Kisah CEO dingin dan galak, memiliki sekretaris yang sedikit barbar, berani dan ceplas-ceplos. Mereka sering terlibat perdebatan. Tapi sama-sama pernah dikecewakan oleh pasangan masing-masing di masa lalu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Favreaa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 28
Rasa sakit seperti apa yang sebenarnya dirasakan Elena? Apakah karena mendengar Alvaro akan bertunangan dengan Alesha? Ya, mungkin itu benar. Tapi ada yang lebih sakit, yaitu karena Carline yang memintanya menjauhi Alvaro untuk Alesha.
Tapi apa yang salah? Bukankah wajar seorang ibu ingin melihat putrinya bahagia?
"Elena, mumpung kita bertemu di sini, saya perlu bicara serius dengan kamu." ujar Carline, suaranya pelan tapi wajah wanita itu cukup serius. Elena mengerutkan keningnya meski sudah bisa menduga arah bicara Carline.
"Tentang apa itu, nyonya?" Tanya Elena mencoba tenang, sambil menyedot lemon squash nya. Terasa segar di tenggorokan.
"Apa kamu tahu kalau ayahnya Alesha dan ayahnya Alvaro berniat menjodohkan mereka?"
Mata Carline menatap tajam gadis itu. Elena mengangguk. Tapi jujur, hatinya mulai tidak tenang. Tadi dia sudah terlanjur berbohong saat mengakui kalau dirinya dan Alvaro saling mencintai.
"Iya mas Alvaro sudah mengatakannya pada saya."
"Lalu?" mata Carline menelisik tajam, membuat Elena merasa terintimidasi. Timbul rasa kesal di hatinya.
"Lalu apa?"
"Apa yang akan kamu lakukan? Tetap mempertahankan Alvaro atau kamu mau mundur?"
Cukup, Elena tidak ingin melanjutkan obrolan ini! dia harus tegas pada wanita ini. Toh masalah ini adalah privasinya.
"Kenapa anda ingin tahu? Ini privasi saya dan saya tidak suka jika ada orang yang ikut campur!"
Akhirnya Elena bisa keluar dari rasa gugupnya. Keberaniannya sudah bangkit kembali.
Tapi Carline malah tertawa sumbang.
"Saya tahu apa yang ada di dalam benakmu sekarang. Tapi saran saya, lebih baik kamu mundur!"
Kata-kata dan tatapan Carline sekarang sangat memprovokasi. Elena benar-benar muak.
"Seorang ibu ingin membuat anaknya bahagia tapi menggunakan cara kotor! Anda salah jika mengira saya akan terprovokasi dan menuruti perintah anda." ujar gadis itu dan menantang balik tatapan Carline.
"Saya bicara seperti ini bukan untuk Alesha, tapi untuk dirimu sendiri. kamu tidak tahu, apa yang akan mereka lakukan jika ada seseorang yang menghalangi maksud dan tujuan mereka."
"Maksud anda?"
Carline menggeleng sambil membuka handphonenya yang sudah berkali-kali bunyi. Ternyata ada pesan masuk. Raut wajahnya berubah dingin saat dia membaca isi pesan di layar handphonenya.
"Pikirkan saja sendiri, saya tidak punya banyak waktu untuk menjelaskannya. Saya harus cepat-cepat pergi sekarang. Tolong pertimbangkan saran saya. Jika hubungan kalian belum terlalu jauh, sebaiknya kamu mundur! Tapi jika sudah terlalu jauh, maka kamu harus menanggung sendiri resikonya!"
Setelah berkata-kata yang membuat tanda tanya di benak Elena, Carline segera pergi. Wanita itu terlihat sangat terburu-buru, sampai makannya saja tidak dia habiskan.
Elena menatap punggung Carline yang semakin menjauh. Perasaannya terasa hampa melihat kepergian wanita itu. Entah kenapa, dia sendiri tak mengerti.
Elena terus berpikir dan mencerna kata-kata yang sudah diucapkan Carline tadi. Tapi seharusnya dia tak perlu merisaukan itu.
Bukankah pada kenyataannya, tak ada hubungan apa-apa diantara dirinya dan Alvaro?
Tak ingin terlalu dipusingkan oleh masalah itu, Elena pun bangkit dan tak meneruskan makannya. Rasa laparnya kini sudah hilang.
***
Sepanjang jalan menuju rumahnya,Carline terus berpikir. Dia sangat mengkhawatirkan gadis itu.
Entah kenapa, dia akan sangat tidak rela jika sampai Alesha dan Bryan mencelakai gadis itu.
"Aku tadi sudah memperingatkan dia, tapi entahlah dia akan mengerti atau malah salah paham."
Tiba-tiba dia teringat pada masa lalunya yang pahit dan harus mengorbankan perasaan cintanya pada seseorang. Juga pada buah hatinya sendiri.
26 tahun yang lalu, saat usianya masih 19 tahun, Medina bersama teman-temannya melakukan perjalanan ke Indonesia, tepatnya ke Bali. Tidak sengaja dia bertemu dengan seorang pelukis pinggir jalan. Saat bertatap mata, Medina (saat itu dia masih menggunakan nama depannya) jatuh hati pada pandangan pertama. Laki-laki itu bernama Evan Isaac Marvin. Seorang pria tampan, baik dan sangat bersahaja.
Awalnyanya Medina menggunakan jasanya saat dia dilukis. Tapi lama-lama karena rasa sukanya, dengan berbagai cara dia berusaha mendekati Evan yang pendiam.
