Lima belas tahun menikah, Ghea memergoki suaminya berselingkuh dengan sekretarisnya. Lebih menyakitkan lagi, di belakangnya sang suami menyebutnya sebagai wanita mandul dan tak becus melayani suami. Hatinya hancur tak bersisa.
Dalam badai emosi, Ghea pergi ke klub malam dan bertemu Leon—pria muda, tampan, dan penuh pesona. Dalam keputusasaan, ia membuat kesepakatan gila: satu miliar rupiah jika Leon bisa menghamilinya. Tapi saat mereka sampai di hotel, Ghea tersadar—ia hampir melakukan hal yang sama bejatnya dengan suaminya.
Ia ingin membatalkan semuanya. Namun Leon menolak. Baginya, kesepakatan tetaplah kesepakatan.
Sejak saat itu, Leon terus mengejar Ghea, menyeretnya ke dalam hubungan yang rumit dan penuh gejolak.
Antara dendam, godaan, dan rasa bersalah, Ghea terjebak. Dan yang paling menakutkan bukanlah skandal yang mengintainya, melainkan perasaannya sendiri pada sang berondong liar.
Mampukah Ghea lepas dari berondong liar yang tak hanya mengusik tubuhnya, tapi juga hatinya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nana 17 Oktober, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
34. Dominasi Diam Seorang Berondong
Restoran itu sepi. Hanya denting gelas dan bisik-bisik kecil dari meja lain yang tersisa saat Vika menghabiskan suapan terakhir makan malamnya.
Namun napasnya tercekat saat sebuah suara berat menyergap dari belakangnya.
"Kau cukup berani menyelidiki seseorang yang seharusnya tak kau usik. Apa kau tak takut konsekuensinya?"
Tubuh Vika menegang. Kepalanya menoleh pelan, jantungnya berdetak lebih keras dari biasanya. Dan sebelum sempat ia mengucap sepatah kata pun—
Ckrek.
Seseorang menarik kursi di hadapannya tanpa permisi, lalu duduk dengan santai... seolah restoran itu miliknya.
Leon.
Bersandar ringan, postur tegak, tangan bertaut rapi di atas meja. Matanya menatap lurus ke arah Vika dengan sorot tajam, dalam, seperti burung elang yang hanya perlu satu kedipan untuk menerkam.
Ruangan itu seolah berubah suhu. Lebih dingin. Lebih sesak.
Dan Vika, yang biasanya meledak-ledak seperti petasan tahun baru... mendadak terdiam. Bibirnya bergerak, nyaris tak bersuara.
“Kau?” gumamnya, mencoba menyamarkan kegugupan yang tiba-tiba menyeruak.
Leon hanya tersenyum tipis, bukan senyum manis, tapi senyum milik seseorang yang tahu ia bisa menghancurkanmu dalam tiga kalimat.
“Sepertinya kau begitu peduli pada Ghea.”
Nada suaranya datar, namun mengandung tekanan. Seperti tanya yang sebenarnya sudah tahu jawabannya.
Vika menggenggam ujung taplak meja, berusaha menahan getaran di jarinya. Ia menegakkan bahu, mencoba bersuara dengan tenang—meski napasnya terasa berat.
“Ghea bukan cuma sahabatku. Dia saudaraku. Aku tak bisa membiarkan dia dipermainkan.”
Mata Leon mengerjap lambat. Lalu senyum itu menghilang. Suaranya turun satu oktaf—nyaris seperti bisikan.
“Berhentilah menyelidiki aku. Jangan buang waktumu.”
Vika memberanikan diri menatap mata tajam pemuda dihadapannya. “Jika kau punya sedikit saja hati nurani, jangan sakiti dia. Kumohon.”
Vika nyaris terkejut dengan nada lirih dalam suaranya sendiri. Ia bahkan belum sadar, sejak kapan ia memohon pada pria yang lebih muda—dan asing—di hadapannya.
Leon membalas dengan lirikan tajam. Sorot matanya menusuk.
Ia mencondongkan tubuhnya ke depan, suaranya turun menjadi nada yang hanya bisa didengar oleh Vika.
“Aku tak berniat menyakiti Ghea. Jika kau merasa dia pantas dilindungi karena dia keluargamu, maka dengar ini baik-baik…”
Pupil Leon menggelap, menyala dalam.
“...aku menganggap dia sebagai tujuan hidupku.”
Kata-kata itu menancap. Seperti dentum palu di kepala.
Tanpa menunggu jawaban, Leon berdiri. Kursi berderit pelan. Langkahnya teratur. Tegas. Elegan.
Dan Vika hanya bisa mematung. Tak ada satu kalimat pun yang mampu keluar dari mulutnya.
