1927. Ini kisah tentang seorang garwo ampil (istri selir) yang melahirkan anak yang tak boleh memanggilnya ibu.
Ini kisah tentang lebarnya jurang bangsawan dan rakyat kecil,
tapi bukan semata-mata tentang ningrat yang angkuh atau selir yang hina.
Ini kisah tentang perempuan yang kehilangan haknya di era kolonial, terbentur oleh adat dan terkungkung kuasa lelaki.
Ini kisah tentang bagaimana perempuan belajar bertahan dalam diam, karena di masa itu, menangis pun tak akan menggetarkan hati siapapun yang haus akan derajat.
Dilarang plagiat, mengambil sebagian scene atau mendaur ulangnya menjadi bentuk apapun. Apabila melihat novel serupa, tolong lapor ke IG/FB: @hayisaaaroon.
Novel ini bukan untuk menghakimi, melainkan untuk menyuarakan mereka yang dibungkam sejarah; perempuan-perempuan yang terkubur dalam catatan kaki, yang hidupnya ditentukan oleh kehendak patriarki yang mengatasnamakan adat, agama, dan negara.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Hayisa Aaroon, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
27. Pabrik Sumberejo
"Mengerti," jawab Pariyem dengan suara gemetar, gemetar yang tidak perlu dia palsukan. Dia memang ketakutan.
"Bagus." Juniah berbalik, berjalan keluar. "Bersiaplah. Cepat, sebelum aku berubah pikiran."
Pintu tertutup. Langkah kaki menjauh.
Pariyem duduk sendirian. Napasnya terengah. Jantungnya berdetak begitu kencang. Tangannya masih mencengkeram kantong uang dengan erat.
Dia harus pergi. Sekarang. Sebelum terlambat.
Tapi kemana? Bagaimana caranya bertemu Marius? Terlalu banyak pertanyaan. Terlalu banyak ketidakpastian.
Tapi satu hal yang pasti, dia harus bertahan hidup. Apapun caranya.
\~\~\~
Sementara itu, di ujung lain kota, kereta mewah berlambang kadipaten melaju kencang memasuki halaman pabrik gula Sumberejo.
Derap kaki kuda yang keras menghentak tanah berbatu. Derak roda berputar cepat. Cambuk yang diayunkan keras memacu kuda-kuda itu berlari lebih cepat. Debu beterbangan.
Di depan kereta, empat orang pengawal berkuda berlari mendahului, mengenakan seragam hitam dengan emblem kadipaten di dada. Pedang terhunus di pinggang. Tombak di tangan.
"Minggir! Minggir!" teriak salah satu pengawal dengan suara keras yang menggelegar. "Gusti Bupati lewat! Minggir!"
Para pekerja pabrik yang masih berlalu-lalang di halaman berlarian menepi, berjongkok dengan kepala tertunduk dalam, membiarkan rombongan kereta bupati lewat.
Halaman pabrik gula Sumberejo sangat luas, membentang sejauh mata memandang. Di kiri kanan, tumpukan-tumpukan tebu setinggi orang dewasa berjejer rapi, menunggu untuk diproses.
Aroma manis tebu yang baru dipanen menguar kuat di udara, bercampur dengan bau asap dari cerobong pabrik yang menjulang tinggi.
Terdengar suara mesin uap yang menderu. Mesin-mesin raksasa yang menggiling tebu, memeras sarinya, memasaknya menjadi gula. Bunyi yang tidak pernah berhenti dari pagi sampai malam, mesin-mesin itu terus bekerja.
Para buruh dengan kulit yang terbakar matahari, tubuh kurus berotot, pakaian lusuh penuh keringat, masih mengangkut tebu dengan gerobak kayu.
Ada yang mendorong dari belakang, ada yang menarik dari depan. Otot-otot mereka menegang, wajah mengernyit menahan beban berat.
Di sudut halaman, tumpukan karung-karung gula kristal putih berjejer rapi, siap diangkut ke pelabuhan untuk diekspor. Ratusan karung. Kekayaan yang luar biasa.
Kereta bupati melaju menembus halaman luas itu dengan kecepatan penuh. Di kejauhan terlihat bangunan besar bergaya Eropa, kantor pabrik gula.
Bangunan dua lantai dengan dinding putih bersih, jendela-jendela besar berkaca, atap genteng merah yang tersusun rapi.
Tiang-tiang besar bergaya Yunani menopang serambi luas. Tangga lebar dari batu alam menuju pintu masuk yang megah.
Sangat berbeda dengan bangunan pabrik di belakangnya yang gelap, kotor, penuh asap dan debu.
Ini kantor untuk orang-orang penting. Untuk pemilik. Untuk pejabat. Untuk tamu-tamu terhormat.
Kereta bahkan belum berhenti sempurna ketika Soedarsono sudah membuka pintu dari dalam.
Dia melompat turun dengan gerakan yang sangat tidak elegan untuk seorang bupati. Hampir tersandung, tapi berhasil menjaga keseimbangan.
