NovelToon NovelToon
Benci Jadi Cinta

Benci Jadi Cinta

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama / Nikahmuda / Pernikahan Kilat / Menikah dengan Musuhku
Popularitas:17.1k
Nilai: 5
Nama Author: Dewi rani

Artha anak kaya dan ketua geng motor yang dikagumi banyak wanita disekolahan elitnya. Tidak disangka karna kesalahpahaman membuatnya menikah secara tiba-tiba dengan gadis yang jauh dri tipikal idamannya. Namun semakin lama bersama Artha menemukan sisi yang sangat dikagumi nya dari wanita tersebut.

mau tau kelanjutannya....??
pantau trus episodenya✨✨

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dewi rani, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Chapter 27

Saat Artha berbalik setelah mendengar pesan suara yang dikirimkan oleh Mahesa, Ravindra sudah berada di belakangnya.

"Papa?" kata Artha yang terkejut melihat papanya sudah berdiri di depannya.

"Siapa? Siapa yang meneleponmu?"

Tentu saja Artha bingung harus menjawab apa. Ini terkait Deon, sosok lawan yang pernah membuatnya dihukum dan dikeluarkan Ravindra dari sekolah lama.

Andai Deon hanya memberinya tantangan seperti biasanya, Artha tak akan mengambilnya. Artha akan masa bodo dengan permintaan Deon. Sayangnya kali ini bukan tantangan yang Deon lakukan, melainkan lelaki itu tiba-tiba

menyerang sahabatnya, Mahesa. Siapa yang bisa tinggal diam?

"Tidak ada, Pa? Hanya anak-anak yang ngajak ketemuan."

Ravindra mengernyitkan kening. Jawaban ArthaSeakan tak bisa dipercayainya. Biasanya Artha tidak akan sembunyi-sembunyi jika ada temannya yang mengajak nongkrong atau main bareng, tetapi kali ini semua dirasa terlalu mencurigakan.

"Selesaikan makanmu!" Ravindra akhirnya hanya bisa menyuruh Artha menghabiskan makanannya, lalu ikut kembali ke meja makan bersama yang lain.

Artha mengenakam helm setelah berhasil mencari alasan untuk keluar. Naira yang baru berada di rumah itu, agak canggung karena Artha tiba-tiba memutuskan pergi tanpa mengajaknya.

"Gue cabut dulu!" kata Artha saat Naira mengantarnya ke depan.

"Lo mau ke mana?"

"Gue ada urusan. Lo di rumah aja. Mungkin ini akan berbahaya." Artha membuka kaca helm fullfacenya untuk bisa menjelaskan ke mana perginya kepada Naira.

"Lo... Mau tawuran?" Naira menebak dan tepat sasaran.

Artha hanya menatap mata bulat Naira tanpa menjawabnya. Dan jelaslah ke mana lelaki itu akan pergi.

"Ta, please, nggak usah ikut! Gue takut lo kenapa-kenapa!" Naira berkata lirih, meminta Artha untuk tetap tinggal. Dia di rumah ini masih baru. Dan semuanya karena Artha. Tak bisa dibayangkan jika Artha malah pergi dan berbuat ulah untuk menjerumuskan kehidupannya sendiri.

"Ini bukan tentang gue. Tapi tentang persahabatan. Gue akan balik. Lo tenang aja."

Artha menutup kaca helmnya, lantas menyalakan mesin motor itu. Naira hanya bisa menutup mulutnya sembari menggeleng pelan mendengar perkataan Artha. Entah mengapa kali ini dia merasakan akan ada hal buruk yang terjadi pada Artha.

Naira masuk kembali ke kamarnya. Dia tidak bisa memikirkan hal lain kali ini. Padahal di depannya sudah ada materi pelajaran yang sempat ditinggalkan Arthan beberapa hari yang lalu.

"Artha, kenapa lo keras kepala banget, sih? Dasar cowok labil!" gumam Naira sembari menggigit bibir bawahnya.

