Sepuluh bulan lalu, Anna dijebak suaminya sendiri demi ambisi untuk perempuan lain. Tanpa sadar, ia dilemparkan ke kamar seorang pria asing, Kapten Dirga Lakshmana, komandan muda yang terkenal dingin dan mematikan. Aroma memabukkan yang disebarkan Dimas menggiring takdir gelap, malam itu, Anna yang tak sadarkan diri digagahi oleh pria yang bahkan tak pernah mengetahui siapa dirinya.
Pagi harinya, Dirga pergi tanpa jejak.
Sepuluh bulan kemudian, Anna melahirkan dan kehilangan segalanya.
Dimas dan selingkuhannya membuang dua bayi kembar yang baru lahir itu ke sebuah panti, lalu membohongi Anna bahwa bayinya meninggal. Hancur dan sendirian, Anna berusaha bangkit tanpa tahu bahwa anak-anaknya masih hidup. Dimas menceraikan Anna, lalu menikahi selingkuhan. Anna yang merasa dikhianati pergi meninggalkan Dimas, namun takdir mempertemukannya dengan Kapten Dirga.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aisyah Alfatih, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
27. Keluarga Asmirandah
Ruang keluarga itu luas, lantainya marmer hitam yang mengilap, lampu gantung kristal menggantung rendah seperti ingin menelanjangi setiap ekspresi orang yang ada di bawahnya. Kapten Dirga berdiri tegap, menyembunyikan gelombang emosi yang berkecamuk di dadanya. Wajahnya datar, tidak boleh ada satu pun yang mencurigainya.
Asmirandah duduk di sofa mewah, masih menautkan lengannya pada Dirga seolah ingin menunjukkan kepemilikan. Namun Dirga tak membalas. Tatapannya lurus ke arah dua orang yang kini menduduki kursi utama ruangan itu.
Paman Asmirandah, tokoh pemberontak yang selama ini diburu militer, duduk dengan percaya diri, senyumnya tipis namun dingin.
Di sebelahnya, Tuan Asmir, pejabat pemerintah yang seharusnya menjadi garda terdepan negara, kini memperlihatkan wajah arogan penuh dosa.
“Dirga,” Tuan Asmir membuka suara, suaranya berat namun dibuat-buat ramah. “Kami sudah mendengar banyak tentang kemampuanmu. Tidak heran Asmirandah sangat menyukaimu.”
Asmirandah tersenyum manis, senyum palsu penuh manipulasi, Dirga menundukkan sedikit kepala.
“Terima kasih, Tuan.”
Paman Asmirandah menyilangkan kaki, tubuhnya condong ke depan. “Kami ingin memastikan satu hal, tentang loyalitasmu.”
Dirga menatapnya, tenang dan tidak gentar. Padahal di dalam kepalanya hanya ada satu kalimat yang bergema,
'Anna ada di tangan mereka,'
Paman Asmirandah melanjutkan dengan nada tajam, “Kakakku ... ayah Asmirandah, sudah lama mengatakan bahwa keluarga kami pernah memiliki musuh besar di masa lalu.”
Tatapannya menembus Dirga, seolah ingin merobek kedoknya.
“Sepasang suami-istri … yang berani menghalangi langkah kami. Mereka tewas di tangan kami, tepat saat keadaan genting kala itu.”
Darah Dirga mendesir keras. Rahangnya mengeras, tapi wajahnya tetap dingin. Asmirandah menyentuh lengan Dirga, bersikap manja.
“Paman sedang bernostalgia, jangan terlalu serius.”
Dirga mengalihkan pandangan, menahan diri untuk tidak menghancurkan ruangan itu detik itu juga.
Paman itu tersenyum menyeringai. “Kamu tahu, Andah sudah memilihmu jadi calon suami. Jika kamu masuk ke keluarga ini … kamu akan diberi kekuasaan. Apa pun yang kamu mau.”
“Termasuk anak dari perempuan kampung itu,” selip Tuan Asmir, suaranya tajam seperti pisau. “Kau tidak lagi butuh mereka kalau sudah bersama Andah.”
Satu detik, dua detik Dirga hampir kehilangan kontrol.
