NovelToon NovelToon
Blood & Oath

Blood & Oath

Status: sedang berlangsung
Genre:Kehidupan Tentara / Perperangan / Fantasi Timur / Action / Fantasi / Balas dendam dan Kelahiran Kembali
Popularitas:671
Nilai: 5
Nama Author: Ryan Dee

Tharion, sebuah benua besar yang memiliki berbagai macam ekosistem yang dipisahkan menjadi 4 region besar.

Heartstone, Duskrealm, Iron coast, dan Sunspire.

4 region ini masing masing dipimpin oleh keluarga- yang berpengaruh dalam pembentukan pemerintahan di Tharion.

Akankah 4 region ini tetap hidup berdampingan dalam harmoni atau malah akan berakhir dalam pertempuran berdarah?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ryan Dee, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Act 15 - Blazing fire

Aku terpaku sesaat melihat Celeste dan Galland datang tiba-tiba—dan tanpa ragu, mereka menumbangkan dua pria bertudung dalam sekejap.

> “Tidak ada jalan kembali…” ucap Celeste lirih.

Namun dari balik bayangan, pria bertudung terakhir melompat dengan belati terhunus.

Aku berlari, menghunus pedang, menarik perisai dari punggung, dan menghantamnya tepat di dada. Tubuhnya terhempas, dan sebelum ia sempat bangkit, tebasanku mengakhiri nyawanya.

Aku berdiri mematung sesaat.

> "Mengapa mereka jatuh begitu mudah…?" pikirku. Ada yang tak wajar di sini.

---

Tiba-tiba — BRAAKK!

Sebuah pukulan berat menghantam perisaiku dari samping. Makhluk besar itu menyerang tanpa peringatan. Aku menahan sekuat tenaga, tapi dorongannya seperti palu raksasa — tubuhku terpental, menembus dinding kayu hingga debu beterbangan.

Celeste berputar, menyerang balik dengan ayunan kapak. Tapi monster itu menyambutnya dengan gerakan yang tidak sepadan dengan tubuhnya—cepat, beringas.

Sekali sapuan lengannya, Celeste terhempas ke salah satu bangunan, suaranya tertelan reruntuhan.

> “Celeste!” teriakku.

Suara shushh... tankk! menggema dari atas. Anak panah Galland melesat cepat—tapi dengan refleks tak wajar, monster itu menangkis semuanya.

Galland tertegun.

> “Kecepatannya… makhluk sebesar itu tak mungkin secepat ini!”

Monster itu menatap ke arahnya. Dalam sekejap, ia melompat—atap rumah retak, kayu pecah berhamburan. Galland melompat turun untuk menghindar, tapi sebelum kakinya menyentuh tanah, makhluk itu menerjang, menghantam tembok dan menghujam keluar untuk menyerangnya.

> “Awas!”

Aku menarik Galland ke belakang tepat sebelum serangan itu menghantam.

Benturan hebat membuat udara bergetar. Aku menahan serangan itu dengan perisai—dan lagi-lagi terpental keras menabrak tembok.

Galland berusaha mundur, ingin mengatur jarak. Tapi monster itu terus mengejarnya, menghantam perutnya dengan kepalan besar.

> “Ugh!” Galland terhempas ke tanah, tubuhnya bergetar menahan rasa sakit.

---

🌫️ Di Gerbang Utama

Sementara itu, di sisi lain kota.

> “Haruskah kita menunggu mereka kembali?” tanya Sandel, menatap gelapnya jalan.

Zein menghela napas.

> “Kita tetap ikuti rencana awal. Keadaan sudah di luar perkiraan.”

“Baiklah, ayo ki—”

Ledakan keras memotong kalimatnya.

DUARRR! Cahaya oranye menyala dari tengah kota.

Keduanya saling pandang, terkejut.

> “I-itu arah di mana James pergi, bukan?” ujar Sandel, wajahnya menegang.

“Ayo!”

Zein berlari secepat mungkin, menarik perisai. Sandel mengikutinya tanpa sepatah kata, hanya bayangan cemas di matanya.

---

🏙️ Di Menara Tengah Kota

Darah mengalir di keningku. Setiap langkah terasa berat.

> “Sial…” gumamku, mengusap darah dengan punggung tangan.

Galland terbaring di tanah, hampir tak bergerak. Aku berlari ke depan, pedang terangkat tinggi.

Tankk!

Pedangku menghantam lengan monster itu.

> “A-apa ini… sekeras baja!” desisku, kaget.

Monster itu membalas dengan tinju besar. Aku berputar menghindar, napas tersengal.

