Senja merasa menderita dengan pernikahan yang terpaksa ia jalani bersama seorang CEO bernama Arsaka Bumantara. Pria yang menikahinya itu selalu membuatnya merasa terhina, hingga kehilangan kepercayaan diri. Namun sebuah kejadian membuat dunia berbalik seratus delapan puluh derajat. Bagaimana kisahnya
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Meylani Putri Putti, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Episode 27
Saka melangkah perlahan mendekati Senja. Tubuh perempuan itu tampak gemetar, napasnya tersengal, matanya menatap penuh waspada.
“Kamu... mau apa, Mas?” suaranya nyaris berbisik, parau menahan takut.
Saka tak menjawab. Ia hanya menarik napas panjang, lalu dengan gerakan cepat menggenggam tangan Senja dan menariknya ke arah ranjang. Senja berusaha melepaskan diri, meronta di antara dorongan panik dan marah.
"Mas lepasin, kamu mau apa?!" teriak Senja. Jantungnya berdegup kencang. Entah kenapa dia merasa ketakutan saat itu.
Pria itu tak menjawab, kedua tangannya merentangkan tangan Senja. Namun, Baru saja Saka hendak melepaskan kancing blues Senja, tiba-tiba—dug dug dug!
suara keras menggedor pintu, mengguncang keheningan kamar.
Senja terkejut, matanya membesar, sementara Saka terpaku, tubuhnya menegang di tempat.Keduanya sontak menoleh ke arah pintu. Suara gedoran itu masih menggema, membuat udara di antara mereka menegang. Saat Saka berbalik sekilas untuk memastikan siapa di luar, Senja melihat celah kecil itu, dan tanpa pikir panjang, ia mendorong tubuh Saka sekuat tenaga hingga pria itu terjatuh ke lantai.
Bruk..
Saka mendesis karena pinggangnya menghantam lantai.
Dengan napas terengah, Senja bangkit dan berlari menuju pintu. Tangannya bergetar saat memutar kenop, namun begitu pintu terbuka, ia langsung menerobos keluar dan di hadapannya berdiri Zein.
Tanpa sempat menjelaskan apa pun, Senja menatap Zein dengan mata berkaca. “Tolong... bawa aku pergi sekarang, Mas! ” pintanya dengan suara bergetar.
Zein hanya mengangguk cepat, membaca kepanikan di wajahnya. Ia menarik Senja masuk ke mobil. Dari belakang terdengar suara Saka memanggil namanya, namun Senja tak menoleh lagi. Begitu pintu mobil tertutup, tubuhnya gemetar hebat—antara takut, marah, dan lega yang bercampur menjadi satu.
"Jalan Mas!" titah Senja, ketika Senja melihat Saka tiba di depan pintu.
"I-iya baik!" Mobil Zein yang belum mati itu kembali meluncur.
Di dalam mobil suasana hening hanya dipecah oleh suara mesin yang meraung pelan. Zein menoleh sekilas, menatap Senja yang duduk kaku di kursi penumpang. Wajahnya pucat, tangan gemetar di pangkuan.
“Senja… sebenarnya tadi ada apa?” tanya Zein hati-hati, suaranya rendah dan lembut.
Namun Senja hanya menggeleng. Matanya menatap kosong ke luar jendela, menahan napas yang tersengal. “Aku… nggak mau ngomong sekarang, Mas. Tolong… antarkan aku ke rumah Rara,” ujarnya lirih, hampir tak terdengar.
Zein menatapnya sejenak, lalu mengangguk tanpa mendesak. “Baik. Aku antar ke sana, di mana alamatnya” katanya pelan. Ia menarik napas, berusaha menjaga nada suaranya tetap tenang. “Sebenarnya aku datang cuma mau ngembaliin dompet kamu yang ketinggalan di mobil. Tapi kayaknya aku datang di waktu yang tepat, ya?”
Senja tak menjawab, hanya menunduk. Matanya mulai basah, dan jemarinya mencengkeram kuat ujung rok yang kusut. Sementara mobil melaju menembus malam, Zein meliriknya lagi—dan di wajahnya terpantul campuran cemas dan marah yang ia pendam dalam diam.
