki rumah mereka. Wira mengejar dengan kata-kata gombalan yang garing.
***
Setelah membersihkan diri dan menunaikan salat Magrib berjamaah, Wira dan Zevanya menuju ruang makan. Seperti biasanya, Zevanya selalu mendahulukan suaminya. Ia mengambilkan nasi dan lauk pauk untuk Wira, tetapi sebelum sempat menyodorkan piring itu, Wira juga sudah melakukan hal yang sama untuknya.
Keduanya saling menyodorkan piring berisi makanan, namun dengan porsi berbeda. Sejenak, keheningan melingkupi mereka sebelum akhirnya senyum tersungging di wajah masing-masing.
"Makasih, Mas." Ujarnya Zevanya menerima pemberian suaminya.
"Tentu, apa sih yang nggak buat kamu." Balas Wira yang malah tidak terdengar sinkron, niatnya sih ingin menggombal.
Zevanya memutar bola matanya, suaminya ini semakin hari semakin menjadi dan aneh saja. Lupa, kalau sebelumnya dia adalah pria yang kaku. Tetapi walau begitu, ia sangat menghargai usaha suaminya.
"Mmmm, sambal terasi kamu yang terbaik. Resepnya apa, Dek Aya?" pujian yang berakhir minta resep, Zevanya sendiri tahu suaminya pandai memasak. Tetapi meminta resep, buat apa?
"Kalau lain kali Mas mau, aku bisa bikini lagi." Jawabannya, ia akan membuatnya setiap hari jika suaminya suka.
"Tentu saja, tapi aku tetap mau resepnya. Ini sangat cocok buat dijadikan pelengkap menu di restoku," ujar Wira sambil kembali menyuap nasi.
"Resto? Mas punya resto?" tanya gadis itu yang tampak terkejut.
"Hm, yaa. Aku belum cerita, ya...?"
Zevanya mengangguk, masih terkejut. Sejauh ini, yang ia tahu suaminya hanya menggantikan posisi kakaknya sementara sebagai pemimpin perusahaan keluarga.
Wira menepuk dahinya sendiri. Bagaimana mungkin ia bisa lupa memberitahu hal ini pada istrinya? Ia pun berdehem kecil sebelum meneguk air yang telah disiapkan Zevanya.
"Dek Aya harus bangga menjadi istri mas Wira. Karena suamimu ini pemilik restoran tradisional yang sudah punya beberapa cabang di berbagai kota. Pas aku nggak pulang seminggu di awal pernikahan kita, itu karena resto sedikit bermasalah, jadi aku harus turun tangan langsung," jelas Wira di selingi kata-katanya yang lebai, dan kembali menyendok lauk ke piringnya lagi. Sembari berpikir untuk menambah menu makanan dari resep makanan sang istri.
Zevanya terdiam, mengingat kembali momen saat itu. Saat Wira meninggalkannya, ia benar-benar merasa ditinggalkan dan sudah bertekad untuk bangkit sendiri, bahkan sempat berencana mencari pekerjaan agar tidak bergantung pada siapa pun. Mengingat hal itu sekarang, ia jadi merasa malu sendiri.
Setelah beberapa saat, Zevanya kembali membuka suara. "Mas, ngomong-ngomong soal rumah, kenapa kita nggak tinggal di sana lagi? Kenapa malah pindah ke sini?"
Pertanyaan itu membuat Wira menghentikan kunyahan sejenak. "Kenapa? Kamu nggak suka tinggal di sini?" Wira memandang Zevanya dengan khawatir, karena kenyamanan Zevanya juga tanggung jawabnya.
"Bukan begitu," Zevanya buru-buru menggeleng. "Aku cuma penasaran, soalnya di sana masih ada barang-barang kita." Jelas gadis itu.
Wira menghela napas kecil sebelum menjawab, "Sebenarnya, itu cuma rumah kontrakan, dan beberapa bulan lagi masa sewanya habis." Tempat tersebut memang aman untuk dijadikan tempat persembunyian dari segala tuntutan ibunya, tetapi tidak untuk ditinggali bersama Zevanya. Lingkungan di sana terlalu ramai, tetangga yang suka ingin tahu dan bergosip membuat suasana jadi kurang nyaman. "Barang-barang yang masih bagus nanti kita kasih ke tetangga. Sekalian nanti aku serahkan kuncinya ke pemilik rumah," tambah Wira.
Disisi lain, Almira yang ditinggalkan oleh Wira meraung frustasi. Tetapi ia tidak dapat melampiaskan seluruh emosinya akibat deringan ponsel yang ternyata dari ibu mertuanya.
Wanita itu berdecak, menyisir rambutnya ke belakang dengan jari tangan. Dan menghela napas perlahan untuk menetralkan emosinya.
"Hallo... ya, Mah." Ia menjawab panggilan tersebut dengan nada manis. Berbeda sekali dengan raut wajahnya yang masam.
"Jangan lama-lama, tidak ada yang jagain Evrand. Mama juga ada urusan, kamu cepat ke sini." Titah Ratna mendesak di seberang sana.
Almira mendengus, "Ngapain sih orang koma yang nggak tahu kapan bangunnya dijagain." Namun kata-kata itu hanya terucap dalam hatinya. "Iya, Mah. Aku akan segera kembali—"
Panggilan langsung di tutup secara sepihak oleh Ratna tanpa mendengar penjelasan Almira lebih lanjut.
Almira mendengus, memaki dalam hati perbuatan mertuanya itu. Barulah ia menuju tempat di mana mobilnya terparkir dan menuju rumah sakit.
"Gue kira bakalan hidup enak setelah dinikahin Evrand ketimbang adiknya, ini malah kek perawat suka rela yang jagain orang yang sekarang." Sungutnya, dan yang lebih parah. Mantan kekasihnya itu mungkin saja akan menjadi pewaris menggantikan Evrand suaminya.
Almira memukul setir mobilnya, "Nggak bisa," ia tidak ingin lagi hidup dalam keterbatasan. "Dengan cara apapun itu, aku harus dapatin Varrel lagi. Hidup nyamanku nggak boleh hilang begitu saja." Tekatnya. Asalkan ia masih bisa hidup dalam kemewahan keluarga Sanjaya, apapun akan ia lakukan.
Almira tiba di ruang rawat Evrand, ia langsung menyapa mertuanya dengan hangat. "Makasih Mah udah mau bantu aku jagain Mas Evrand," katanya dengan nada tulus.
Ratna membereskan barang-barangnya dan mengambil ponselnya di atas meja. "Tidak perlu berterima kasih, Evrand anak mama juga." Sebelum menutupi pintu, "Jangan biarkan Evrand sendiri seperti kemarin. Atau kartu kamu, mama bekukan." Ratna pun keluar dan meninggalkan ruang rawat tersebut. Meninggalkan Almira yang memandang kepergiannya dengan tatapan sinis.
"Hais, dasar wanita tua. Taunya ngancam aja!" umpat Amira lalu memandang sinis pada Evrand yang terbujur memejamkan matanya.
Wanita cantik dengan gaun minim tersebut membuka ponsel, "Hai Sayang, lagi ngapain. Hmmm, mau ketemuan. Ya, di tempat biasa. Aman. Dia tidur kaya orang mati, kok." Almira terkekeh menutup telepon, sekarang dirinya menunggu seseorang yang akan datang.