Gagal menikah karena calon suaminya selingkuh dengan sesama jenis, ternyata membuat Bulan tidak lagi menyukai laki-laki bertubuh atletis seperti yang telah menjadi kesukaannya. Dia bahkan menganggap laki-laki bertubuh kekar semua sama seperti Andra, mantan tunangannya.
Lalu ia dikirim ke rumah kakak dari sang ibu, dan bertemu dengan Samudra Biru, sepupu yang sama sekali tak dilirik Bulan karena traumanya terhadap laki-laki. Berbeda dengan Samudra Biru yang ternyata juga dosen Bulan di kampus, Biru menyukai Bulan dengan segala keanehannya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon alfajry, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pelanggan Pertama Wina
Mobil Biru berhenti di depan rumah. Bulan membuka mata, dia tidur sepanjang jalan tadi. Mungkin karena beberapa hari ini resto sangat ramai, hingga tidak ada waktu baginya untuk sekedar merenggangkan otot-ototnya.
"Keluar duluan, di belakang banyak tugas anak-anak harus diangkat."
Bulan mengangguk. Dia keluar dari mobil dan langsung menuju pintu. Tak seperti biasa, di jam segini seharusnya semua sudah masuk ke kamar. Tapi di dapur sedikit berisik, membuat Bulan berbelok untuk sekedar melihat, siapa yang disana.
"Eh, Non..."
Dua orang pembantu rumah tangga menyapa Bulan. Gadis itu tersenyum.
"Ngapain, Bi?"
"Anu, non. Bapak sakit. Minta saya buatkan makanan yang enak." Kata salah seorang pelayan itu.
"Jadi bibi berdua mau masak? Masak apa?"
"Itu yang ngga tau, Non."
"Hm..." Bulan ikutan berpikir. "Bubur ayam aja, Bi. Atau sop juga enak buat nyegerin badan." Saran Bulan.
"Anu, Non. Bapak ga suka bubur ayam. Kalau sop, kayaknya juga bakalan nolak."
"Kalau gitu, buat tiga menu. Biasanya om suka makan apa, Bi?"
"Biasanya..." wanita paruh baya itu tampak berpikir. "Rawon."
Bulan manggut-manggut sambil menyingsing lengan bajunya. "Oke, kita buat tiga sekaligus jadi om tinggal pilih mau makan yang mana." Bulan mendekati meja dapur, membuat dua pelayan itu bingung.
"Non, mau ngapain?"
"Bantuin, lah."
"Hah.. em, Non. Bibi berdua juga bisa, kok. Anu, maaf ya, Non, bapak orangnya pilih-pilih. Nggak sembarang masakan dia mau." Ucapnya hati-hati.
"Tenang, Bi." Bulan menepuk dadanya, menunjukkan nama resto tempat ia bekerja. "Aku juga orang dapur, kok. Udah bertaun-taun. Biar aku buatin semua. Aku yakin om bakalan suka." Ucapnya penuh percaya diri. Membuat dua orang itu akhirnya mengangguk penuh keyakinan.
"Oh, bibi berdua bantu kupas-kupas bawang aja, gimana?" Bulan membuka kulkas dan mengeluarkan semua kebutuhan. Dibantu dua orang, pekerjaannya akan cepat selesai.
Sementara Biru membuka pintu kamarnya. Lalu mengecek Bulan, apakah gadis itu tidur atau sedang mandi.
"Bulan.."
Kamarnya kosong. Biru mengecek ke kamar mandi juga tidak ada. Akhirnya lelaki itu turun, mencari Bulan yang tadi katanya lelah sekali, tapi tidak ditemukan dimana pun.
Terdengar suara dari dapur, Biru melangkah kesana dan menemukan kekasihnya tengah sibuk.
"Bulan.."
Bulan menoleh sekilas. "Iya?"
"Ngapain?"
"Ya, masaklah." Jawabnya santai. Mulai memasukkan bumbu untuk ditumis.
"Anu, den. Bibi ngga suruh, loh. Non Bulan sendiri yang minta. Beneran!" Katanya takut-takut.
"Iya, ngga apapa, Bi."
"Kak, mau sekalian, nggak?" Tanya Bulan. Ingat saat itu, Biru ingin mencoba masakannya.
"Ngga usah, ntar kamu capek."
"Nggak, kok. Aku masakin rawon, mau? Sekalian nih, buatin om."
