Sinta tidak tahan lagi dengan perlakuan tidak baik dan semena-mena oleh Ayah dan keluarganya, terlebih mereka selalu menghina Ibunya.
Sinta yang awalnya diam saja, sekarang tidak lagi. Dia akan membalas sakit hati Ibu nya kepada orang-orang yang sudah menolehkan luka di hati Ibu.
Apa yang akan Sinta lakukan untuk membalaskan luka sakit hati sang Ibu?.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kim Yuna, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Part 3 Modal Usaha
"Wah beneran juga nih kak, jadi tambah banyak kayaknya kalau di satuin." ujar Bayu dengan mata berbinar.
Lalu kami bertiga menghitung uang dari dua celengan itu. Uangnya beraneka ragam ada yang merah muda, hijau, coklat bahkan beberapa lembar uang berwarna biru.
"Ini total semua nya ada empat juta. Ibu salut deh sama kalian. Kok kalian bisa sih nabung sebanyak ini?." Puji Ibu pada kami.
"Ini Bayu nabung nya dari smp kelas 1. Makannya banyak." Jawab Bayu dengan bangga.
"Maafkan Ibu yah suatu saat nanti pasti Ibu ganti uang kalian. Terima kasih karena kalian Ibu bisa kuat sampai saat ini, Ibu janji mulai sekarang Ibu tidak akan diam saja di perlakukan tidak baik oleh Ayah atau keluarganya." ucap Ibu dengan mata berkaca-kaca.
"Tidak apa-apa bu kami ikhlas kok membantu Ibu. Tidak usah Ibu pikirkan untuk mengganti uang kami. Yang penting uang kita gunakan sebaik mungkin untuk modal usaha. Bagaimana kalau kita jual gorengan aja Bu? soalnya rata-rata teman-temanku pada malas ke kantin jadi otomatis kalau kita jualan pasti laku." Aku memberikan usul kepada Ibu karena Ibu pandai membuat jajanan atau kue dan rasanya sangat enak.
"Oke, kalau begitu. Kapan kita mulai jualan?." tanya Ibu.
"Lebih cepat lebih baik Bu, Bayu juga mau bantu. Emang cuman kakak saja yang bisa bantuin Ibu, Bayu juga bisa!." ucapnya sombong.
"Huh ikutan aja." ejek ku.
"Udah-udah kalian anak-anak Ibu emang paling baik. Ibu sangat bangga memiliki anak seperti kalian." ucap Ibu sembari tersenyum.
"Bagaiman kalau mulai besok kita jualan nya bu? Sekarang kita list barang-barang kebutuhan yang akan kita buat." ucapku pada Ibu.
"Yah sudah baik nya gimana, Ibu ikut saja." Jawab Ibu.
Akhirnya aku dan Ibu berpikir apa yang akan kita jual dan kami buat untuk besok. Aku sangat senang bisa melihat Ibu tersenyum seperti ini. Semoga Ibu selalu sehat, panjang umur dan bisa terus tersenyum.
"Ya sudah sekarang kita belanja ke grosir, Bu. Aku panaskan dulu motor, Ibu siap-siap aja!." ucapku pada Ibu. Bayu sudah pergi entah kemana, mungkin kebelet kali karena dia tadi terburu-buru.
Aku berjalan ke teras rumah hendak memanaskan motor sambil menunggu Ibu bersiap-siap.
Setelah selesai Ibu keluar dari rumah, "Ayo Sin, kita belanja ke grosir depan!."
Aku dan Ibu pun belanja ke grosir yang tak jauh dari rumah kami, karena kebetulan rumah kami dekat dengan jalan raya, tinggal keluar kompleks sudah masuk jalan raya besar dan di sana banyak grosir dan jajan-jajanan.
Setelah sampai di grosir Aku membiarkan Ibu memilih dan membeli bahan-bahan yang di butuhkan, tidak butuh waktu lama Ibu sudah selesai membeli bahan untuk keperluan jualan besok karena sebelum nya Ibu sudah meng list bahan-bahan yang di butuhkan.
"Sudah selesai Bu?." tanyaku.
"Sudah, mungkin kamu nanti dua kali balikan soalnya barang yang Ibu beli sangat banyak. Ga papa kan, Nak?." tanya Ibu.
"Ngga papa Bu. Ini aku bawa ke rumah dulu yah?." tanyaku.
"Iyah." Jawab Ibu. Aku pun melajukan kendaraan roda dua untuk pulang ke rumah duluan. Barang-barang aku ikat di jok belakang dengan tali yang kebetulan aku bawa dari rumah.
Sepuluh menit aku tiba di rumah, kulihat Nenek melihatku di teras. Mungkin ia penasaran dengan apa yang aku bawa.
"Bawa apa kamu, Sin?." tanya Nenek.
"Kepo." jawabku berlalu membawa barang masuk ke dalam rumah.