Saat bayangan Leon menghilang di balik kaca restoran, Vika masih duduk membeku, dengan jantung berdebar keras di dada. Di antara napas yang terasa sempit, satu hal kini memenuhi kepalanya:
"Siapa sebenarnya pria itu…?"
Selama ini, Ghea tak pernah menyebut nama Leon. Tidak dalam cerita, keluhan, atau luka yang paling dalam sekalipun. Vika mengenalnya terlalu lama untuk melewatkan detail semacam itu. Mereka sudah berbagi banyak hal—tangis, tawa, dan masa lalu yang seharusnya tak menyisakan rahasia.
Ia tahu semuanya. Atau… ia pikir begitu.
Tapi nama Leon… tiba-tiba saja hadir. Seolah keluar dari celah waktu yang selama ini tertutup rapat. Bukan seperti bayang luka, tapi lebih seperti sesuatu yang dulu sempat singgah… lalu dilupakan begitu saja.
Justru karena itu, Vika merasa ada yang janggal.
"Ghea, apa dia bagian dari masa lalumu yang kau anggap hanya sekadar angin lalu—tapi kini datang kembali dengan arti yang tak bisa kau abaikan?"
Vika menatap kosong ke arah pintu restoran yang baru saja dilalui Leon. Jantungnya masih berdetak tidak beraturan, dan pikirannya lebih kacau dari sebelumnya.
"Tujuan hidup...?" gumamnya dalam hati.
"Apa maksudnya menyebut Ghea sebagai tujuan hidupnya? Kenapa terdengar seperti janji... atau ancaman?"
Vika mencoba mengingat semua hal tentang Ghea, membuka setiap lembar berkas usang di kepalanya. Tapi sekeras apapun ia mencoba, ia tak bisa menemukan memori dengan nama itu—Leon—tak pernah ada.
"Jadi… dari mana pria itu muncul? Kenapa aku merasa dia tahu semua tentang Ghea... lebih dari aku?"
Vika masih terpaku di kursinya. Lilin di meja tinggal separuh, dan pelayan mulai membereskan gelas-gelas kosong. Namun pikirannya masih tertinggal di tempat yang tadi diduduki Leon.
"Ghea... siapa dia?"
"Aku tak rela kalau kau terluka lagi. Cukup. Sudah cukup kau dipermainkan David."
"Aku tak ingin jadi saksi kehancuranmu. Karena itu… juga berarti melukaiku. Sebab kau adalah bagian dari hidupku. Duniaku."
Dulu, Vika hanyalah gadis dari keluarga sederhana yang tak mampu bermimpi terlalu tinggi. Tapi Ghea mengulurkan tangan dan menjadikannya lebih dari sekadar sahabat. Memohon pada orang tuanya agar Vika bisa kuliah, hidup lebih baik, punya tempat di dunia yang dulu terlalu mahal untuk dimasuki.
Ketika orang tua Ghea tiada, Vika menjadi rumahnya. Saat Ghea menangis diam-diam karena David, Vika yang menggenggam tangannya.
David adalah harapan yang tumbang. Tapi Vika adalah rumah yang selalu utuh.
Dan sekarang? Seseorang bernama Leon datang, mengguncang segalanya.
"Jika kau merasa dia pantas dilindungi karena dia keluargamu, maka dengar ini baik-baik... aku menganggap dia sebagai tujuan hidupku.”
Kalimat itu terngiang, terus dan terus. Terdengar manis, tapi dari pria seperti Leon—yang tatapannya menusuk, auranya mengintimidasi, kehadirannya seperti badai, dan kata-katanya menggetarkan—kalimat itu bisa berarti cinta yang besar… atau kehancuran yang lebih dalam dari luka mana pun yang pernah Ghea alami.
Dan itu—lebih dari apapun—yang membuat Vika menggigil.
Belum sempat ia menarik napas untuk menjernihkan pikiran, ponselnya bergetar di atas meja.
Nama yang muncul membuatnya refleks menegakkan badan.
Detektif pribadi yang ia sewa seminggu lalu, setelah rasa curiganya terhadap Ghea semakin tak bisa diabaikan.
Dengan jantung berdebar dan telapak tangan dingin, Vika mengangkat panggilan itu.
"Ya? Ada perkembangan?"
Suara di seberang terdengar pelan, hati-hati, tapi serius.
"Kami sudah selidiki Mahardika Group, sesuai permintaan Anda. Semua struktur direksi dan manajerial lengkap—"
"Dan Leon?" potong Vika cepat.