Sementara itu, Artha masih berada di atas motor sport merah miliknya, mengendarai dengan sangat cepat. Meliuk-liuk ke kanan dan ke kiri, menyelip kendaraan-kendaraan lain agar bisa segera sampai ke tempat di mana Mahesa berada. Dia sudah menghubungi anak-anak Mahattan lain. Mereka akan ngumpul di salah satu tempat yang dekat

dengan lokasi Mahesa disekap.

"Brengsek! Mereka benar-benar cari masalah!" Julian juga tak terima. Mahesa sore ini sebenarnya tidak ada masalah yang berhubungan dengan geng Deon. Bahkan, Julian mengatakan jika Mahesa sempat ke toko buku untuk membeli sesuatu sebagai kado calon ceweknya. Namun, selang beberapa jam dia malah mendapatkan kabar seperti ini di grup.

"Kita serang aja markasnya. Benar-benar mereka nyari mati!" Dirga mengepal tinju setengah mati.

"Kita selamatkan dulu Mahesa. Gue nggak tahu sebagaimana mereka nyiksa Mahesa sampai-sampai mengadu pada kita."

Ketiganya mengangguk patuh dan kemudian diikuti oleh beberapa anak lain yang nantinya turut membantu.

Sesuai lokasi terakhir pesan suara, Artha bisa melacak di mana Mahesa berada. Di belakang gedung kosong bekas sekolah Belanda.

"Serem amat lokasinya?" ucap Dirga yang mendadak ngeri dengan lokasi pertempuran mereka kali ini.

"Tenang. Kan kita masih ada Aba Nizan. Kalau ada hantu, kita kasih aja Nizan buat bacain doa!" Julian menimpali.

“Idiih, gak kira-kira kalian." Nizan melotot kesal.

Mereka akhirnya sampai di lokasi yang memang terlihat gelap serta menyeramkan. Mengapa juga geng Deon mencari tempat seperti ini.

“Lo duluan!" Julian meminta Artha maju lebih dulu.

“Lo kan ketua!"

Artha hanya menghela napas dalam melihat tingkah Julian yang sok berani, tetapi nyatanya licik. Begini mau ngedeketin Naira. Adanya kalau ada apa-apa Naira yang disuruh maju duluan, bukan dirinya.

"Pengecut!" Artha berjalan lebih dulu, sementara yang lain mengekor di belakangnya. Mereka mengendap-ngendap sambil mencari di mana Mahesa berada.

"Lo yakin mereka di sini?" Julian bertanya lagi, melihat bangunan tinggi nan gelap itu ditumbuhi semak belukar membuatnya ragu.

"Jangan-jangan kita sedang dijebak?"

"Bacot lo!" Artha menyahut ketus.

Hingga terdengar suara kekehan dari arah belakang sana, barulah Artha dan teman-temannya menyadari bahwa lokasi yang Artha temukan adalah benar adanya. Mereka terus saja berjalan, pergi mencari keberadaan Mahesa dengan mengikuti asal suara. Dan apa yang terjadi di depan mata membuat Artha dan teman-temannya kesal dan murka.

Ya, di sana terlihat mahesa sedang ditelanjangi dengan hanya mengenakan kolor saja, laku diikat lehernya oleh mereka layaknya anjing. Beberapa orang tampak mengguyurkan cairan yang entah apa itu ke kepala Mahesa sehingga membuat lelaki itu megap-megap.

"Keparat!" teriak Artha yang teramat geram dengan apa yang terjadi di depan mata.

"Hahai, akhirnya lo dateng juga. Gimana dengan pertunjukan gue?" Deon yang melihat kedatangan Artha bersorak senang. Dia langsung berdiri menyambut. Kekalahan di ring tinju tak lantas membuat lelaki itu menyadari kekurangannya, tetapi malah berbuat ulah.

"Lepasin nggak?" Artha berteriak, memasang wajah geram di depan anak-anak geng Deon.

"Langkahin dulu mayat gue! Baru lo bisa ambil tuh bocah!"

