Hana tak pernah menyangka hidupnya akan berubah drastis dalam semalam. Dari seorang mahasiswi yang polos, ia terjebak dalam pusaran cinta yang rumit. Hatinya hancur saat memergoki Dion, pria yang seharusnya menjadi tunangannya, selingkuh. Dalam keterpurukan, ia bertemu Dominic, pria yang dua kali usianya, tetapi mampu membuatnya merasa dicintai seperti belum pernah ia rasakan sebelumnya.
Dominic Lancaster bukan pria biasa. Kaya, berkuasa, dan memiliki masa lalu yang penuh rahasia. Namun, siapa sangka pria yang telah membuat Hana jatuh cinta ternyata adalah ayah kandung dari Dion, mantan kekasihnya?
Hubungan mereka ditentang habis-habisan. Keluarga Dominic melihat Hana hanya sebagai gadis muda yang terjebak dalam pesona seorang pria matang, sementara dunia menilai mereka dengan tatapan sinis. Apakah perbedaan usia dan takdir yang kejam akan memisahkan mereka? Ataukah cinta mereka cukup kuat untuk melawan semua rintangan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mamicel Cio, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Ayah?
Dion menatap Sarah dengan ekspresi gelisah. Mereka bertemu di sebuah kafe kecil di pinggiran kota, tempat yang jauh dari orang-orang yang mereka kenal.
Sarah duduk dengan wajah muram, tangannya menggenggam gelas kopi yang sudah mendingin. Matanya yang biasanya penuh percaya diri kini dipenuhi kemarahan dan kekecewaan.
"Aku gak akan menggugurkannya, Dion!" Suaranya bergetar, tapi penuh ketegasan.
Dion mengusap wajahnya dengan kasar. “Sarah, aku gak siap. Kita gak bisa punya anak sekarang. Aku bahkan gak yakin kalau aku mau menikah sama kamu!”
Mata Sarah melebar. “Jadi itu maksud kamu? Kamu cuma mau bersenang-senang, tapi gak mau tanggung jawab?”
Dion mengalihkan pandangannya, merasa terpojok. “Bukan gitu, Sar. Tapi kita masih muda, aku masih punya banyak rencana. Aku gak bisa punya anak sekarang.”
Sarah terkekeh sinis, lalu meletakkan telapak tangannya di perutnya yang masih rata. “Anak ini darah daging kamu, Dion. Dan aku gak akan membunuhnya hanya karena kamu takut kehilangan kebebasanmu.”
Dion menggertakkan giginya. “Kamu pikir ini mudah buat aku? Aku bahkan belum selesai ngurus masalahku sama Hana. Aku gak bisa terjebak dalam hubungan yang gak aku inginkan!”
Sarah mendengus marah. “Masalahmu sama Hana? Kamu masih berharap bisa balik sama dia?”
Dion terdiam. Dalam hatinya, ada penyesalan yang begitu besar. Seharusnya ia tidak pernah mengkhianati Hana. Seharusnya ia tidak pernah bermain api dengan Sarah.
Tapi sekarang semuanya sudah terlambat.
Sarah berdiri dengan mata berkaca-kaca. “Dengar, Dion. Aku gak butuh kamu kalau kamu gak mau bertanggung jawab. Tapi satu hal yang perlu kamu tahu, aku gak akan diam. Kalau kamu lepas tangan, aku akan pergi ke orang tua kamu. Aku akan bilang ke mereka kalau aku hamil anak kamu.”
Dion terkejut. “Sarah, jangan—”
“Terlambat.” Sarah tersenyum miring. “Kamu pikir kamu bisa lari? Aku gak akan membiarkan kamu hidup dengan tenang setelah ini.”
Dion merasa dunia mulai runtuh di sekelilingnya. Ia terjebak dalam kesalahan yang ia buat sendiri, dan kini, tidak ada jalan keluar yang mudah.
Hana masih berusaha menyesuaikan diri dengan perannya sebagai asisten pribadi Dominic Lancaster. Hari-harinya kini penuh dengan rapat, dokumen, dan jadwal yang padat.
Namun, ada satu hal yang membuat pekerjaannya jauh lebih berwarna, Dominic.
Pria itu tidak hanya menjadi atasannya, tetapi juga kekasih yang semakin sulit ditebak. Kadang serius, kadang menyebalkan, dan sering kali… terlalu manis.
Hari itu, setelah selesai menyiapkan laporan untuk presentasi besar Dominic, Hana membawa dokumen tersebut ke ruangannya. Ia mengetuk pintu dan mendengar suara berat Dominic dari dalam.
“Masuk.”
Hana masuk dengan langkah ragu, membawa berkas yang ia susun dengan rapi. Dominic, yang tengah duduk di kursinya, menatapnya dengan tatapan intens seperti biasa.
“Ini laporan yang akan Pak Domi butuhkan untuk rapat nanti.” Hana meletakkan dokumen di mejanya.
Dominic tersenyum tipis, lalu menarik pergelangan tangan Hana dengan lembut hingga gadis itu nyaris terjatuh ke arahnya.
“Pak Dominic!” Hana terkejut.
“Sayang, kenapa kamu masih manggil nama doang?” Dominic berbisik di telinganya, membuat bulu kuduk Hana meremang. “Aku lebih suka kalau kamu manggil aku… sesuatu yang lebih mesra.”
Hana berusaha menarik tangannya, tetapi Dominic malah mempererat genggamannya.