Beskap hitamnya sedikit kusut. Blangkon agak miring. Wajahnya pucat, keringat membasahi pelipis.
Tapi Soedarsono tidak peduli. Dia langsung berlari menaiki tangga batu menuju pintu kantor. Langkah tergesa, napas terengah.
Para pengawal yang baru turun dari kuda mereka saling pandang dengan bingung. Tidak biasa melihat bupati mereka bertindak seperti ini.
Di depan pintu besar kantor pabrik, seorang penjaga pribumi dengan seragam cokelat lengkap; topi, kemeja, celana panjang yang rapi langsung berdiri tegak. Mata membulat melihat bupati datang dengan tergesa seperti ini.
"Ndoro Gusti Bupati!" dia langsung membungkuk dalam, tangan membentuk sembah.
Tapi Soedarsono tidak berhenti. Dia langsung mendorong pintu. Langkahnya tergesa menyusuri lorong lebar dengan lantai marmer mengkilap.Wangi parfum mewah Eropa samar tercium.
Interior kantor pabrik sangat mewah, dinding dicat putih bersih, lukisan-lukisan pemandangan Belanda terpajang di kiri kanan, lampu kristal menggantung di langit-langit, pot-pot tanaman hias besar di sudut-sudut ruangan.
Di ujung lorong, ada meja resepsionis, meja besar dari kayu jati dengan permukaan yang mengkilap.
Di belakangnya duduk seorang pria pribumi berusia tiga puluhan, mengenakan kemeja putih rapi. Rambutnya disisir klimis dengan minyak rambut.
Dia sedang menulis sesuatu di buku besar ketika mendengar langkah kaki tergesa. Mendongak, mata langsung membulat melihat bupati berlari menuju mejanya.
Dia langsung berdiri, membungkuk dalam. "Selamat sore, Ndoro Gusti Bupati. Ada yang bisa saya—"
"Tuan van der Spoel!" potong Soedarsono dengan napas terengah. "Di mana Tuan van der Spoel? Saya harus bertemu dengan beliau. Sekarang. Sangat penting!"
Pria itu tersentak mendengar nada mendesak di suara bupati. "Tuan van der Spoel sedang di ruang kerjanya, Ndoro. Tapi beliau sedang—"
"Antar aku sekarang!"
"Tapi Ndoro—"
"Sekarang!" bentak Soedarsono dengan suara yang menggelegar.
Pria resepsionis itu langsung pucat. Tidak pernah melihat bupati yang biasanya sangat tenang dan sopan ini berteriak seperti ini.
"Ba-baik, Ndoro. Silakan ikut saya."
Dia berjalan cepat sambil membungkuk menuju tangga marmer di sudut lorong. Soedarsono mengikuti dengan langkah yang masih tergesa. Mereka naik ke lantai dua, langkah kaki bergema di tangga yang kosong.
Di lantai dua, lorong lebih sepi. Hanya ada beberapa pintu besar dengan papan nama di depannya. Lantai dilapisi karpet merah tebal yang meredam suara langkah.
Resepsionis itu berhenti di depan pintu paling ujung, pintu besar dari kayu mahoni dengan ukiran mewah. Papan nama terpasang dengan huruf-huruf emas:
Dhr. Johannes van der Spoel Directeur
Pria itu mengetuk pintu dengan pelan.
"Masuk!" Suara berat dari dalam, suara pria muda dengan aksen Belanda yang kental.
Resepsionis membuka pintu, menjulurkan kepala sedikit. "Tuan … Ndoro Gusti Bupati ada di sini. Beliau bilang sangat mendesak.”
Hening sejenak.
Lalu terdengar bunyi kursi bergeser. Langkah kaki mendekat.
Pintu dibuka lebih lebar.
Seorang pria Belanda berusia sekitar 27 tahun berdiri di sana, rambut cokelat terang tersisir rapi ke belakang, kumis tebal yang dipangkas rapi, mengenakan kemeja putih dengan rompi cokelat, celana panjang hitam, sepatu kulit yang bersih mengkilap.
Mata birunya melebar sedikit melihat Soedarsono yang berdiri dengan napas terengah, wajah pucat, keringat membasahi pelipis.
"Tuan Bupati," ucapnya dalam bahasa Belanda dengan nada khawatir. "Apa yang terjadi? Kau terlihat seperti baru saja lari dari harimau."
Soedarsono terkekeh pelan meski sorot matanya masih menunjukkan kepanikan. "Sesuatu yang lebih berbahaya daripada harimau, lebih tepatnya, Tuan Martin van der Spoel."
Mata biru Martin membulat. "Ah, menarik," ujarnya dengan senyum tipis yang penuh rasa ingin tahu. Dia melangkah mundur, membuka pintu lebih lebar. "Silakan masuk, Tuan Bupati. Mari kita bicarakan di dalam. Sosok apa itu yang lebih berbahaya daripada Harimau?"
Soedarsono masuk dengan langkah yang masih tergesa. Martin menutup pintu, semakin penasaran dengan sesuatu yang membuat Soedarsono ketakutan.
lengserke mertuamu