Bukan ingin Elea terlahir dari rahim seorang istri siri yang dicap sebagai pelakor, sejak sang ibu meninggal, Eleanor tinggal bersama ayah kandung dan istri sah sang ayah.
Sejak kecil ia tak merasakan kasih sayang dari ayah kandungnya, tinggal di rumah mewah membuatnya merasa hampa dan kesepian. Bahkan dia dipekerjakan sebagai pelayan, semua orang memusuhinya, dan membencinya tanpa tahu fakta yang sebenarnya. Elea selalu diberikan pekerjaan yang berat, juga menggantikan pekerjaan pelayan lain.
"Ini takdirku, aku harus menerimanya, dan aku percaya bahwa suatu saat nanti Ayah bisa menyayangiku." Doa Elea penuh harap.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nopani Dwi Ari, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab.28
Kunci hubungan agar sukses adalah, kepercayaan, komunikasi dan saling menyayangi.
Widya menatap Bara yang sedang menatap kosong, setelah bercerita pada Widya dan Rudi. Bara mendapatkan wejangan dari Widya, agar menyelesaikan hubungannya dengan Tiana.
Bagaimana pun, membawa masa lalu dan memikirkannya tidak baik untuk masa depan.
"Iya, Ibu benar. Sepertinya Tiana masih belum terima karena aku putuskan secara sepihak," ujar Bara, menyandar ke sofa. Berharap Elea tidak mendengar pembicaraan mereka. Namun, Bara salah Elea sudah mendengarkan semuanya.
Bahkan firasatnya benar, jika Bara ke rumah sakit menjenguk Tiana tanpa izin darinya. Elea mengusap air matanya, yang mengalir tanpa permisi.
"Mbak Elea, mbak nangis ya?" tanya Mita, saat Elea mengusap pipinya.
"Engga kok, aku lagi potong bawang merah perih." Kekeh Elea, mengerjapkan matanya. Beruntung dia memang sedang memotong bawang merah.
Dimana si pemotong yang menangis, padahal dia yang dilukai.
"Sudah biar saya saya, Mbak. Mbak istirahat saja," titah Mita, Elea menggeleng menolak untuk ke kamar. Di kamar dia malah semakin sedih.
"Enggak, aku gak apa-apa kok. Aku mau nyiapin sarapan buat suami aku," ujar Elea, kembali sibuk dengan pekerjaannya. Mita pun tidak bisa memaksa Elea, dan memilih untuk membantu saja.
Kembali ke Bara dan kedua orang tuanya, setelah berbincang sebentar. Bara memutuskan untuk bersiap, saat dilihat jam menunjukan pukul enam.
Berat rasanya dia pergi, sementara Bara harus menemui Tiana lebih dulu.
"Elea sayang," panggil Bara, saat melewati dapur.
"Iya, ada apa?"
Elea menatap Bara, yang tersenyum manis. Selalu tampan setiap hari.
"Kamu ikut aku, ke kantor yah!" pinta Bara, dia yakin Bima tidak akan mempermasalahkannya.
"Hah, ikut? Kenapa?"
"Gak apa-apa, aku kangen dan sedikit pusing." Bohong Bara, dia memeluk Elea.
"Aku ingin bermanja sama kamu." Bisik Bara, dan mendapatkan sikutan di perutnya.
"Kantor bukan tempat bermesraan, Mas." Omel Elea.
"Aku gak mau ikut." Tolak Elea.
"Sayang ayolah, aku mau kamu ikut. Kalau aku pingsan gimana?" tanya Bara dengan lirih, dia membuat wajahnya seperti tersiksa.
Huh!
"Astaga suamiku," batin Elea, melihat wajah memelas Bara.
"Ya sudah, aku mau ikut. Tapi dengan syarat gak boleh gituan," ucap Elea dengan pelan.
"Gak janji," sahur Bara, dia memeluk sang istri dengan erat. Lalu mengajak Elea ke kamar untuk bersiap, sementara untuk sarapan dan bekal Elea serahkan pada Mita dan Mbok Wati.