Tiba-tiba suara langkah logam menggema di belakang.

> “Zein!”

Perisainya menghantam tubuh monster itu dengan keras, dorongannya begitu kuat hingga makhluk itu mundur beberapa langkah.

Dari belakang Zein, Sandel melompat—pedangnya berkilat, mengarah tepat ke kepala monster itu.

Makhluk itu menangkis dan melompat mundur, suara benturan logam bergema di udara.

> “Pergilah bantu Celeste! Aku dan Zein akan tahan ini!” teriak Sandel.

Aku mengangguk, segera berlari ke arah reruntuhan tempat Celeste terlempar. Di sana, dia tengah bertarung dengan seorang knight berarmor hijau zamrud, armor itu dihiasi coral bercahaya yang menjalar di sepanjang pelatnya—dan di dadanya terpampang jelas sigil naga hijau, lambang kebanggaan House Dornath.

Kapaknya beradu dengan pedang sang knight. Dentingan logam menggema tajam.

Perbedaan kekuatan dan teknik perlahan terlihat; Celeste mulai terdesak, lalu satu tendangan keras membuatnya terjatuh.

Aku melompat untuk membantu, menyerang dari sisi. Tapi ayunanku ditepis dengan mudah.

Mata hijau di balik helmnya menatap tajam ke arahku—tatapan yang terasa… familier.

> “Siapa kalian?! Apa yang kalian lakukan di wilayah Frostmarch?!” seruku sambil menahan tekanan pedangnya.

Knight itu memutar pedangnya, lalu menendangku mundur dua langkah.

Suara lembut namun dingin keluar dari balik helmnya.

“Tak kusangka… aku akan bertemu denganmu di tempat seperti ini.”

Serangan berikutnya datang lebih cepat, lebih tajam. Aku berusaha menahan dengan pedangku, tapi kekuatannya membuat genggamanku terlepas—bilahnya terpental jauh, menghilang di antara reruntuhan.

Aku mundur, kini hanya bersenjatakan perisai.

Knight itu menyerang tanpa henti. Aku bertahan sekuat tenaga, memantulkan setiap tebasan dengan perisai logamku. Dentuman logam bergema di antara bangunan yang hancur.

> “Celeste! Pergilah bantu Zein dan Sandel! Mereka butuhmu!” teriakku di sela-sela pertarungan.

Celeste terdiam sejenak, lalu mengangguk. Tanpa ragu ia berlari meninggalkanku, menuju suara benturan lain di kejauhan.

Knight itu memanfaatkan celah. Sebuah tebasan diagonal memecah udara—aku memutar perisai, menangkis. Getarannya menyusup ke tulang.

Dengan dorongan cepat, aku menghantamkan perisai ke dadanya. Ia mundur setapak, tapi langsung membalas. Kami saling menekan, perisai dan pedang beradu, saling mengunci.

Ia menendang, aku bertahan—lalu menyapu kakinya. Ia jatuh.

Tanpa ragu, aku melompat di atasnya, mengangkat perisai tinggi, berniat menghantam helmnya.

Ia menahan dengan kedua tangannya, kekuatan kami beradu sengit.

Dari balik helm, mata hijaunya memantulkan api pertempuran.

Tiba-tiba—

Shuushh!

Suara tajam menembus udara. Aku memutar perisai untuk menahan—DUAARR!

Benturan udara menghantamku, melemparku ke belakang. Dinding di belakangku retak. Aku terhuyung, napas memburu.

> “Apa itu tadi…?”

Di udara, hanya samar pusaran angin, membentuk jejak seolah panah tak kasat mata. Kuat. Cepat. Mematikan.

Pikiranku melayang ke awal pertempuran — ke wanita bergaun hijau yang sempat kulihat berlari menuju menara.

> “Jadi… dia seorang penyihir.”

---

🧿 Di Dalam Menara

Dalam ruangan remang, wanita itu berdiri di hadapan jendela terbuka.

Tangannya membentuk gestur busur dan anak panah. Udara di sekelilingnya bergetar, berdenyut bersama cahaya zamrud.

Perlahan, busur tembus pandang dari udara padat terbentuk di tangannya, berkilau halus di bawah cahaya bulan.

Ia menarik “tali busur” itu—udara memekik. Tekanan membentuk pusaran di sekitarnya.

SHUUUSHH!

Anak panah angin melesat, meninggalkan shockwave yang mengguncang menara.

---

Di salah satu bangunan yang hampir runtuh, aku berusaha bangkit.

Debu, darah, dan suara perang bercampur jadi satu.