Aku sekilas wajah Nenek tampak kesal, saat aku kembali ke depan dan hendak melajukan motor.
Nenek berseru "DASAR ANAK KURANG AJAR!, SINI KAMU!." teriaknya sambil memegang gagang sapu hendak menghampiriku.
Namun aku tidak memperdulikannya, kemudian melajukan motor dengan sangat kencang. Tepat saat Nenek mendekat, asap knalpot motor ku mengenai wajah Nenek. Aku hanya bisa tertawa di jalan.
Setibanya di grosir, Ibu berdiri menungguku lalu membawa sisa barang yang belum aku bawa.
"Ibu belikan makanan matang untuk kita bertiga, karena Ibu hari ini nggak masak." seru Ibu seraya naik ke boncengan.
"Iyah Bu."
.
.
.
Setibanya di rumah, sudah ada Nenek yang tampak marah ia berkacak pinggang melotot ke arah ku saat aku tiba di halaman rumah.
"Wah wah bisa-bisanya kalian belanja banyak seperti ini. Kalian harus menanggung semua biaya dokter yang telah saya keluarkan untuk pengobatan Adel. Kamu harus tanggung jawab Sinta!." sergah Nenek. Kulihat Tante Adel keluar rumah dengan wajah sebelah kiri di perban. Tante Adel menatap ku tajam tapi tidak berbicara apapun.
"Bu denger suara nenek-nenek nggak? kok ada suara nya nggak ada wujudnya? Apa mungkin demit yah yang mau keluar menjelang maghrib?. Lebih baik kita cepat masuk ke dalam Bu! takut sawan kayak orang di rumah sebelah." Aku sengaja mengejek Nenek agar darah tinggi nya kumat.
"Dasar anak edan, kamu pikir Nenek mu ini hantu?." Nenek berteriak-teriak tidak tahu malu. Aku dan Ibu cuek saja masuk ke dalam rumah.
"HEI IPAH, AJARI TUH ANAK MU BIAR SOPAN SAMA ORANG TUA!." teriak Nenek yang masih bisa ku dengar di dalam rumah.
Krieeet...
"Kalian habis dari mana? berbelanja? uang dari mana?." cerca Ayah dengan banyak pertanyaan saat kami sudah masuk ke dalam rumah. Ia sedang duduk kursi dengan bersidekap tangan di dada menatap Aku dan Ibu dengan wajah penuh penasaran.
"Yang pasti bukan uang Mu." cemoh ku.
Ayah sontak berdiri hendak menghampiriku namun dihalangi oleh Ibu.
"Anak kurang ajar!." teriak Ayah seraya menatapku tajam.
Aku pun membalas tatapan nya tanpa rasa takut.
"Sudahlah Ayah tidak ingin berdebat," ucapnya lalu ia duduk kembali.
Aku tersenyum penuh kemenangan. Sinta di lawan, aku mengalihkan pandangan ke arah Ibu. Ibu seperti berbicara padaku dengan nada pelan. "Sudah, cukup."
Baiklah mungkin sudah cukup, lain waktu aku pasti akan berdebat lagi dengan Ayah. Dan aku pastikan aku akan menang.
"Oh yah Ipah, buatkan aku makanan. Aku sedang ingin makan ikan bakar dan tumis kangkung. Cepetan buatkan nggak pake lama!" titah Ayah pada Ibu.
Aku kembali kesal dan gemas melihat Ayah yang selalu bersikap seenaknya pada Ibu.
"Tidak ada makanan untukmu, Mas. Orang hari ini kamu tidak memberiku uang belanja untukku."
"Ini nih yang bikin aku muak sama kamu, di pikiran kamu tuh uang, uang terus. Mending kamu minta uang bisa bikin kamu jadi cantik terawat, seperti Adel. Ini malah kucel udah kayak Babu." Aku terkejut mendengar hinaan Ayah untuk Ibu. Yang aku heran kenapa Ayah malah membawa-bawa Tante Adel, emang sih Tante Adel cantik terawat tapi bukan berarti Ayah bisa menghina Ibu seperti itu.
Saat aku ingin membalas ucapan Ayah, Ibu sudah lebih dulu berbicara.
"Kenapa kamu membanding-bandingkan ku dengan Adel. Ya jelas Adel bisa perawatan karena Zainal memberi uang padanya cukup banyak. Lah ini ngasih uang belanja aja pas-pasan belum untuk membayar sekolah anak-anak jadi jangan bandingkan dengan istri yang suaminya becus menjadi kepala rumah tangga." ucap Ibu dengan nada tegas tanpa takut kepada Ayah.
Aku salut dan cukup senang dengan perubahan dan tindakan Ibu. Ibu benar-benar menepati janji nya untuk melawan dan tidak diam saja saat di tindas oleh Ayah atau keluarganya.
.
.
.
Bersambung
biarkan adik ayahmu yg mmbalas perbuatan bejat mereka sinta