Artha melihat wajah Deon yang semakin sangar. Entah sekolah mana yang membiarkan para siswanya bisa menggunakan anting di hidung serta telinga dengan rambut yang dicat warna-warni.

Dua orang pria dengan beda perawakan sudah berada di satu tempat. Bukan ring tinju, melainkan lahan kosong yang dikelilingi banyak anak berusia SMA. Mahesa melihat bagaimana Artha sudah bersiap di arena. Ya, mereka membuat arena tinju dadakan dengan tanah sebagai alas. Ring tinju berubah menjadi pagar manusia yang akan menonton mereka baku hantam.

"Gue bakal habisin lo malam ini, Artha!"

Julian, Nizan, dan Dirga tampak cemas melihat Artha akan bertanding dengan Deon. Bagaimana tidak, Artha baru saja berkelahi dengan preman jalanan untuk menyelamatkan Mesa dan kini dia harus berhadapan lagi dengan Deon demi menuntaskan keinginan lelaki itu membalaskan dendam atas kekalahannya tempo hari.

"Hati-hati, Ta!"

Artha hanya melirik sekilas kepada teman temannya yang sudah berada di sisi arena.

"Maju!" Artha menggerakkan keempat jari untuk memberi isyarat kepada Deon memulai serangan.

Terjadi aksi pukul-memukul dengan tanpa adanya aturan. Menendang, menginjak, atau apa pun itu dilakukan demi bisa menghajar lawan. Awalnya Artha bisa mengimbangi Deon, melesatkan beberapa pukulan telak ke wajah pria itu.

Lagi-lagi Deon merasa Artha ternyata lebih jago beladiri daripada dirinya. Padahal sudah berulang kali berlatih, harusnya dia lebih baik. Namun, Deon tak tinggal diam. Saat lengan Artha memukul perutnya, lelaki itu membungkuk, lalu menggigit lengan Artha kuat.

"Aaaarggghh!" Artha memukul-mukul kepala Deon agar melepaskan gigitan di tangannya. Namun, lelaki itu tak menghiraukan. Saat Artha merasa kesakitan, Deon langsung menghajarnya.

Wajah Artha babak belur terkena tendangan dan injakan Deon. Darah segar jelas merembes di hidung serta bibirnya.

"Woiy! Curang!" Julian dan anak-anak Mahattan berteriak. Namun, bagi Deon pertarungan ini tidak ada aturan mengikat. Semuanya bebas dan sah saja dilakukan agar bisa menghabisi lawan.

Artha melihat darah menetes pada lengannya dengan bekas gigitan Deon yang sangat keterlaluan.

"Brengsek!"

Tidak tahan lagi karena mengatakan tidak ada aturan, Artha yang baru saja terkapar dengan tangan yang terasa perih, beranjak dari posisinya. Dia merangsek ke tempat penonton, mengambil papan kayu bekas di sana.

Wajahnya tampak geram, menatap Deon dengan pandangan yang tidak biasa. Dia marah, kesal, dan ingin sekali membuat lelaki itu tak lagi mengacaukan hidupnya, jera dan tidak mencari gara-gara lagi.

Saat Artha berdiri dengan papan kayu di tangan, nyali Deon mendadak menciut. Artha terus berjalan, tanpa melihat ke kanan dan ke kiri langsung menghantamkan papan kayu itu ke wajah Deon. Deon berteriak, merasakan pening luar biasa.

"Artha!" Semua histeris.

Artha sepertinya hilang kendali. Deon beberapa kali terjungkal dan terjatuh tak dihiraukannya.

"Artha, berhenti!"

Suara teman-temannya yang histeris melihat Artha sudah di luar batas kendali tak digubrisnya. Terus dan terus saja tangan kekar itu menghajar sosok yang dianggap benalu, toxic, dan mencari gara-gara dengannya. Sampai seseorang berteriak dari jarak jauh, membuat semua yang sedang menyaksikan pertarungan sengit itu berhenti bersorak.