“Sayang, lepas…” bisik Hana, wajahnya mulai memanas.
Dominic tertawa kecil. “Itu baru sedikit lebih baik.”
Hana mendelik, tetapi sebelum ia bisa berkata lebih banyak, Dominic tiba-tiba mencuri ciuman di bibirnya. Singkat, cepat, tetapi cukup untuk membuat wajah Hana memerah seketika.
“Pak Dominic!” Hana menutup mulutnya dengan tangan, menatapnya dengan mata membulat.
Dominic hanya menyeringai. “Apa? Aku kan pacar kamu.”
Hana tidak bisa berkata-kata. Sementara Dominic, dengan santainya kembali bersandar di kursinya, seolah-olah tidak melakukan kesalahan apa pun.
“Sekarang, lanjut kerja, sayang. Aku masih butuh banyak laporan dari kamu.”
Hana menghela napas panjang. Bekerja sebagai asisten Dominic Lancaster bukan hanya melelahkan, tapi juga penuh godaan yang membuat jantungnya bekerja lebih keras dari biasanya.
Hana masih berusaha menenangkan degup jantungnya setelah ciuman singkat dari Dominic. Ia merapikan dokumen di meja, mencoba mengalihkan pikirannya dari pria itu. Namun, detik berikutnya, pintu ruangan Dominic terbuka tanpa aba-aba.
Namun, tiba-tiba—
Brak!
Pintu ruangan terbuka dengan kasar. Seorang pria masuk dengan langkah cepat, wajahnya penuh amarah.
Dion.
Hana terkejut melihat mantan kekasihnya berdiri di sana, matanya penuh dengan kemarahan dan emosi yang tak bisa dijelaskan.
Dominic mendongak dari kursinya, matanya mengerut tajam.
"Apa yang kamu lakukan di sini?" suara Dominic terdengar dingin.
Dion menghela napas panjang, ekspresinya penuh kemarahan dan kebencian.
"Kita perlu bicara," katanya dengan nada tajam.
Hana hanya bisa menatap keduanya, perasaan aneh mulai merayapi dirinya. Ada ketegangan di udara, sesuatu yang membuat dadanya tiba-tiba terasa sesak.
"Dion, kenapa kamu di sini?" tanya Hana, suaranya bergetar.
"Hana? Apa yang kamu lakukan di sini?" Dion menoleh ke arahnya, sorot matanya penuh keterkejutan.
Hana menggigit bibirnya. "Aku… aku bekerja di sini."
Dion menatapnya tajam, lalu beralih ke Dominic dengan tatapan penuh tuduhan.
"Kamu pacaran sama dia?" suara Dion meninggi, penuh kemarahan yang tertahan.
Hana terperangah. "Dion, kenapa kamu—"
"Ayah, aku gak nyangka ayah sebrengsek ini!" Dion tiba-tiba meledak.
"Ayah?" Hana merasa tubuhnya lemas, otaknya berusaha memproses apa yang baru saja didengarnya. Ia menatap Dominic dengan mata melebar, mencari penjelasan di wajah pria itu.
Dominic tidak langsung menjawab. Wajahnya mengeras, rahangnya mengatup, tetapi sorot matanya mengisyaratkan sesuatu yang selama ini ia sembunyikan.
"Hana..." Dominic akhirnya berbicara, suaranya lebih pelan dari biasanya.
Hana menggeleng, air mata mulai menggenang di matanya.
"Kamu... ayahnya Dion?" suaranya bergetar.
"Jadi kamu gak tahu?" Dion menatap Hana dengan sorot penuh luka.
"Aku... aku gak tahu..." Hana menggeleng cepat, tangannya mencengkeram sisi meja untuk menahan dirinya agar tidak jatuh.
"Aku bisa jelaskan." Dominic menghela napas, lalu berdiri dari kursinya, mencoba mendekat ke Hana.
"Tidak! Jangan sentuh aku!" Hana mundur, suaranya meninggi. "
Dominic menghentikan langkahnya. Matanya kini penuh dengan sesuatu yang belum pernah Hana lihat sebelumnya, penyesalan.
Hana merasa seluruh dunianya runtuh.
Pria yang dicintainya, yang memberinya harapan baru, ternyata adalah ayah dari pria yang paling ingin ia lupakan.
Dion tertawa kecil, tetapi tidak ada kebahagiaan dalam tawa itu. "Lucu, ya? Dunia ini kecil sekali. Ayahku ternyata pacaran sama mantan aku sendiri."
Hana tidak sanggup lagi mendengar kata-kata Dion. Napasnya terasa sesak, tubuhnya bergetar.
"Aku... aku harus pergi," bisiknya, lalu berbalik dan berlari keluar ruangan, meninggalkan Dominic dan Dion dalam keheningan yang menyesakkan.
Dominic mengepalkan tangannya. Ia tidak menyangka semuanya akan terbongkar seperti ini.
Dion menatap ayahnya dengan sorot mata penuh kebencian.
"Kamu benar-benar luar biasa, ya. Kamu bukan hanya ayah yang gak pernah ada dalam hidupku, sekarang kamu juga merebut orang yang dulu aku cintai." desisnya.
Dominic tidak menjawab. Ia hanya menatap pintu yang baru saja ditinggalkan Hana, merasakan dadanya sesak oleh sesuatu yang belum pernah ia rasakan sebelumnya, takut kehilangan.
Bersambung...