Lahir dari pasangan milyuner Amerika-Perancis, Jeane Isabelle Richmond memiliki semua yang didambakan wanita di seluruh dunia. Dikaruniai wajah cantik, tubuh yang sempurna serta kekayaan orang tuanya membuat Jeane selalu memperoleh apa yang diinginkannya dalam hidup. Tapi dia justru mendambakan cinta seorang pria yang diluar jangkauannya. Dan diluar nalarnya.
Nun jauh di sana adalah Baltasar, seorang lelaki yang kenyang dengan pergulatan hidup, pelanggar hukum, pemimpin para gangster dan penuh kekerasan namun penuh karisma. Lelaki yang bagaikan seekor singa muda yang perkasa dan menguasai belantara, telah menyandera Jeane demi memperoleh uang tebusan. Lelaki yang mau menukarkan Jeane untuk memperoleh harta.
Catatan. Cerita ini berlatar belakang tahun 1900-an dan hanya fiktif belaka. Kesamaan nama dan tempat hanya merupakan sebuah kebetulan. Demikian juga mohon dimaklumi bila ada kesalahan atau ketidaksesuaian tempat dengan keadaan yang sebenarnya
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon julius caezar, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
EPISODE 28
Berjalan jalan dengan Antonio pada setiap sore itu menjadi suatu kebiasaan. Setiap hari Jeane selalu menantikan tibanya sore hari. Berjalan jalan di sore hari itu seolah merupakan semacam pesta untuk dapat keluar dari rumah yang membosankan serta untuk menghindari Baltasar yang selalu terasa mengganggu bagi Jeane.
Tetapi setelah seminggu dengan rutinitas seperti itu, keadaan itu juga mulai menimbulkan kebosanan baru.
Sore itu, setelah jalan jalan, Antonio berkata kepada Jeane, "Kelihatannya kau seperti sudah kelelahan, Jeane. Apakah semalam kau kurang tidur?"
"Tidak," Jeane menjawab dengan tegang.
Sebenarnya, kesalahan utama terletak pada Baltasar. Kunjungan Estela memang tidak dilakukan tiap hari, tetapi bagi Jeane, setiap kunjungan itu sudah menjadi siksaan tersendiri mendengar lenguhan napas ke dua insan itu melalui dinding tipis yang memisahkan kamar tidur mereka.
"Mengapa kau memaksa jalan jalan? Mengapa kau tidak beristirahat dan tidur saja? Kurasa itu akan baik sekali bagimu," Antonio menyarankan.
"Aku tidak memerlukan itu," Jeane menjawab dengan ketus sambil berjalan masuk ke dalam rumah gubuk itu.
Suasana di sekeliling dirinya seolah bergetar penuh ketegangan, dan rasa jengkel Jeane makin bertambah ketika ia melihat Baltasar duduk di ruangan utama sambil membersihkan senapannya.
"Yang kuperlukan sekarang adalah keluar dari sini! Berapa lama lagi sebelum kalian mendapat berita dari orang tuaku? Atau barangkali sudah ada berita itu tetapi kalian tidak memberitahu aku?" Jeane bertanya dengan nada menggugat.
"Aku tidak dapat menjawab pertanyaanmu itu," jawab Antonio.
"Kau memang tidak bisa menjawab pertanyaanku," Jeane bertolak pinggang, memandang dengan penuh cemooh pada Antonio. "Kau memang tidak bisa menjawab pertanyaan apapun kecuali kalau dia yang menyuruh atau mengizinkanmu. Mengapa kau tidak meminta izinnya untuk mencarikan sepasang ibu jari tangan untukku bermain main? Aku sudah lelah dengan ibu jari tanganku."
"Kau merasa jemu sekali, ya?"
"Jemu? Oh Tuhan, itu kesimpulan paling tolol yang pernah kudengar," Jeane mendengus dan memutar tubuhnya. Matanya bertemu dengan pandangan Baltasar yang tenang dan seperti tidak acuh.