"Artha!"

 Artha menghentikan pukulan pada Deon yang sudah tak berdaya. Pria berwajah sangar dan selalu tersenyum itu terlihat sudah tak bisa menggerakkan tubuhnya lagi.

Itu adalah suara Naira dan di sana ada Ravindra yang menatap Artha dengan pandangan geram. Artha membuang papan kayu itu, menatap sang papa yang tampak marah kepadanya.

"Papa!" ucap Artha lirih setelah melihat sosok dewasa yang memandangnya dengan tatapan tajam.

Suara sirene ambulans terdengar nyaring. Deon yang diketahui anak seorang mantan narapidana telah dihajar Artha hingga nyaris tak bernyawa. Ravindra sengaja membawa ambulans karena mengetahui jika Artha sedang tawuran. Hal itu dia ketahui setelah mendesak Naira.

****

"Apa lagi yang bisa Papa harapkan darimu, Artha!" Ravindra menyugar rambutnya kasar. Tak menyangka jika selama ini dia menganggap Artha sudah berubah, nyatanya semakin keterlaluan saja. Bayangkan saja. Anak seuisa Artha hampir mau membunuh orang. Mau jadi apa dia?

Artha hanya menunduk, tak banyak membantah apalagi membela diri. Andai dia bersuara, semua akan percuma. Mungkin jika posisi Deon yang dibalik, yaitu dirinya yang nyaris mati, barulah orang tuanya akan memihaknya.

"Papa sudah ngga tahu harus bagaimana sama kamu? Kamu sudah menikah, sudah punya istri. Seharusnya sifat kamu berubah. Lebih dewasa. Lebih bertanggung jawab. Hindari tawuran. Apalagi sampai hendak membunuh anak orang. Apa yang bisa kamu banggain, hah?"

Artha tak menjawab pertanyaan papanya. Dia hanya diam dan menunduk. Sampai Ravindra sendiri merasa sia-sia jika berteriak terus pada Artha.

"Mulai detik ini jangan lagi muncul di hadapan Papa sebelum kamu menyadari kesalahanmu," ucap Ravindra tegas dengan menudingkan jari telunjuk keluar.

"Papa!" Siena yang mendengar itu segera menahan perkataan Ravindra.

"Jangan begitu, Pa! Artha melakukan itu pasti ada alasannya. Papa jangan menghukum Artha tanpa bertanya mengapa dia bisa melakukan hal seperti itu. Setiap perbuatan pasti ada alasannya."

"Jangan selalu melindunginya, Ma! Dia harus mikir sekali-kali."

Ravindra berdiri begitu saja, lalu pergi meninggalkan Artha yang masih duduk di ruang tamu sambil menunduk.

Setelah kepergian Ravindra, barulah Artha beranjak dari posisinya. Lelaki itu tanpa banyak bicara segera bergegas keluar, tak meminta izin ataupun bicara pada Siena.

"Artha! Tunggu, Artha!" teriak Siena, tetapi tak digubris oleh anak sulungnya itu.

Terdengar geberan motor Artha yang memainkan mesin knalpot, sebelum akhirnya pergi meninggalkan rumahnya.

Siena hanya bisa menangis. Suami dan anaknya tiap kali tidak akur, membuatnya sebagai ibu harus banyak-banyak menjadi penengah. Naira yang melihat pertengkaran itu segera menemui Siena.

"Mama, maaf. Semua ini salah Naira. Naira yang ngasih tahu Papa kalau Artha hendak tawuran."

Siena menggeleng, lalu memeluk Naira sembari menumpahkan tangisnya.

****

Sudah dua hari lamanya Artha tak masuk sekolah. Bukan hanya tidak masuk sekolah, tetapi juga tak pulang ke rumahnya. Naira setiap hari berangkat sekolah menggunakan motor matic lamanya. Entah mengapa dia merasa tidak tahan jika lama-lama Artha menghilang. Dia cukup cemas dengan keberadaan lelaki itu.