Alis Biru berkerut. "Papa?"
"Iya. Lagi sakit katanya. Pengen makan makanan yang menyelerakan. Jadi, aku bantu masakin aja."
Biru berdehem kecil. Bulan semangat sekali. Apa dia tetap bereaksi serupa kalau tahu papanya itu tidak menyukainya?
"Oke. Aku tunggu, ya." Ucap Biru akhirnya. Menaiki tangga karena dia harus memeriksa tugas mahasiswanya.
Satu jam berlalu, Bulan membawa nampan berisi nasi dan rawon, juga air putih untuk Biru. Dia masuk ke kamarnya. Dilihatnya lelaki itu tengah duduk di meja belajar sambil menatap layar laptop. Biru terlalu sering menggunakan kamar Bulan sekarang.
"Kak.."
Biru menoleh, bangkit dan membantu Bulan mengambil alih nampan yang berat.
"Wah, kayanya enak." Lelaki itu meletakkannya di atas meja. "Kamu mandi, gih. Air hangat udah diisi di bathup."
"Kakak yang isi?"
Lelaki itu mengangguk. "Iya. Nanti saya pijetin, ya. Kamu pasti cape. Besok-besok, ga usah ngerjain tugas bibi-bibi disini. Kan, lebih baik kalo kamu istirahat. Mulai sekarang, apapun yang berat-berat, ngga usah dikerjain. Kamu panggil aja saya. Oke? Udah, sana mandi."
Bulan menatap laki-laki itu cukup lama. Dalam hatinya bertanya, kenapa dia tidak bertemu dengan lelaki seperti Biru sejak dulu saja?
Pontang-panting menjadi perempuan mandiri, tetapi lelaki ini malah membuatnya menjadi perempuan yang tidak boleh melakukan apa-apa sendiri.
"Kenapa malah bengong?"
Bulan mendekat, berjinjit, lalu mengecup pipi Biru. "Makasih, ya. Aku seneng banget ada kakak disini."
Lelaki itu tersentuh, lalu mengusap kepala Bulan. "Sama-sama, sayang." ia cium kening Bulan sebagai balasan, lalu gadis itu pun ke kamar mandi untuk berendam sebentar di air hangat.
~
Bulan dan Biru saling tatap. Sejak tadi memikirkan panggilan apa yang cocok untuk mereka. Mencari sesuatu yang berbeda.
"Ayang aja sih, kayanya."
Biru mencebikkan bibir. "Bulan, saya udah mau 30 tahun."
Bulan yang didekapan Biru terkikik. Habisnya siapa lagi? Dari tadi berpikir, tapi ga nemu jawaban.
"Hubby? Honey Bunny Sweety? Cintaku? Kakanda?" Semua Bulan sebutkan, tidak ada yang menyangkut di hati Biru.
"Hm.. panggil saya 'Mas' aja gimana?"
Bulan malah tertawa. Bukannya apa, ini mereka sepupuan. Apa tantenya itu bisa berpikir dengan baik kalau tiba-tiba mendengar Bulan kelepasan memanggilnya itu nanti?
"Udah lah, kaya biasa aja." Ujar Biru akhirnya. Kesal, karena semua sarannya ditertawakan Bulan.
"Kok jadi merajuk." Bulan mengapit pipi Biru dengan kedua telapak tangannya. "Gemes banget..." Bulan menempelkan hidung mereka, mendekatkan bibir tapi enggan mencium. Bulan mempermainkannya.
"Bulan..." Biru tidak terima dijadikan mainan. Dia lalu menangkap dua tangan Bulan yang menyentuh pipinya. Tubuhnya bangkit, naik ke atas dan mengungkung dengan mengapit kedua tangan Bulan di atas kepala gadis itu. Bulan menahan napas. Biru duduk di atas perutnya dengan menahan tubuh agar tidak terlalu menindih kekasihnya.
"Udah dibilang, jangan goda saya."
Bulan menatap kedua bola mata Biru yang sengaja ia tundukkan mendekat wajah ke wajahnya. Gadis itu menelan ludah. Memang hal seperti ini seharusnya tidak lagi mengejutkan. Sudah pasti terjadi saat Biru mengatakan bahwa ia akan terus tidur bersama Bulan.