****
Pagi ini Tiana bangun dengan hati bahagia, karena tak sabar untuk bertemu dengan Bara.
"Kelihatannya, ada yang senang nih!" celetuk Mala, saat masuk membawa sarapan untuk Tristan, Tiana dan dirinya.
"Mama." Tiana salah tingkah, saat ketahuan oleh Mala.
"Apa yang membuatmu, bahagia?" tanya Mala.
"Bara, hari ini dia akan datang. Ma, aku senang," ungkap Tiana.
"Baiklah, kalau begitu lebih baik kamu sarapan dulu. Terus minum obat, biar cepat sembuh." Ujar Mala, tak sekali pun setelah sadar dari komanya. Tiana menanyakan Bima, dia juga samar pernah mendengar seorang lelaki berbicara kepadanya.
Satu jam berlalu, setelah sarapan Tiana menunggu Bara yang tak kunjung datang. Padahal tadi dia berjanji akan datang.
"Kemana sih, Bara." Tiana mulai, kesal dan kini nomor ponsel Bara sulit dihubungi.
"Tenang Tiana, tenang kamu tidak boleh emosi. Tarik nafas buang, tarik nafas buang." Ucap Tiana, dia mencoba berpikir positif bahwa Bara sedang sibuk.
"Ya mungkin dia sibuk." Ucapnya meyakinkan dalam hati.
***
Elea sendiri sungguh dibawa ke kantor oleh Bara, dan disinilah dia sekarang. Di ruangan Bara, sedang menatap suaminya bekerja.
"Mas, aku bisa bosan nanti." Keluh Elea, kalau dirumah dia bisa berkebun dengan Ibu mertuanya.
"Kalo bosan sini." Bara menepuk pahanya, agar Elea duduk di pangkuannya. Membuat Elea berdecak dengan kesal.
"Jangan macam-macam, sayang." Omel Elea.
"Aku udah setuju buat ikut, tapi tidak dengan hubungan itu." Ucap Elea dengan tegas.
"Baiklah sayang, jangan marah. Kalau marah nanti cantiknya hilang," goda Bara.
"Au ah." Elea memutuskan untuk bermain game yang ada di ponselnya.
Ruangan Bima.
"Bagaimana keadaan, Kakakmu. Tristan?" tanya Bima.
"Kakak baik Pa, dia sudah lebih baik sekarang. Tapi..." Tristan ragu ingin menceritakan pada Bima, tentang Bara yang sering datang ke rumah sakit.
Tristan mengalihkan pembicaraan, agar Bima tak banyak bertanya tentang Tiana. Tristan juga memberitahu bahwa sore ini atau besok, mungkin Tiana akan pulang.
"Semoga saja Mamamu izinkan, Papa menjemput kakakmu." Katanya menatap kosong.
"Ya sudah Pa, aku pulang dulu. Nanti kalau ada apa-apa atau butuh bantuan, Tristan siap kok."
"Iya."
Bima menepuk pundak anak lelakinya, Tristan pun menyalami Bima dan keluar dari ruangan Bima. Saat Tristan akan masuk lift, dia menatap gadis dengan pakaian office girl. Yang menunduk tajam, sepertinya lantai tujuannya sama.
"Kamu baru, disini?" tanya Tristan.
"Eh, i_iya, Pak. Saya baru disini," jawabnya masih dengan menunduk, Tristan pun mengangguk.
"Kenapa juga gue peduli pada office girl , gak banget." Ucap Tristan dalam hati.
"Ish, kenapa lagi nih gue? Masa jatuh cintai." Tristan menggeleng dengan santai, dia tidak akan berpacaran karena menurutnya sepasang kekasih yang menjalin komitmen terlalu rumit.
Banyak teman-teman Tristan nampak frustasi, jika ditanya kenapa? Maka mereka akan menjawab.
Cinta itu gila, menyilaukan, membuat lemah tapi kadang bisa menguatkan dalam kondisi apapun.
Bersambung...
maaf typo