NovelToon NovelToon
Cinta Beda Alam : Ternyata Istriku Jin

Cinta Beda Alam : Ternyata Istriku Jin

Status: sedang berlangsung
Genre:Horor / Cinta Beda Dunia / Cinta Terlarang / Mata Batin / Romansa / Reinkarnasi
Popularitas:2.8k
Nilai: 5
Nama Author: Dri Andri

Bagaimana jika wanita yang kau nikahi... ternyata bukan manusia?
Arsyan Jalendra, pemuda miskin berusia 25 tahun, tidak pernah menyangka bahwa pertemuannya dengan Wulan Sari—wanita cantik misterius yang menolongnya saat nyaris tenggelam di sungai—adalah awal dari takdir yang akan mengubah dua alam.
Wulan sempurna di mata Arsyan: cantik, lembut, berbakti. Tapi ada yang aneh:
Tubuhnya dingin seperti es bahkan di siang terik
Tidak punya bayangan saat terkena matahari
Matanya berubah jadi keemasan setiap malam
Aroma kenanga selalu mengikutinya
Saat Arsyan melamar dan menikahi Wulan, ia tidak tahu bahwa Wulan adalah putri dari Kerajaan Cahaya Rembulan—seorang jin putih yang turun ke dunia manusia karena jatuh cinta pada Arsyan yang pernah menyelamatkan seekor ular putih (wujud asli Wulan) bertahun lalu.
Cinta mereka indah... hingga rahasia terbongkar.
Ratu Kirana, ibunda Wulan, murka besar dan menurunkan "Kutukan 1000 Hari"—setiap hari Arsyan bersama Wulan, nyawanya terkuras hingga mati

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dri Andri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB 32: Mencari Ulama di Gunung**

# **

Seminggu setelah kunjungan ke dukun yang gagal—Arsyan makin kurus. Makin pucat. Makin... rapuh.

Dia udah nggak bisa berdiri lama. Paling lima menit—terus harus duduk. Napas pendek-pendek terus. Batuk darah udah jadi rutinitas—pagi, siang, malam—kayak alarm rusak yang bunyi terus.

Wulan rawat dia total—tapi dengan jarak. Selalu jaga jarak. Sentuhan seminimal mungkin. Meskipun hatinya pengen peluk Arsyan tiap detik.

Suatu sore—Dzaki dateng. Muka serius. Lebih serius dari biasanya.

"Mas Arsyan... Wulan... aku ada info."

Arsyan—yang lagi tiduran di sofa—nyoba duduk. Susah. Bhaskara yang kebetulan lagi di situ bantuin.

"Info apa, Zak?" tanya Arsyan—suaranya serak banget sekarang. Kayak orang yang lagi flu berat.

"Ada ulama. Ulama tua. Tinggal di gunung. Gunung Wukir—tiga jam dari sini." Dzaki duduk di lantai—tangan pegang tasbih—mata serius. "Dia... dia ahli ruqyah. Ahli ngusir jin jahat, cabut sihir, cabut kutukan. Banyak orang yang kesembuhan gara-gara dia."

Wulan—yang dari tadi diem di pojok—langsung natap Dzaki. "Tapi... kalau dia ahli ruqyah... dia pasti... pasti bakal tau aku—"

"Aku tau, Wulan. Tapi dia beda sama dukun kemarin. Dia ulama. Dia nggak akan takut. Dia... dia akan bantuin. Insya Allah." Dzaki natap Arsyan. "Mas... mau coba?"

Arsyan diem lama. Mikir. Atau nyoba mikir—kepalanya pusing terus sekarang—susah fokus.

"Gue... gue nggak tau, Zak. Kalau sama aja kayak kemarin... gue... gue nggak kuat lagi..."

"Nggak akan sama, Mas. Aku janji. Ulama ini... dia beda. Aku udah denger ceritanya dari banyak orang. Dia... dia nggak akan nolak orang yang minta tolong."

Bhaskara—yang dari tadi diem—akhirnya ngomong. "Gas, dengerin Zak. Kita coba. Apa salahnya? Daripada lo diem di rumah terus—makin parah."

Arsyan natap mereka berdua—sahabatnya dari SMP—yang masih setia sampe sekarang—meskipun dia udah jadi beban.

"Oke," bisiknya pelan. "Oke. Kita... kita coba."

---

Besoknya—pagi-pagi buta—jam lima subuh—mereka berangkat.

Mobil pick-up Dzaki lagi. Arsyan di depan—samping Dzaki yang nyetir. Bhaskara sama Wulan di belakang—duduk di bak terbuka—angin pagi dingin banget—Wulan samperin jaket tebal tapi tetep menggigil.

Perjalanan... jauh. Dan susah.