"Tetapi bukankah dengan berjalan jalan.........," Antonio memulai.
"............. paling paling hanya menghabiskan waktu dua jam dalam sehari," Jeane memotong, menginterupsi. "Lalu apa yang harus aku kerjakan dalam dua puluh dua jam selebihnya? Dengan tidur melulu?"
Dengan muka geram, Antonio menarik napas dalam dalam dan sekilas melempar pandang pada boss nya, seolah olah meminta nasehat dari pria itu. Kemudian terjadilah percakapan dalam bahasa Spanyol antara ke dua pria itu. Jeane mendengarkan dengan tidak sabar.
"Bahh, saran apa yang diberikan oleh Robin Hood nya para bandit dan pembunuh itu?" tanya Jeane.
Sebuah senyum mengejek muncul di mulut Antonio, seperti dianggapnya ejekan Jeane itu sebagai sesuatu yang menggelikan. "Ia setuju bahwa terlalu banyak waktumu yang kau lewatkan dengan menganggur. Dan karena kau harus tinggal di rumah, maka ia memutuskan bahwa kau diberi tanggung jawab untuk membersihkan seluruh tempat ini dan membantu Estela di dapur, memasak makanan."
"What? Ia telah memutuskan!" Jeane hampir tercekik karena jengkelnya. "Sepertinya belum cukup ia menjadikanku sebagai tahanan di sini. Kini ia menuntutku untuk menjadi pelayannya pula.
"Tetapi kau harus mengakui bahwa dengan demikian akan lebih sederhana bagimu untuk melewatkan waktu," kata Antonio sambil tersenyum lebar. "Lagipula kau memang tinggal di sini kan? Minimal kau juga harus menyingsingkan lengan untuk mengurus pekerjaan di rumah ini."
"Oh ya? Oh ya?" Jeane melotot marah. "Biarpun sudah dibersihkan sebersih bersihnya, tempat ini masih merupakan tempat yang brengsek. Sedangkan untuk urusan masak memasak, aku tidak bisa masak dengan kondisi primitif di sini! Lagi pula, setiap masakan yang kusajikan untuknya, akan ku beri racun."
"Ia sudah mengambil risiko itu," Antonio menyingkirkan ancaman Jeane dengan suatu angkatan bahu.
"Estela tidak akan mau jika aku ikut membantunya di dapur," kata Jeane dengan sengit.
"Ia sudah mengambil keputusan. Jadi, kau akan tetap membantu Estela," Antonio berkata dengan nada final.
........................................................................
Ketika Estela diberitahu mengenai perubahan status Jeane, perangainya langsung meledak dengan kegarangan spontan. Baltasar menolak untuk mendengarkan protes wanita berambut coklat itu dan membungkamnya dengan kalimat ancaman.
Gencatan senjata yang rapuh di antara ke dua wanita itu telah hancur. Kebencian yang lahir dari rasa cemburu itu telah kembali dalam sorot mata Estela, ketika ia membagi pekerjaan mengurus rumah itu kepada Jeane. Ia menggerutu dan mencaci maki Jeane dalam bahasa Spanyol tiap kali Jeane tidak mengerti apa yang dikehendaki oleh Estela.
Pada waktu makan malam dipersiapkan di atas meja, ke dua pria itu bagaikan penonton sambil duduk di meja makan di dapur itu. Antonio mengawasi gerak gerik ke dua wanita itu dengan geli, sedangkan Baltasar memperlihatkan sikap acuh tak acuh.
Dengan kejengkelan mendidih dalam dadanya karena harus melakukan pekerjaannya sambil mendengarkan gerutuan gerutuan dan bentakan bentakan Estela, Jeane setengah membanting banting alat makan itu di atas meja. Matanya melotot ke arah Antonio yang menyaksikannya dengan tertawa geli.