Dua minggu lebih Medina menetap di Bali dan akhirnya dia berhasil mendekati Evan. Ternyata bukan hanya Medina yang jatuh cinta, tapi Evan pun sebenarnya merasakan hal yang sama. Dia menyukai sikap polos Medina, keceriaannya yang terkadang suka bertingkah konyol juga, membuat Evan tertawa. Selain itu, Medina juga orang yang sangat baik dan perhatian. Merekapun jatuh cinta satu sama lain dan melakukan hubungan jarak jauh.
Cinta jarak jauh itu berlangsung satu tahun lebih. Hingga suatu hari, tanpa kabar berita Medina datang lagi ke Indonesia.
"Ayo kita menikah Evan!" ajaknya enteng.
Tentu saja ajakan itu sangat mengejutkan lelaki yang saat itu masih berusia 25 tahun. Bukan karena dia tidak mencintai Medina dan tidak ingin menikah dengannya, tapi sebagai calon kepala keluarga dia masih belum memiliki apa-apa. Jangankan rumah sendiri, rumah kontrakan saja terbilang sangat sempit. Tapi Medina tidak memperdulikan itu. Yang penting dia bisa menikah dengan Evan.
"Aku punya tabungan yang cukup. Kita bisa sewa rumah yang lebih layak dan untuk hidup kita beberapa bulan ke depan. Aku kabur dari rumah karena aku mau dijodohkan."
Begitulah, akhirnya Medina berpindah keyakinan mengikuti keyakinan Evan dan merekapun menikah.
Tidak lama setelah menikah, tepat 2 hari setelah ulangtahunnya yang ke 21, Medina melahirkan seorang bayi cantik. Namun satu hari setelah dia melahirkan, malapetaka datang. Dia dijemput paksa orangtuanya padahal Medina dan Evan belum sempat memberikan nama pada putri mereka.
Ancaman datang dari ayahnya yang diktator dan kejam. Dia mengancam akan menghabisi Evan dan bayi yang baru dilahirkannya, jika Medina tidak mau menurut. Medina tahu itu bukan ancaman main-main. Dia sangat mengenal watak ayahnya.
Setelah beberapa hari disekap ayahnya di hotel, barulah dia dibawa lagi ke Jerman. Dan setelah itu, Medina dan Evan benar-benar hilang kontak. Mungkin Evan juga mendapatkan ancaman.
Ayah Medina tak peduli meski bertahun-tahun putrinya mengalami depresi. Lelaki kejam itu hanya hanya menyerahkan Medina kepada psikiater untuk diobati.
Bukan hanya itu penderitaan Medina. 17 tahun kemudian, setelah kejadian itu dan dia dinyatakan sembuh dari depresi, ayahnya masih berlaku kejam. Dia memaksa Medina menikah dengan Bryan, putra dari rekan bisnisnya dari Indonesia. Saat itu Bryan seorang duda beranak 1 yang berusia 20 tahun. Dan kini usia pernikahan Medina dan Bryan sudah memasuki tahun ke 7. Medina terpaksa mau dinikahkan dengan Bryan dengan harapan, agar suatu saat dia bisa kembali ke Indonesia dan punya kesempatan untuk mencari Evan dan putrinya.
Sekaranglah saatnya. Tapi dia bingung, bagaimana caranya, karena Bryan pun memperlakukan dia seperti burung dalam sangkar emas.
Carline menarik napas berat dan menghembuskannya perlahan.
"Bagaimana rupa putriku? Kalau dia masih ada, kini usianya sudah 24 tahun. Evan, maafkan aku! Aku lebih tidak rela jika ayahku menghabisi kalian."
Tak terasa air mata Carline berjatuhan membasahi pipinya. Dari jok depan, sang supir memperhatikan Carline dari kaca spion dengan perasaan iba. Dia tahu bagaimana tabiat Bryan, bosnya. Dan dia menyangka kalau kesedihan Carline ada hubungannya dengan Bryan.
***
"Hallo tante Neysa, Alvaro ada?" Alesha tiba-tiba nongol di taman belakang saat Neysa tengah asyik dengan berbagai jenis tanaman bunganya. Wanita itu tersenyum, lalu menyimpan peralatan berkebunnya dan membuka sarung tangan karet yang melindungi tangannya.
"Alesha? Alvaro ada di kamarnya."
"Aku naik ya tante."
"Alesha, tunggu! Alvaro tak akan suka jika ada orang asing yang masuk ke area pribadinya."
Alesha terkekeh mendengar ucapan Neysa.
"Aduh tante, sebentar lagi aku kan mau jadi tunangannya. Kalau di Jerman sana menginap pun dengan pasangan yang belum sah, gak apa-apa kok."
"Tapi ini Indonesia. Sebagai asli pribumi, kamu pasti tahu kan adab ketimuran kita? Selain itu, agama kita mengharamkan itu!" Neysa mulai berkata tegas. Makin ke sini dia makin tahu bagaimana karakter gadis itu. Tapi sayang, Haidar sudah bersikeras ingin menjodohkan Alesha dengan putra mereka.
"Duh tante kolot banget sih. Fine tante, aku akan menunggu di sini."
Alesha kembali masuk ke dalam, sementara maura menatapnya di belakang sambil geleng-geleng kepala.
"Semoga Tuhan tidak menjodohkan mereka, Amin!" Ucapnya sambil mengusap wajah.