Jalanan aspal dulu—masih mulus—tapi makin lama makin rusak. Berubah jadi tanah—berbatu—berlubang—mobil goyang-goyang keras—Arsyan di depan nyaris muntah beberapa kali.

"Tahan dikit ya, Gas... bentar lagi sampe..." kata Dzaki sambil fokus nyetir—mobilnya bunyi "nguing nguing" kayak mau mogok.

Satu jam—dua jam—tiga jam—akhirnya mereka sampe.

Bukan di puncak gunung—tapi di lereng—ada pondok kecil—kayak rumah panggung—kayu—atap daun—sederhana banget.

Di depan pondok ada sumur tua—ember kayu—sama pohon rindang besar.

Dzaki parkir. Mereka turun—Arsyan disangga Bhaskara lagi—jalan pelan ke pondok.

"Assalamu'alaikum..." panggil Dzaki pelan.

"Wa'alaikumsalam. Masuk."

Suara dari dalam—suara tua tapi... tenang. Bikin adem denger.

Mereka masuk—di dalam ada seorang kakek—rambut putih panjang sampai bahu—jenggot putih lebat—pake sarung putih sama baju koko putih—duduk bersila di tikar pandan—di depannya ada Al-Qur'an terbuka.

Wajahnya... tenang. Nggak kayak wajah yang takut atau curiga. Cuma... tenang.

"Duduk. Jangan sungkan," katanya sambil senyum tipis.

Mereka duduk—Arsyan di tengah—Bhaskara dan Dzaki di kanan kiri—Wulan di belakang sedikit—kayak kemarin di dukun.

Ulama itu—namanya Ustad Yahya—menatap Arsyan dulu. Lama. Mata penuh kasih sayang—bukan kasihan—tapi... simpati tulus.

"Kamu sakit, Nak?"

"Iya, Ustad. Saya... saya dikutuk."

Ustad Yahya ngangguk pelan. "Aku tau. Aku lihat auramu. Aura kematian yang merayap perlahan."

Arsyan jantungnya nyesek denger kata "kematian"—tapi dia diem aja.

Lalu Ustad Yahya geser pandang—ke Wulan.

Dan mata mereka bertemu.

Wulan langsung tegang—siap-siap kalau dia bakal diusir lagi—tapi—

—Ustad Yahya cuma tersenyum. Senyum lembut.

"Dan kamu... bukan dari dunia ini. Tapi aku merasakan... kebaikan di hatimu. Kamu... mencintai suamimu."

Wulan nggak nyangka. Air matanya langsung jatuh—ngangguk pelan.

"Iya, Ustad. Saya... saya sangat cinta dia. Tapi... tapi cinta saya... membunuhnya..."

Ustad Yahya napas panjang—menutup Al-Qur'an di depannya pelan—lalu menatap mereka berdua.

"Ceritakan padaku. Dari awal. Jangan ada yang disembunyikan."

Jadi mereka cerita. Wulan yang cerita—dari awal—sepuluh tahun lalu—ular putih—Arsyan yang selamatin—dia jatuh cinta—turun ke dunia manusia—nikah—terus kutukan dari Ibunda—Ratu Kirana—sampai sekarang.

Ustad Yahya dengerin semuanya—diem aja—sesekali ngangguk—nggak potong—nggak nanya—cuma dengerin.

Sampai cerita selesai.

Hening beberapa saat.

Lalu Ustad Yahya ngusap jenggotnya pelan—kayak lagi mikir dalam.

"Kutukan ini..." katanya pelan—hati-hati milih kata. "...kutukan ini kuat. Sangat kuat. Kutukan dari ratu kerajaan jin... itu bukan kutukan sembarangan. Ini... ini kutukan tertinggi."

Arsyan napasnya tertahan. "Jadi... jadi nggak ada cara ngilanginnya?"

"Ada. Selalu ada cara. Tapi..." Ustad Yahya natap Arsyan—tatapan serius. "...hanya yang mengutuk yang bisa cabut. Hanya Ratu Kirana yang bisa cabut kutukan ini."

Wulan nangis—tangan nutup muka. "Tapi Ibunda... Ibunda nggak akan mau... dia... dia keras... dia nggak akan—"

"Atau..." Ustad Yahya potong lembut. "...atau kamu pulang. Kalau kamu pulang ke kerajaan... kutukan akan hilang. Suamimu akan selamat."

Arsyan langsung natap Wulan—mata membelalak. "Nggak. Nggak. Wulan nggak akan pulang. Kita... kita akan cari cara lain—"

"Tidak ada cara lain, Nak." Ustad Yahya suaranya tegas tapi lembut. "Ini kutukan kerajaan. Hukumnya sudah ditetapkan. Hanya dua pilihan: Ratu Kirana cabut sendiri... atau Wulan pulang."