Genggaman tangan Biru di pergelangan tangan Bulan perlahan mengendur saat lelaki itu mencium bibir Bulan. Tidak butuh waktu lama, ciuman itu mulai turun ke leher, tulang selangka, memberi kecupan ringan dan jilatan disana. Kemudian Biru mencium dada Bulan yang masih berbalut kaos tipis. Namun sensasi yang Bulan rasakan membuatnya berkedut hebat.
"Kak... ja-ngan..." Bulan mencoba mengingatkan Biru. Walau sebenarnya hasratnya juga sudah dipuncak. Ia juga ingin melakukannya.
Lama Biru diam di depan dada Bulan. Tangannya sudah ada di perut gadis itu untuk meraba masuk. Dan diamnya Biru pertanda bahwa ia tengah berperang dengan logikanya.
"Kak.."
Biru menghela napas berat, lalu tidur di atas dada Bulan. Ia peluk gadis itu dengan erat karena harus mengalah lagi. Sementara Bulan mengelus rambut Biru dan mengusap punggungnya.
Berat. Iya, Bulan tahu berat. Karena dia juga merasakan hal yang serupa. Sulit menghindari semua ini. Sulit tidak berdekatan, Sulit tidak saling menyentuh, dan sangat sulit untuk menahan diri.
Memang jalan dari awal sudah salah. Sekarang, keduanya harus terus berusaha menajamkan kesadaran agar tidak terjadi hal-hal yang diinginkan.
...🍃...
Wina tengah menangis. Sesegukan. Tisu di atas dan bawah meja sudah berserak. Nadin dan Yeshika tengah menenangkan. Sedang Bulan masih sibuk dengan ponselnya.
"Lagi sama temen..." Bulan berbisik dengan nada penuh penekanan. Sudah lima kali Biru menelepon, dan Bulan masih menjawab hal yang sama. "Kan, aku udah bilang, aku lagi di kos temen, kak. Nanti kalau pulang pasti aku kabarin, kok! Kakak sabar, dong. Temen aku lagi ada masalah, nih!" Bulan jadi kesal. Biru terlalu berlebihan padahal dia cuma minta waktu sebentar saja. Temannya tengah patah hati. Tetapi Biru terus mengajak bertemu. Antara tidak bisa menahan rindu, atau curiga Bulan didekatin lelaki lain.
Dengan helaan napas berat, Bulan menutup panggilan dan mendekati Wina yang masih tersedu-sedu.
"Trus, gue harus gimanaaaa. Huaaaa.. " Wina menangis cukup keras, meraung-raung sampai urat lehernya keluar.
"Lo kenapa coba, sampe mikir pendek banget gitu!" Yeshika jadi ikutan berang. Padahal ini kesalahan Wina sendiri. Tapi hebohnya bukan main.
"Ya udalah, tinggal samperin aja trus bilang kamu cuma bercanda." Saran Nadin.
"Apaan, sih?" Bulan yang sejak tadi sibuk menelepon, ketinggalan berita.
"Ini, nih. Si Wina. Bisa-bisanya putus dari cowoknya malah balas dendam lewat daftar aplikasi lacur." Terang Yeshika.
"Hah?" Bulan menganga. "Emang ada?"
"Yaelah, Mbuuulll. Dari mane ajeee." Pekik Yeshika gemas. Ia pikir Bulan kaget karena sahabat mereka ini menempuh jalur miring. Ternyata...
Bulan nyengir. "Eh, trus-trus, gimana, Win?"
"Hiks...hiks.. srottt!" Wina mengeluarkan cairan di hidung, lalu memberikannya pada Nadin yang sontak kaget dan langsung melempar asal tisu bekas itu.
"Gue.. hiks.. gue.. mau gak mau, harus temuin itu om-om. Huaaaa..."
"Yaudah sih, temuin aja. Bener kata Nadin, lo samper trus bilang kalo lo cuma iseng." Jelas Yeshika.
"Ngga bisa, begooo. Itu tuh, udah ada persyaratannya. Kalo gue batalkan, gue kena penalti. Mana dua puluh jutaaa." Katanya sambil meraung-raung.
"Dih, padahal yang bego mah, dia." Bisik Nadin geleng kepala.
"Banyak bener??" Yeshika terkaget.
"Emang kamu pasang tarif berapa sih, Win? Kok penaltinya segitu?" Tanya Bulan ingin tahu.
"Huhu... sepuluh juta perjam."
"Ebuset! Gede juga, Win. Bakalan kaya kamu!"