'Wajah Anna menangis dengan mulut tersumpal di dalam mobil tadi … terus menghantam pikirannya.'
Untuk pertama kalinya sejak masuk ke rumah itu Dirga mengangkat kepalanya dan menatap langsung ke mata Paman Asmirandah. Tatapannya berubah, tidak lagi sekadar penyamaran. Ada kematian di balik tenang itu.
Paman Asmirandah tersenyum kecil, tidak sadar dirinya baru saja memancing amarah orang yang salah.
“Buktikan loyalitasmu, Dirga. Dan kau akan punya segalanya.”
Dirga menjawab dengan suara rendah namun tegas,
“Baik. Saya akan lakukan apa pun … untuk menyelesaikan misi ini, saya akan buktikan kalau saya layak jadi suami Anda,” kata kata itu pelan, tapi penuh penekanan.
Hanya Dirga yang tahu, misi itu bukan untuk membantu mereka. Tapi untuk menghancurkan seluruh keluarga itu dari dalam, menyingkap bukti, dan membawa mereka ke hukuman yang selama ini tertunda. Dan untuk membawa kembali Anna hidup-hidup.
Asmirandah menautkan lengan ke lengan Dirga sambil menuntunnya menaiki tangga besar dengan pegangan kayu mahoni mengilap. Setiap langkah terdengar bergema lembut, menciptakan suasana angkuh yang sesuai dengan kemegahan mansion itu.
“Hari ini aku mau tunjukkan semuanya,” kata Asmirandah dengan nada bangga. “Kau harus tahu rumah ini luar-dalam. Bagaimanapun, setelah kita menikah, ini akan jadi tempat tinggal kita.”
Dirga hanya mengangguk kecil, senyum sopan menempel di wajahnya, senyum yang ia latih berhari-hari agar tidak pecah oleh amarah.
Mereka melewati lorong panjang yang diterangi lampu dinding bergaya klasik. Gambar-gambar keluarga Asmirandah terpajang di sepanjang tembok, foto pesta, foto peresmian, hingga foto keluarga besar. Semua berwibawa, semua menyimpan kegelapan yang hanya Dirga ketahui kebenarannya.
Asmirandah berhenti di depan sebuah pintu kayu tebal berwarna gelap. Tidak ada ukiran indah seperti pintu lain, justru polos, namun kokoh seperti melindungi sesuatu yang tidak ingin dilihat dunia.
“Asal tahu saja, Dirga…” Asmirandah menoleh, wajahnya mendadak serius. “Dari seluruh ruangan di mansion ini, seluruhnya, hanya ruangan ini yang tidak boleh kau masuki.”
Dirga memperhatikan pintu itu. Detak jantungnya berdentum. Ada sesuatu di balik sana, sesuatu yang penting.
“Kenapa?” tanya Dirga lembut, tetap memainkan perannya sebagai pria ‘amnesia’ yang penurut. Asmirandah tersenyum kecil, senyum milik wanita yang terlalu percaya diri memiliki kekuasaan penuh atas seseorang.
“Karena ini ruangan pribadi keluarga kami. Tidak ada yang boleh masuk tanpa izin, termasuk kamu.”
Ia mengangkat dagu Dirga dengan ujung jarinya. “Bahkan kalau kau suamiku sekalipun.”
Dirga tersenyum, senyum yang ia paksakan.
“Baik, aku sudah mengerti.”
Asmirandah tersenyum puas merasa menang. Namun senyum Dirga tersenyum yang berbeda. Di balik wajah patuh itu, matanya menyembunyikan badai.
Keinginannya menyelinap ke ruangan itu begitu besar hingga hampir meluap. Asmirandah meremas lengan Dirga manja.
“Ayo, aku tunjukkan sayap rumah lainnya. Nanti malam kita makan di gazebo belakang. Kau pasti suka.”
Dirga mengangguk, mengikuti langkahnya. Namun saat mereka berjalan menjauh dari pintu itu, Dirga menoleh sekilas. Diam-diam, ia menandai setiap detail, posisi kamera, arah cahaya, jarak dari lorong utama.
Malam itu, jarum jam baru saja melewati pukul 02:15.