Arsyan jatuh lemas—kepala ditahan dua tangan—napas berantakan.

"Jadi... jadi nggak ada harapan? Gue... gue cuma bisa nunggu mati? Atau... atau ninggalin istri gue?"

Ustad Yahya diem lama—lalu dia berdiri—jalan ke rak kayu tua—ambil sesuatu—Al-Qur'an kecil—balik lagi—duduk.

"Nak Arsyan... dengerin baik-baik." Suaranya lebih serius sekarang. "Ada harapan. Selalu ada. Allah tidak akan biarkan hambanya yang berdoa dengan tulus... tanpa jawaban."

"Tapi Ustad bilang—"

"Aku bilang hanya dua cara untuk cabut kutukan. Tapi..." Ustad Yahya buka Al-Qur'an—jari tuanya ngelus halaman dengan lembut. "...aku tidak bilang kamu tidak bisa bertahan."

Hening.

"Maksud Ustad... gimana?" tanya Dzaki pelan.

"Doa, Nak. Doa adalah senjata paling kuat. Kalian harus berdoa. Terus berdoa. Jangan pernah berhenti. Berdoa untuk keajaiban. Berdoa untuk... untuk hati Ratu Kirana melunak."

Ustad Yahya natap Wulan—tatapan lembut.

"Kamu... kamu harus berdoa untuk Ibumu. Meskipun dia keras... dia tetap ibu. Dia tetap punya hati. Dan hati seorang ibu... bisa luluh kalau anaknya memohon dengan tulus."

Wulan nangis—nangis keras—tapi ngangguk.

Ustad Yahya kasih Al-Qur'an kecil itu ke Arsyan. "Ini. Baca surat Al-Baqarah ayat 286 setiap habis shalat. Dan baca surat Yasin setiap Jumat. Jangan pernah tinggalkan shalat—meskipun tubuhmu lemah. Allah... Allah akan kuatkan."

Arsyan terima Al-Qur'an itu dengan tangan gemetar. "Terima kasih, Ustad..."

"Dan ingat, Nak..." Ustad Yahya pegang bahu Arsyan pelan. "Jalannya berat. Sangat berat. Kamu akan merasakan sakit. Kamu akan merasakan putus asa. Tapi jangan pernah... jangan pernah berhenti berdoa. Karena doa orang yang tersakiti... adalah doa yang paling dikabulkan."

Arsyan ngangguk—air matanya jatuh.

Mereka duduk lama di sana—Ustad Yahya kasih mereka minum air zam-zam—kasih tasbih buat Wulan—kasih doa-doa yang harus dibaca.

Sore itu mereka pulang—dengan hati yang... sedikit lebih ringan.

Bukan karena masalah selesai—tapi karena... ada harapan. Meskipun kecil. Meskipun tipis.

Tapi harapan tetap harapan.

Di mobil—dalam perjalanan pulang—Arsyan pegang Al-Qur'an kecil itu erat.

"Wulan..." panggilnya pelan.

"Iya, Mas?" Wulan—yang duduk di belakang—condong dikit ke depan.

"Kita... kita akan berdoa. Kita akan terus berdoa. Sampai... sampai Allah kasih jalan."

Wulan nangis lagi—tapi senyum. "Iya, Mas. Kita... kita akan berdoa."

Dan malam itu—sampai di rumah—mereka berdua shalat Maghrib bareng.

Arsyan—meskipun lemah—tetep berdiri di depan. Wulan di belakang.

Dan pas sujud terakhir—Arsyan berdoa panjang—dalam hati—air matanya basahi sajadah.

*Ya Allah... aku lemah. Aku sakit. Aku... aku nggak kuat. Tapi aku mohon... beri aku waktu. Beri aku kesempatan. Untuk... untuk liat anak kami lahir. Untuk... untuk hidup bersama Wulan lebih lama. Kumohon... kumohon...*

Dan dari kejauhan—di Kerajaan Cahaya Rembulan—Ratu Kirana berdiri sendirian di balkon istana—merasakan sesuatu.

Sesuatu yang... aneh.

Dadanya sesak sebentar. Matanya berkaca-kaca—tapi dia kedip cepet—usir itu.

"Wulan..." bisiknya pelan—suaranya... bergetar sedikit. "Anakku..."

Tapi dia langsung menggeleng—muka dingin lagi—aura dingin lagi.

"Tidak. Aku tidak boleh lemah. Ini... ini demi kerajaan."

Tapi dalam hatinya—jauh di dalam—ada suara kecil yang bisik:

*Apa yang kamu lakukan... benar?*

Dan malam itu—dua dunia—dunia manusia dan dunia jin—sama-sama berdoa.

Sama-sama berharap.

Untuk keajaiban.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!