Pesona Janda Sultan

"Kau!?"

Jayden berseru seraya terkesiap dalam waktu bersamaan. Jari telunjuknya menunjuk tegas tepat ke arah sosok Kaivan yang baru saja hadir menyeruak di tengah momen pengakuan cintanya pada Sofia.

"Ch! Aku tahu bahwa kau bukan paman Sofia melainkan suami kontrak yang menyia-nyiakannya bukan?" tuduh Jayden.

"Jangan sembarang berucap jika tidak mengetahui fakta yang sebenarnya, Jayden Baldwin," ancam Kaivan tak gentar.

Pria keturunan konglomerat itu menahan mati-matian amarah imbas ucapan Jayden yang nyatanya adalah fakta. Kedua tangan Kaivan terkepal kuat. Selain tak bisa bisa mengeluarkan amarah, dadanya juga dipadati oleh cemburu hebat karena melihat wanita yang ia cintai lebih memilih pergi dengan pria lain di tengah kencan.

"Hentikan kalian berdua!" titah Sofia terdengar sedikit menyentak.

"Maaf, jika aku pergi tanpa ijin padamu, Kai." Sofia menatap Kaivan dengan penuh penyesalan. "Ada situasi krusial yang terpaksa membuatku meninggalkanmu tadi," tambah sang puan. Kedua tungkai pun Sofia langkahkan untuk memangkas jarak antara dirinya dan Kaivan.

"Maukah kau memberiku ruang kali ini? Kau percaya padaku, bukan?" Kedua netra bulat Sofia saling tatap intens dengan milik Kaivan. Seakan ada ikatan kuat di sana.

"Aku tak akan pernah meragukanmu lagi, Sofia. Aku akan menunggumu di mobil," balas sang mantan suami dengan mantap.

Bukan tak terima Sofia berduaan dengan Jayden. Hanya saja, Kaivan memilih untuk mempertanyakan apapun dan percaya kepada wanita yang dicintainya saat ini. Pria itu yakin jika memang hati Sofia untuknya sudah pasti sang puan akan kembali ke dalam pelukan.

"Mengapa kau berbohong kalau kau sudah–"

"Kau baru saja melanggar pernyataanmu sendiri tentang tak akan mempertanyakan apapun, bukan?" Sofia memicingkan netranya ke arah Jayden yang baru saja hendak protes.

"Ergh ... baiklah, maafkan aku."

Sofia meminta Jayden untuk tenang sejenak dan mendengarkan apa yang hendak ia ungkapkan. Sang pria pun manut dan mulai memasang kedua indera pendengaran dengan saksama serta netra yang tak beranjak dari wajah cantik nan teduh milik Sofia.

Pertama-tama, sang puan membenarkan bahwa Kaivan adalah mantan suaminya dan meminta maaf karena pada saat itu ia yang baru saja diterima bekerja tidak ingin mengecewakan perusahaan sehingga terpaksa menutupi statusnya.

Sofia lantas beralih pada topik selanjutnya, yakni pinangan Jayden untuk menikah. "Jujur saja, aku tidak bisa menerima lamaranmu, Jay. Maafkan aku ...." Sofia menatap lara ke arah pria tampan di hadapannya.

Sementara itu, tak ada jawaban dari sang pria selain hembusan napas keduanya yang menyatu dengan semilir angin di dataran cukup luas tepi sungai Banpo.

"Mengapa, Sof? Kukira ... kita memiliki chemistry kuat saat ci*man itu terjadi," tutur Jayden terdengar gamang disertai raut pilu.

"Aku ... hanya sedang terbawa perasaan itu. Ditambah dengan hormon kehamilanku sedang memuncak, Jay. Maaf jika terkesan memanfaatkanmu."

"Kalau begitu tak apa jika aku dimanfaatkan. Aku yakin cintamu padaku akan tumbuh seiring berjalan waktu." Jayden merajuk setengah memaksa. Kedua tangannya menggapai pundak sang puan kali ini, berusaha meyakinkannya.

Namun, sayang. Beberapa kali Jayden merajuk, Sofia tetap menggelengkan kepala walau sebenarnya berat. Gelora rasa di dada saat bersama Jayden memang nyatanya pernah singgah, akan tetapi rasa itu lebih terkesan kepada hasrat semata bukan perasaan cinta seperti saat ia bersama dengan Kaivan.