Mansion Asmirandah sunyi, tertidur dalam cahaya lampu-lampu taman yang redup dari balik jendela.
Di kamar tamu mewah yang ditempati Dirga, ia duduk di ujung ranjang dengan tubuh tegang. Lampu kamar sengaja ia biarkan mati, hanya cahaya bulan menembus tirai tipis, menerangi wajahnya yang murung.
Tiba-tiba, telepon rahasianya bergetar pelan ponsel kecil yang ia sembunyikan di balik dinding ganda lemari tua.
Dirga segera mengambilnya, Mayor Kevin menelpon, dia menekan tombol jawab.
Suara berat Mayor Kevin terdengar di telinganya, lirih namun penuh tekanan, [Kapten … kami minta maaf. Kami lalai, kami tak seharusnya lengah sekecil apa pun.]
Dirga diam sejenak, otot rahangnya menegang. Mayor melanjutkan, suaranya terdengar menyesal sekaligus murka pada dirinya sendiri,
[Anak-anakmu aman. Sudah ku bawa ke rumahku, dalam pengawasan penuh. Tapi … Anna dibawa oleh orang-orang keluarga itu. Anak buah Tuan Asmir.]
Nafas Dirga tercekat, tubuhnya seperti terhantam dingin yang mengiris tulang. Kedua tangannya mengepal begitu keras hingga buku jarinya memutih. Lama ia hanya diam, Mayor Kevin memanggil pelan, [Kapten? Dirga?]
Dirga akhirnya berbicara, suaranya rendah, bergetar oleh amarah yang sangat ia tahan,
“Mereka sudah menyentuh hal yang tak boleh disentuh … Aku akan menemukan Anna, secepatnya.”
Ia berdiri perlahan, menatap jendela gelap di depan.
Mayor melanjutkan, [informasi soal keluarga Asmirandah sudah kami kumpulkan. Tapi lokasinya luas. Kami belum...]
Dirga memotong, lebih tenang namun tajam seperti pisau,
“Saya sudah tahu, Mayor.”
Mayor terdiam, Dirga menghembuskan napas perlahan, menahan badai di dadanya.
“Malam ini … Asmirandah tanpa sadar menunjukkan letak ruangan yang paling mereka jaga. Ruangan yang mereka sebut tak boleh dimasuki siapa pun. Itu pasti pusat data mereka, pusat operasi, atau tempat menyimpan bukti kotor mereka.”
Mayor terdengar bangkit dari kursinya.
[Kapten … kalau itu benar, itu artinya...]
Dirga menjawab lirih, tapi penuh tekad membunuh,
“Itu artinya aku hampir sampai ke inti mereka. Dan jika Anna disembunyikan di mansion utama … aku akan menemukannya sebelum fajar.”
Hening menegangkan memenuhi sambungan telepon. Mayor Kevin akhirnya berkata, dengan suara yang lebih tegas namun ketakutan terselubung atas apa yang akan Dirga lakukan,
[Berhati-hatilah. Mereka licik, Kapten. Dan kau sendirian di sarang mereka.]
Dirga menatap pintu, napasnya teratur namun matanya membara.
“Saya sudah pernah kehilangan segalanya, Mayor. Saya tak akan kehilangan Anna.”
Ia menutup telepon. Lalu, perlahan, Dirga meraih senjata kecil yang ia sembunyikan di balik panel rahasia meja rias, memasukkannya ke balik baju.
Ia mengintip lorong dari celah pintu. Saat tubuh Dirga menyelinap keluar, hanya satu hal yang memenuhi pikirannya, malam ini, ia bukan lagi penyusup. Ia adalah suami yang datang menjemput istrinya dari neraka. Dan siapa pun yang berdiri di jalannya tidak akan selamat.
"Anna, tolong bersabar sebentar. Setelah ini aku akan memberikan kebahagian untukmu,"
ayo basmi habis semuanya , biar kapten dirga dan anna bahagia
aamirandah ksh balasan yg setimpal dan berat 🙏💪
kejahatan jangan dibiarkan terlalu lama thor , 🙏🙏🙏
tiap jam berapa ya kak??
cerita nya aku suka banget🥰🥰🙏
berharap update nya jangan lama2 🤭🙏💕