> “Keadaan makin kacau…” napasku berat.

“Jika terus begini… kita akan kalah.”

Ledakan besar tadi membelah keheningan kota. Api menjalar cepat di antara bangunan tua, menelan kayu dan batu satu per satu. Asap tebal menutup langit, cahaya merah oranye berkobar di mana-mana, memantulkan bayangan kota yang sekarat.

Aku berdiri di tengah reruntuhan, napas berat, pandangan mengabur oleh debu dan panas.

> "Kemana para penjaga kota sebenarnya?"

Tidak ada satu pun yang datang membantu. Padahal, mustahil ledakan sebesar itu tak terdengar hingga ke distrik sebelah.

Ada yang tidak beres di sini.

Aku berusaha menenangkan diri, tapi tiba-tiba pandangan ku bergetar. Gambar samar muncul di kepalaku — bukan halusinasi, tapi seperti kenangan.

> “Bersiaplah!”

Suara itu dalam dan penuh wibawa. Aku melihat diriku... bukan, seseorang dengan tubuh mirip milikku, berdiri di tengah arena latihan.

Ia menghunus pedang, dan di hadapannya berdiri seorang pria tua dengan jubah hitam dan simbol Thariel di bahunya.

Duel mereka berlangsung cepat — terlalu cepat untuk diikuti mata. Setiap gerakan presisi, setiap langkah penuh perhitungan. Tak ada ruang bagi kesalahan. Hingga akhirnya, sosok itu menjatuhkan pedang lawannya.

> “Kau sudah tumbuh menjadi knight yang kuat, Lord Thariel.”

“Terima kasih, Guru. Dan... jangan panggil aku Lord. Cukup Jayle saja.”

“Tapi bagaimanapun, aku tetap bawahan keluarga Thariel.”

Lalu semuanya menghilang.

Aku terdiam.

Ingatan itu bukan milikku… tapi aku bisa merasakan setiap gerakan, setiap napas, seolah aku sendiri yang mengalaminya.

> “Mungkinkah... itu milik ayahku?”

Seketika, tubuhku terasa ringan. Denyut darah di nadi melambat, tapi dunia di sekitarku justru bergerak lebih lambat lagi. Aku bisa melihat setiap percikan api, setiap debu yang jatuh ke tanah.

Refleks ku… meningkat drastis.

Di kejauhan, sosok berarmor hijau itu berdiri tegak. Sigil naga Dornath terpampang jelas di dadanya. Ia menggenggam pedang panjang, langkahnya mantap menuju ke arahku.

Di atas dada armor itu, cahaya hijau memantul dari api yang berkobar.

Aku menarik napas panjang.

Pedangku masih tergeletak tak jauh darinya.

Dan aku hanya memiliki perisai di tangan.

Tapi aku sudah memutuskan. Aku tidak akan mundur.

Aku melangkah keluar dari reruntuhan, pelan namun pasti. Ia pun melakukan hal yang sama.

Kami berjalan saling mendekat, langkah demi langkah, seperti dua pejuang yang tahu — hanya satu yang akan meninggalkan tempat ini hidup-hidup.

Aku tahu, ada penyihir di atas menara yang akan menembakkan panah anginnya kapan saja. Aku harus memberi tahu yang lain.

Aku merobek sebagian peta yang kusimpan di saku, menulis pesan singkat dengan darah dari keningku:

> “Di atas menara.”

Kertas itu kubungkus dengan batu kecil, siap dilempar.

Begitu jarak kami cukup dekat, knight itu menyerang terlebih dahulu. Aku menghindar ke samping, berguling di tanah, dan lemparkan kertas itu ke arah Celeste.

Batu itu berhenti tepat di depannya. Ia membungkuk, membaca pesan itu, lalu menatap ke arahku — mengangguk paham.

Sementara aku terus bertarung, panah angin melesat dari atas menara. Suara “shush” diikuti ledakan tekanan udara di setiap tembakan.

Aku harus menghindari dua serangan sekaligus — pedang dari depan, panah dari atas.

Aku berguling ke samping, meraih pedangku yang tergeletak di tanah, lalu membalas tebasan lawanku.

Benturan logam memercikkan api kecil.

Namun, lagi-lagi panah udara melesat — aku terpaksa melompat mundur untuk bertahan.

> “Jika terus seperti ini, aku tidak akan bisa menang.”

Aku menoleh sekilas — Celeste sudah bergerak. Ia berlari di atas atap, menyeimbangkan tubuhnya di antara reruntuhan, lalu melompat ke jendela menara.