"Jay, please. Aku bukanlah type wanita yang bisa menyembunyikan rasa. Dan yang kurasakan padamu hanyalah hasrat semata ... bukan cinta." Sofia kembali menatap dalam netra sang CEO muda. "Aku mencintai pria lain."

"Tidak. Aku—"

DRTTT!

Ucapan Jayden mendadak terjeda oleh getar ponsel yang ada di dalam saku celana. Ia pun segera menggeser tombol hijau karena panggilan berasal dari sang kakak yang kini ada di rumah sakit—menunggu Jihan Baldwin yang tengah menjalani prosedur operasi.

Tak terlalu jelas apa yang mereka bicarakan, Jayden hanya bergumam singkat dan lalu kembali menutup panggilan.

"Tunggulah aku, Sofia. Aku akan menyelesaikan urusanku dulu. Setelah itu, akan kupastikan hatimu kudapatkan." Jayden membelai lembut wajah sang puan. Tak lama, ia pun pamit dan berlalu.

"Aku akan segera menikah."

DEG!

Belum terlalu jauh, langkah Jayden seolah dipaksa terhenti sesaat setelah pernyataan Sofia barusan. Tanpa menoleh tubuh pria itu mulai gemetar.

"Lupakanlah aku. Kau berhak bahagia dengan wanita terbaik." Atmosfer di sekitar keduanya mendadak berubah pilu. Dengan susah payah Jayden membalikkan tubuh, menghadap wanita yang ia cintai.

"Kau ... tidak serius, bukan?"

"Aku serius. Aku akan menikah ulang dengan mantan suamiku. Jadi ... lupakanlah aku."

Kedua pasang manik Jayden mulai berkaca-kaca disertai harapan yang terjun bebas. Seiras itu, Sofia mulai meninggalkan sosok Jayden yang memutuskan untuk tetap mematung di tempat. Memandangi punggung wanita yang tak akan pernah menjadi miliknya karena cinta sang pria yang tak berbalas.

...***...

Seusai percakapan dengan Jayden, Sofia kembali ke tempat dimana Kaivan menunggu di dekat mobil sedan mewahnya. Dapat terlihat dengan jelas raut datar tak terbaca dari mantan istrinya. 

"Kau ingin membicarakannya?" tanya Kaivan sangat hati-hati ketika Sofia semakin memangkas jarak menuju ke arahnya.

Tak merespon dengan ucapan, Sofia malah  menyusupkan diri ke dalam tubuh kekar mantan suami.

Rona merah semu spontan menguar di pipi Kaivan selang tak berapa lama. Betapa ia sangat ingin mendakap tubuh mantan istri yang telah membuat sang pria jatuh cinta sedalam-dalamnya. Tak membuang waktu lama, kedua tangan kekarnya mengeratkan dekapan.

"Apa penawaranmu masih berlaku?" tanya Sofia tiba-tiba.

"Penawaran?" Kaivan mengulang salah satu ucapan wanitanya. "Maksudmu?"

"Ayo kita menikah ulang, Kai."

"Apa?!" Kaivan terkejut bukan kepalang saat wanita yang didekapnya memberi jawaban untuk menikah ulang. Pria itu spontan melerai pelukan dan menatap penuh antusias ke arah Sofia. "Kau bersungguh-sungguh?"

"Asal kau berjanji tidak akan pernah mengecewakanku seperti saat kita menikah dulu."

Satu ciuman kilat mendarat tepat di bibir mungil Sofia.

"Aku berjanji bahwa tidak akan pernah menyia-nyiakanmu, Sofia Wilson. I love you with all my life."

"I love you too, My ex husband and my husband to be."

Sunggingan kebahagiaan merekah paripurna dari kedua insan yang tengah di mabuk cinta. Saking merasa bahagia tiada tara, Kaivan spontan menggendong tubuh mungil Sofia walau banyak orang lalu lalang di tepi jalan sore itu.

"Turunkan aku, Kai. Kau tidak lihat di sini banyak yang orang," protes Sofia.

"Ch. Kau pikir aku peduli." Kaivan berdecih tanpa mengalihkan pandangan. "Hanya kau yang terlihat saat ini, Sofia."

Keduanya kembali terlarut dalam atmosfer romantisme. Bagai dunia milik berdua, jarak antara mereka pun perlahan terkikis saat Sofia dan Kaivan memutuskan untuk menautkan belah ranum masing-masing dalam satu lum***n penuh sensasi.

Beberapa saat kemudian.

Setelah interaksi menggairahkan di luar tadi, keduanya memutuskan untuk segera kembali ke hotel. 