"Itu dia masalahnya, Bu. Nama Leon tidak tercatat sebagai siapa-siapa di Mahardika Group. Tanpa ruangan, tanpa jabatan."
Dahi Vika berkerut. "Tapi dia jelas ada di sana. Ghea pernah menyebut tempat itu. Dan… dia sendiri mengaku bekerja di Mahardika Group."
"Memang. Kami dapat informasi dari beberapa sumber dalam. Dia dikenal. Bahkan… ditakuti."
Napas Vika tercekat. "Apa maksud Anda?"
"Setiap kali ada klien penting dalam proyek-proyek bernilai tinggi—terutama klien perempuan—pihak perusahaan akan menunjuk Leon sebagai perwakilan. Tak peduli siapa yang menjabat, tak peduli protokol. Dia yang muncul, bicara, negosiasi, menyelesaikan."
"Tapi semua terjadi di luar sistem. Di balik layar."
"Seolah—dia bukan siapa-siapa, tapi juga semua orang tunduk padanya."
Suara detektif menurun, nyaris berbisik.
"Dan kami belum tahu siapa yang memberinya kuasa sebesar itu."
Sejenak hening hingga detektif itu kembali bersuara. "Setelah menyelidikinya, saya baru tahu, sudah banyak yang menyelidiki orang bernama Leon ini. Dan hasilnya sama. Bahkan ada beberapa orang yang mendapatkan ancaman karena terus menggali informasi tentang pria itu."
Sambungan terputus.
Bahkan setelah sambungan terputus, suara detektif itu masih menggema di kepalanya.
Tangan Vika gemetar di atas meja.
"Siapa sebenarnya pria itu?"
"Kenapa Ghea bisa sedekat itu dengan seseorang yang bahkan sistem pun tak berani mencatatnya?"
Vika menyandarkan punggung ke kursi, menatap langit-langit restoran, dan satu pikiran terlintas tajam di benaknya:
"Leon bukan sekadar pria berbahaya. Dia adalah bayangan dalam sistem. Dan Ghea… mungkin sudah terlalu dalam masuk ke dalamnya."
MOBIL HITAM DI PARKIRAN RESTORAN
Lampu kota memantul di permukaan mobil hitam berbody kokoh. Mesin menyala pelan, stabil. Di balik kaca gelap, Leon duduk di balik kemudi, mengenakan kemeja hitam pas badan. Cahaya dashboard menyinari setengah wajahnya, menyorot rahang tegas dan tatapan tajam yang seolah menembus malam.
Di kursi penumpang, duduk seorang pria berpakaian gelap, wajahnya sebagian tersembunyi bayangan.
“Vika pasti akan terus menyelidiki Anda, Tuan.”
Suaranya datar, seperti laporan militer. “Apa yang harus kita lakukan?”
Leon tidak menjawab. Tapi jemarinya perlahan mengetuk setir—pelan, presisi, seperti menghitung waktu yang tinggal sedikit.
...🌸❤️🌸...
.
To be continued
ooh ternyata Leon melihat si Tessa adalah pelakunya yang menyanggal kaki pelayan
Lanjutkan Kak Nana... 🙏🙏🙏
kamu itu udah hancur tapi belom nyadar,
sekali lagi kamu ganggu Ghea kamu akan jadi abu di tangan Leon...
Tessa...Tessa ,udah jatuh pun masih juga gak sadar diri...
ya gtu la slengki,klo gak ada cuan ya kmu jdi budak
Tapi karena nafsu, ambisi, dan kebodohan David - sekarang baru merasakan hasil tuaiannya.
Di apartemen David tak menemukan makanan apapun - Tessa makan malam bersama seorang pria untuk memenuhi keinginannya - melihat ada Ghea.
Tessa bikin ulah - pamit ke toilet - saat berpapasan dg pelayan yang membawa gelas melewati Ghea - kakinya menjegal. Satu gelas pecah berkeping-keping di lantai, satu lagi terlempar hampir mengenai wajah Ghea - Leon datang tepat waktu dengan sigap menangkapnya.
Kasihan si pelayan korban kelicikan Tessa.
Bisa jadi Leon melihat ulahnya Tessa - habis kau kalau benar.
Tessa kamu sudah membuat Ghea menderita sekarang kamu sudah menuai apa yang kamu tanam.
kenapa kamu masih berbuat kejahatan sadar Tessa harusnya Kamu tobat.
Benar² tuh si Tessa kelakuannya yang busuk,bersyukur Leon datang tepat waktu jadi rencana busuknya gatot keburu Leon datang...Chek CCTV Leon...kamu harus tahu yang melakukan itu pada Ghea adalah si Tessa,kasih pelajaran buat si Tessa PELAKOR