---

POV Celeste

Aku berhasil masuk ke dalam. Udara di sini berputar kencang, seolah seluruh ruangan hidup dan bernafas.

Di tengah ruangan, seorang wanita berdiri. Gaunnya berwarna hijau zamrud, rambutnya merah menyala seperti bara api, dan di tangannya… busur tembus pandang, terbentuk dari udara yang dipadatkan.

Matanya menatapku. Ia mengayunkan tangannya, dan hembusan angin menghantam tubuhku.

Aku terpental ke dinding, menghantam batu keras, lalu terjatuh.

Belum sempat bangkit, ia sudah menarik busurnya lagi.

> “Shush… DUAR!”

Aku berguling ke samping, dan panah udara itu menembus tembok menara. Batu yang kukira keras ternyata hancur seperti tanah liat.

> “Panah sekuat itu... bisa menembus batu solid?”

Ini bukan sihir biasa.

Aku mencengkeram kapak dan bersiap lagi.

---

POV James

Begitu Celeste masuk ke menara, panah-panah itu berhenti.

Sekarang hanya aku dan knight hijau itu.

Ia kembali menyerang. Aku menangkis setiap tebasannya dengan presisi.

Tubuhku bergerak sendiri, mengingat pola serangan dari ingatan tadi.

Setiap ayunan terasa alami, setiap langkah terarah.

Aku tahu kemana harus menghindar, kapan harus membalas.

Kami beradu pedang dalam rentetan kilatan logam.

Lalu — celah kecil.

Aku menebas ke arah dada.

Benturan keras terdengar, lalu darah memercik.

Knight itu mundur beberapa langkah, satu tangan menahan luka di dadanya.

> “Ugh… sial!”

Ia menjatuhkan helmnya. Rambut cokelat kehijauan terurai, dan wajahnya…

Aku mengenal sorot mata itu.

> “Aku Lord Draken Morwyne! Anak dari Draco Morwyne! Pemimpin Knight of Dornath Crag! Berani-beraninya kau melukaiku!”

Suara itu menggema di antara api dan debu.

Nama Morwyne.

Darah Dornath.

Keturunan langsung dari salah satu sekutu terbesar House Draemir.

Aku menatapnya lekat-lekat.

> “Draco... jadi ini yang kau sembunyikan.”

Ia masih memegangi pedangnya, meski tangannya bergetar.

Aku tahu pertarungan ini sudah berakhir.

Aku melangkah maju, pedang terangkat.

Ia mencoba menahan, tapi terlalu lambat.

Sragh—

Pedangku menebas lehernya. Darah mengucur deras, membasahi armor hijaunya yang berkilau dalam cahaya api.

Tubuhnya berlutut, mata hijau itu perlahan memudar.

Dan dalam hening, ia jatuh — bersimbah darah, mata terbuka menatap langit yang terbakar.

Aku berdiri diam. Nafasku berat.

Tangan bergetar di antara kobaran api.

> “Ayah... siapa sebenarnya kau?”

Di kejauhan, menara bergetar — pertanda pertarungan Celeste masih berlanjut.

Api terus menyala, dan malam belum berakhir.

1
Mr. Wilhelm
kesimpulanku, ini novel hampir 100 persen pake bantuan ai
Ryan R Dee: sebenernya itu begitu tuh tujuannya karena itu tuh cuma sejenis montage gitu kak, kata kompilasi dari serangan disini dan disana jadi gak ada kata pengantar buat transisi ke tempat selanjutnya, tapi nanti aku coba revisi ya kak, soalnya sekarang lagi ngejar chapter 3 dulu buat rilis sebulan kedepan soalnya bakalan sibuk diluar nanti
total 7 replies
Mr. Wilhelm
transisi berat terlalu cepat
Mr. Wilhelm
Transisinya jelek kyak teleport padahal narasi dan pembawaannya bagus, tapi entah knapa author enggak mengerti transisi pake judul kayak gtu itu jelek.
Ryan R Dee: baik kak terimakasih atas kritik nya
total 1 replies
Mr. Wilhelm
lebih bagus pakai narasi jangan diberi judul fb kek gni.
Mr. Wilhelm
sejauh ini bagus, walaupun ada red flag ini pake bantuan ai karena tanda em dashnya.

Karena kebnyakan novel pke bantuan ai itu bnyak yg pke tanda itu akhir2 ini.

Tapi aku coba positif thinking aja
perayababiipolca
Thor, aku hampir kehabisan kesabaran nih, kapan update lagi?
Farah Syaikha
🤔😭😭 Akhirnya tamat juga, sedih tapi puas, terima kasih, author.
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!