Pintu kamar pun dibuka kasar oleh Kaivan, seolah tak ingin melepaskan tautan bibirnya dengan Sofia. Ya, keduanya melanjutkan kegiatan melepaskan hasrat yang sempat terhenti saat di perjalanan menuju kamar hotel tadi.

Gelora yang masih menggebu-gebu membawa keduanya pada aksi yang lebih panas. Sofia mulai membantu menanggalkan kaos polo yang mantan suaminya kenakan dengan penuh urgensi. Hal yang sama dilakukan oleh sang mantan suami. Belah ranum Kaivan mulai menjelajah menci*mi ceruk sang wanita dan semakin turun ke bawah. Imbas aksi Kaivan, des**an manja mulai menguar dari bibir sang puan. 

"Sofia , I Love you," ungkap Kaivan di tengah napas yang terengah.

"Then take me. I want you, Kai."

Keduanya pun kembali melanjutkan aksi liar kali ini hingga tak terkendali.

...***...

Keesokan harinya.

Sofia mulai mengerjapkan netra perlahan.

"Aa ...."

Sang puan melenguh kesakitan imbas tubuh terasa pegal dan sakit saat menggeliat.

"Jangan banyak bergerak dulu, Sayang." Nyatanya, Kaivan sudah siaga di sebelah sang puan, memegangi tubuh Sofia yang hanya berbalut selimut putih. "Maaf, jika semalam aku terlalu—"

"Shuh!" Sofia menempatkan jari telunjuk untuk menghentikan permintaan maaf dari mantan suaminya itu. "Kau tidak perlu minta maaf, Kai. Malam tadi sangat mengagumkan," lanjutnya memuji malam panas bersama Kaivan diiringi sunggingan tipis.

Mendengar hal itu, Kaivan merasa lega dan lekas memeluk erat Sofia. 

"Kalau begitu, mari segerakan pernikahan kita," ajak Kaivan antusias. "Katakan ... kau ingin menikah dengan tema apa? Aku akan memberikan seluruh dunia padamu."

Sofia terkekeh geli imbas ajakan antusias sang mantan suami. Di sisi lain, tak dapat dipungkiri hatinya sedang berunga karena pada akhirnya, ada pria yang benar-benar mencintai Sofia dengan sepenuh hati.

"Aku tidak mempermasalahkan tema pernikahan, Kai. Sederhana pun tak apa asalkan ...."

"Asalkan?"

"Sebelum menikah, aku ingin memberitahu hal yang sebenarnya kepada keluargamu." Sofia melerai pelukan dari tubuh kekar yang hanya berbalut selimut. "Aku ingin pernikahan kita kali ini dilandaskan atas kejujuran."

"Baiklah. Jika itu yang kau mau, kita akan memberitahu keluargaku setelah pulang dari Korea," tegas Kaivan menyetujui ide Sofia.

Semoga mama tidak marah besar jika mendengar pernikahanku dan Sofia yang sebelumnya hanyalah sebatas kontrak.

...***...

Singapore.

Demi terlaksananya pernikahan ulang, Sofia dan Kaivan memutuskan untuk pulang lebih cepat. Mereka langsung menuju kediaman orang tua Kaivan sesuai dengan rencana Sofia yakni menceritakan kebenaran di balik pernikahan sebelumnya. 

Beruntung, Amber Mahacara—ibu Kaivan yang dirawat di rumah sakit telah pulih dan diperbolehkan pulang ke rumah.

"Ada yang ingin kami bicarakan, Ma."Kaivan dan Sofia sama-sama menghadap Amber di kamar wanita paruh baya itu.

Mengapa tampang putraku dan menantu terlihat tegang? Ah ... jangan-jangan menantu sebenarnya sedang mengandung, Amber membatin seraya menerka-nerka.

"Aku minta maaf sebelumnya, Bu. Pernikahanku dan Kaivan sebenarnya tak lebih dari sebuah pernikahan kontrak," aku Sofia to the point.

"A-pa maksudmu, Menantu?"

"Sedari awal. Pernikahan kami tidak lebih dari hitam di atas putih yang memiliki jangka waktu," timpal Kaivan lirih.

"Jadi selama ini kalian membohongiku?" Respon marah besar terlihat jelas dari raut wajah keriput Amber.

"Uhm ... ijinkan aku untuk—"

"Dan kau Menantu, berani-beraninya kau membohongiku!" tegas Amber menyela ucapan Sofia.