"Ya Tuhan," Jeane menggumam dengan kesal. "Kalau wanita itu tidak berhenti membentak dan memakiku, akan kucekik dia. Katakanlah pada boss mu agar ia melakukan sesuatu untuk membungkam mulut wanita keparat itu, sebelum aku yang melakukannya untuk dia."
"Kendalikan dirimu! Kendalikan dirimu!" kata Antonio dengan berolok olok.
"Dalam waktu kira kira dua menit lagi kau akan menyaksikan sampai di mana pengendalian diriku!" Jeane berkata dengan gemas.
Serentetan kata kata bernada perintah meluncur dari mulut Estela. Jeane berputar dengan ke dua tangan dikepalkan di sisinya. Tetapi suatu bentakan dari Baltasar membuat Estela menutup mulut dengan suatu engahan napas. Mata hitam kelamnya berkilat kilat jahat ketika ia menyodorkan sepiring daging rebus dan pisau makan ke perut Jeane.
Setelah meletakkan piring itu ke atas meja, Jeane menyambar pisaunya. "Aku masih belum bisa memutuskan, kepada siapakah aku harus menggunakan pisau ini?" katanya dengan geram
"Kurasa Estela belum mengetahui bahwa tidak boleh mempercayakan sebilah pisau kepadamu," komentar Antonio dengan senyum di bibirnya.
Jeane membalas senyum itu dengan ramah. Tapi keramahan semu. "Tetapi kalau dipikir pikir.....kini aku tahu kepada siapa aku harus menggunakan pisau ini...... pada boss mu itu. Betapa ingin aku mencungkil hatinya dan menaruhnya di atas piring ini. Kemudian akan ku iris kecil kecil, atau kalau itu terlalu sulit karena alotnya, maka akan kupotong potong dengan sebilah kapak."
"Wah kau ini benar benar haus darah!" Antonio tertawa, ketika Jeane meletakkan mata pisau itu di atas sepotong daging.......
Jari jari tangan yang kokoh memegang tangan Jeane. Jeane menegang seketika Baltasar memindahkan tangan yang dipegangnya itu dan memberi petunjuk tentang cara mengiris daging tersebut.
"Gracias," kata Jeane dengan senyum yang berlebihan manisnya. "Aku benar benar lebih suka memotong motong hatimu menjadi irisan tipis tipis, hingga memerlukan waktu lebih lama," dengan kalimat itu Jeane mulai mengiris daging rebus itu di atas piring. Ia sempat memandang kepada Antonio, "Mengapa kau tidak menerjemahkan apa yang kukatakan?"
"Dan dengan demikian membuyarkan semua kesenanganmu?" balas Antonio dengan tertawa.
"Aku yakin ia tahu bahwa aku mengangggapnya seorang haram jadah yang sadis dan menjijikkan," jawab Jeane dengan dingin.
"Hati hati," Antonio memperingatkan.
"Kenapa?" tukas Jeane. "Ia tidak mengerti sepatah katapun yang aku ucapkan. Aku bisa mencaci maki dirinya sesuka hatiku."
"Tetapi kata yang satu itu kedengarannya hampir sama dengan bahasa kita," senyum pada bibir Antonio telah lenyap.
"Oh ya?" Jeane berpura pura heran. Ia mengalihkan pandangan kepada Baltasar dan memasang wajah semanis mungkin. "Aku tidak bersungguh sungguh ketika menyebutnya seorang haram jadah. Mungkin lebih tepat jika aku menyebutnya anak anjing betina."
Ternyata hal tersebut menjadi suatu permainan yang menyenangkan dan menggairahkan buat Jeane ketika ia bisa mencaci maki dan menghina Baltasar dengan menyembunyikannya di balik wajah yang santun dan senyum manis ketika ia mengucapkan umpatan umpatan itu. Tapi tidak tampak perhatian pada wajah yang sulit dijajagi dari Baltasar. Dan Antonio juga tidak menerjemahkan kalimat kalimat yang diucapkan Jeane.