"Yeee, Mbul! Kok malah dukung?!" Pekik Nadin kesal.
"Ya, trus mau gimana lagi?" Bulan balik bertanya, dan semua diam.
"Hiks.. tadi.. tadi, gue baru dua menit daftar. Hiks. Tiba-tiba, udah ada pesanan aja. Gue pikir.. Hiks.. harga semahal itu.. ga akan laku... soalnya.. hiks.. yang lain pada murah-murah kasih harga disana. Ada yang cuma dua ratus ribu perjam. Huhuuuu." Jelas Wina sambil tersedu-sedu. Hidungnya sudah merah. Dia tidak bisa melakukan apa-apa, karena ini juga menyangkut harga diri.
"Berarti, kamu laku banget ya, Win." Bulan terkikik di tengah tangisan Wina. Sampai Wina kesal dan melemparkan tisu bekasnya ke arah Bulan.
"Ah, gue tau!" Yeshika memberi ide pada Wina, gadis itu sontak melebarkan mata.
"Encer juga otak lo, Yesh!" Tukas Wina senang. "Kalo gitu gua ganti baju, deh."
~
"Yang mana orangnya?"
"Ngga tau. Namanya disini sih, Raksa. Fotonya ngga ada. Usia 50 tahun."
"Tua banget!!"
Mereka tengah duduk di kafe, tempat Wina dan pelanggannya janjian bertemu. Mata mereka semua tertuju pada parkiran mobil. Sibuk mencari, sugar daddy mana yang sudah menyewa mahal Wina.
Ada sebuah mobil hitam berhenti. Si pemilik tidak langsung turun. Tak berapa lama, ponsel Wina berdering.
"Eh, om itu." Wina berdehem, lalu mengangkat teleponnya.
"Ya, om? Oh, oke. Saya kesana, om. Baik, om." Wina memegang jantungnya yang berdegup kencang.
"Gimana?"
"Iya, itu mobilnya." Wina menepuk-nepuk pipinya perlahan. Menarik napas dalam-dalam.
"Win, mending suruh turun deh, biar kita juga bisa liat orangnya yang mana." Tukas Yeshika cerdik.
"Ah, iya." Wina mengirimkan pesan pada pelanggannya. Meminta untuk keluar supaya ia tidak salah mobil.
"Inget, Win. Bilang kalo kamu lagi haid." Ujar Yeshika lagi.
"Iya. Jangan malah keenakan lo!" Sambung Nadin, membuat Wina menoyor kepalanya gemas.
"Eh, itu keluar."
Mereka semua yang ada disana fokus pada pintu mobil yang terbuka. Lalu melebarkan mata saat seseorang itu keluar.
"Wah, gila. Embat aja, Win. Ganteng. Masih fresh bangett!" Yeshika jadi semangat.
"Iya. Kirain om-om udah tua. Masih ganteng banget, Win. Gas, lah!" Nadin ikut terkikik.
"Iyakah? Apa gue porotin aja??" Wina yang tadinya menangis darah menjadi gila. Dia tergelak lalu melambaikan tangan pada ketiga sahabatnya dan menghampiri pelanggannya.
"Ini mah, Gilaa. Kalo tiba-tiba Wina banyak duit, jangan pada heran lo ye!" Kata Yeshika terkikik, menatap kepergian sahabatnya sampai mobil itu menghilang. "Gua takutnya, liat Wina mendadak kaya, lo malah pengen ikut ngelacur juga, Mbul." Tawa Yeshika berhenti saat Bulan masih diam menatap parkiran mobil.
"Mbull?"
"Kenapa?" Nadin menyentuh lengan Bulan yang terpaku.
"I-itu. Itu... om Cakra. Papanya kak Biru."
"APAA??!"
To Be Continued....
**Makasih ya atas Apresiasi kalian sama Novel ini. Thanks buat Like, Komen, dan hadiahnya🫶🏻🫶🏻**
Semangat terus berkarya yaa💪💪
Semoga cerita Elian si Manusia Serigala juga dilanjut yaaa 🙏🙏
ada lagi keegoisan hanya untuk mencapai suatu tujuan
sehingga tidak ada perasaan yang tersakiti😉
🌼🌻🌸🌷🌹 untuk kak author 😉
makasih kak untuk up nya
blm baca otw kasih hadiah kopi buat kamuuu,,, ahh senangnyaaa jgn hilang lg ya peenn🥹