Di rumah pun, tiada lagi keceriaan. Ravindra dan Siena kerapkali saling diam. Artha ternyata merupakan cahaya di kehidupan keluarga. Saat lelaki itu tiada, suasana rumah menjadi tak berwarna.

"Ta, lo di mana?" gumam Naira di tengah lamunannya.

Naira tak tinggal diam. Teman-teman Artha satu per satu ditanyai, tetapi mereka semua mengaku tidak tahu. Bahkan, setiap tongkrongan Artha dikunjungi Naira, juga rumah Mesa. Namun, tetap saja Artha tak ditemukan. Naira mengesah kasar. Dia tak tahu harus ke mana lagi mencari Artha. Hingga saat malam berlalu, Naira memutuskan kembali ke kontrakan lamanya.

Di rumah Artha memang besar, tetapi saat lelaki itu tidak di sana, semuanya terasa asing dan hambar. Tidak ada kebahagiaan dari setiap wajah anggota rumah.

Ketika Naira memarkirkan motor di depan kontrakan rumahnya, dia mengernyitkan kening melihat lampu dalam rumahnya menyala. Merasa tidak meninggalkan rumah dalam kondisi lampu menyala, Naira bergegas memeriksa ke dalam. Pintu tidak dikunci? Jantung Naira berdebar-debar. Apakah ada maling yang menyusup ke rumahnya. Saat dia berusaha masuk, dengan membawa gagang sapu di tangan, barulah kakinya berani melangkah ke dalam.

Tidak ada orang di ruang tamu. Namun, Naira tak tinggal diam. Dia terus saja masuk semakin ke dalam, memeriksa setiap sudut ruangan. Mata Naira membulat penuh saat kakinya berada di dapur karena melihat seseorang tengah sibuk di sana. Sosok itu sedang berusaha menyalakan kompor dengan bungkus bumbu mie tercecer dilantai.

"Artha!" ucap Naira yang cukup terkejut. Dia tak menyangka jika ternyata selama ini Artha bersembunyi di kontrakannya.

"Naira?" Mereka saling diam, terpaku di tempat.

Naira sempat terhenyak saat tangan kekar itu menarik lengannya, mendekat di mana Artha berada.

"Lo di sini?" Bibir Naira mengembangkan senyum. Matanya berkaca-kaca.

"Nai, gue laper. Lo bisa nggak masakin gue bentar?"

Naira terkekeh pelan. Tangannya memukul gemas dada Artha.

"Dasar, kabur dari rumah tapi nggak bisa apa-apa?"

Artha hanya mengangguk dan melebarkan tersenyum.

"Gue butuh lo? Bantuin gue, ya? Gue belum makan sejak siang tadi."

Entah mengapa rasa haru yang sebelumnya hadir saat melihat Artha di rumahnya mendadak hilang. Naira mengulum senyum, lalu menggantikan posisi Artha untuk membuatkan lelaki itu makanan.

1
𝐍𝐮𝐫𝐖𝐢𝐧𝐀𝐫
👍👍👍👍👍
Indriani Kartini
keputusan yg tepat
karina
gila Fadil.. musnakan ajah cwo begitu.
Ff Gembel
lanjut
rill store
lanjut thor
zuleyka
up lgi thorrr
syifa
pengen jadi naira, direbutin para cwok kaya
syifa
ksihan bngt artha
Anonymous
up trus thor
Syahril Akbar
gk sabaran kelanjutannya seperti apa/Determined//Determined/
Syahril Akbar
semangat up nya thor
Syahril Akbar
lanjut thor suka banget
Syahril Akbar
up lagi dong Thor
Anonymous
bagus banget ceritanya
yingbidew
buruann thor update gk sabar
yingbidew
up terus
yingbidew
bagus banget alurnya, pengen cepat-cepat tau akhir critanya
yingbidew
makin penasarannn
yingbidew
upp trus thor
Indriani Kartini
bagus suka banget, bacanya sampai tegang bngt thor
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!