Zein hanya mendesah panjang, sebenarnya ia penasaran dengan apa yang terjadi, tapi merasa tidak etis jika memaksa Senja terlihat trauma.
Selama perjalanan, suasana di dalam mobil terasa tegang dan sunyi. Hanya suara roda yang bergesekan dengan aspal yang terdengar pelan di antara detak jantung Senja yang masih belum tenang.
Di pangkuannya, ponsel bergetar berulang kali. Layar menyala menampilkan satu nama yang membuat dadanya serasa diremas — Saka.
Nada dering itu terus berulang, memecah keheningan di dalam mobil. Senja menatap layar itu lama, matanya berkaca, lalu dengan tangan gemetar ia menekan tombol “silent”. Tapi belum semenit berlalu, ponsel itu kembali bergetar.
Zein melirik sekilas. “Saka?” tanyanya pelan, nada suaranya menahan emosi.
Senja tak menjawab. Ia hanya menatap keluar jendela, seolah berharap suara itu berhenti dengan sendirinya. Nafasnya masih tersengal, dan setiap kali nada dering muncul lagi, tubuhnya kian menegang.
Zein menatap ke depan, menggenggam kemudi lebih kuat. Ia tak berkata apa pun lagi, tapi sorot matanya menajam — ada amarah yang ditahannya rapat demi menjaga ketenangan Senja.
---
Sekitar dua puluh menit, mereka tiba sampainya di kost Rara, Zein segera membantu Senja turun dari mobil. Tubuh wanita itu masih gemetar.
Rara yang melihat kedatangan sahabatnya itu langsung menghampiri dengan wajah heran dan cemas.
“Senja? Kok kamu pucat begini? Ada apa?” tanyanya sambil meraih tangan Senja masuk ke dalam rumah.
"Aku gak tahu apa yang terjadi pada Senja, dia gak mau cerita! Sepertinya dia dan Saka bertengkar," Ucap Zein seolah ingin menjawab pertanyaan Rara.
Rara menghela napas panjang. "Padahal aku baru saja nyampe loh, mas. Nganterin dia."
"Iya, kamu temani saja Senja, dia sepertinya butuh teman, aku permisi dulu, ya!"
"I-iya, Mas, Terima kasih!"
Setelah Zein undur diri, Rara mengajak sahabatnya itu ke kamar, Senja langsung duduk di tepi ranjang.
"Sekarang, cuma ada kita berdua, kamu cerita, ya! Apa yang terjadi sama kamu?*
Butuh waktu lama sebelum ia akhirnya berbicara. Suaranya lirih, bergetar di sela napas yang masih tak teratur.
“Ra… aku takut… tadi Saka… hampir—” suaranya terhenti, tenggorokannya tercekat, air matanya jatuh tanpa bisa ditahan.
Rara terdiam, wajahnya berubah serius. Ia meraih tangan Senja, menggenggamnya erat. “Hei… kamu di sini aman, ya? Sekarang udah nggak apa-apa. Tenang dulu…” ucapnya lembut.
"Aku hampir di perk*s4 suamiku, Ra! Tangis Senja pecah.
Rara memeluknya erat. Tak ada kata-kata yang cukup untuk menggambarkan ketakutannya malam itu, karena menyimpan trauma yang pernah terjadi saat ia hampir di lecehkan para pemuda mabuk itu.
"Sudah.. kamu tenang saja, besok kita cari solusinya. Mungkin saja, gak bermaksud memaksa kamu, dia minta haknya kali!"
Senja menghapus air matanya... "Gak, sepertinya dia sengaja melakukan itu hanya untuk menyakiti aku, Ra! Diakan gak butuh aku.. " ujarnya sambil terisak. "Dia marah aku gak menuruti keinginannya, aku yakin banget dia punya niat jahat," ujar Senja sambil tersedu-sedu.
Rara mengusap punggung tangannya. "Ya sudah, pokoknya kamu tenang dulu, nanti kita bicara lagi, ya! sekarang aku buatin kamu minum, biar kita ngobrol enak," bujuknya.
Senja mengangguk setuju.
Sementara itu, sepulang dari rumah Rara, Zein kembali ke rumah Senja, bermaksud menemui Saka.
--- maaf ya, reader author baru up, kemaren sakit beberapa hari----🙏