Terpaksa Menjadi Pengganti Kembaranku

"Kamu mau kemana, Angelika?"

Gerakan tangan Angelika saat akan menarik knop pintu terhenti ketika ia mendengar suara Dean bertanya, membuat ia membalikkan badan dan mendapati Dean tengah menatapnya dengan tatapan yang tidak bisa ia artikan.

Pandangan Dean turun ke koper yang ada di tangan Angelika, lalu kembali menatap wajah wanitanya.

"Kamu mau pergi?" tanya Dean.

"Ya," Angelika menjawab singkat.

"Mengapa?" tanya Dean.

Angelika tidak segera memberikan jawaban, netranya menatap lekat wajah Dean yang kini terlihat berbeda usai perdebatan yang terjadi di antara mereka tempo hari.

"Kurasa... Itu bukan lagi menjadi urusanmu, Dean. Kau tahu jelas apa alasan aku harus pergi bukan?"

Pertanyaan yang dilontarkan Angelika membuat Dean memejamkan mata sejenak. Pikirannya kembali terlempar ke saat di mana ia mendengar pengakuan wanitanya yang mengatakan bahwa Leonardo yang ia kenal adalah suami wanitanya.

"Aku yang membuat kebetulan itu terjadi, lalu?" ucap Angelika saat itu sambil melipat kedua tangannya.

"Yang kamu lihat bukan aku, tapi orang lain yang menggunakan namaku, menempati posisiku, dan ingin mengambil apa yang menjadi milikku."

"Aku diam hanya karena ingin melihat sampai sejauh mana dia ingin bermain."

"Kenapa kamu membiarkan dia melakukan hal seperti itu padamu?" sambut Dean tidak rela.

"Karena aku ada di sini, bersamamu," jawab Angelika.

Dean terbungkam, tangan yang sebelumnya menggenggam tangan Angelika terlepas saat ia mencerna kalimat yang Angelika ucapkan, seakan alasan mengapa wanita berwajah sama dengan Angelika berada di posisinya sekarang karena Angelika tinggal bersamanya. Itu artinya, semua itu adalah salahnya. Kepala Dean menunduk dalam.

"Dan sekarang, sudah saatnya bagiku untuk kembali dan merebut kembali apa yang menjadi milikku," ucap Angelika lagi.

Wajah Dean seketika terangkat, menatap wanitanya dengan tatapan tidak rela jika waitanya pergi darinya.

"Lalu, hubungan kita..."

"Hubungan ini sejak awal tidak seharusnya ada," potong Angelika.

"Kamu mungkin tidak suka bermain-main dalam sebuah hubungan, tapi aku bukanlah dirimu, Dean."

Netra Dean menatap wanitanya dengan rasa tak percaya. Bagaimana bisa Angelika mengatakan kalimat itu tanpa beban. Ia tahu dan ia sadar apa yang kini ia lakukan adalah salah. Tapi...

"Sampai jumpa lagi, Dean. Kau bisa menghubungiku lagi jika kau mau."

Dean tersentak, suara Angelika menyadarkan ia dari lamunan singkatnya.

"Tunggu!" cegah Dean.

Angelika urung membalikkan badan, kembali mengarahkan pandangan pada Dean yang kini melangkah mendekat dengan alis terangkat.

"Apakah Leonardo Sylvain adalah suamimu?" tanya Dean.

Hening itu hanya sesaat menyelimuti keduanya, tetapi terasa begitu lama bagi Dean dengan harapan bahwa ia akan mendapatkan jawaban yang ia inginkan.

"Ya."

Jawaban yang sukses membuat Dean terhempas ke bawah meski ia sudah menduga jawaban itu akan keluar dari mulut Angelika. Pada awalnya, ia ingin mempertahankan Angelika bagaimanapun caranya sekaligus menumbuhkan cinta di hati wanita itu. Tetapi, saat ia melihat wajah wanita yang berstatus sebagai istri sahabatnya dan ditambah dengan pengakuan Angelika sendiri jika wanita itu merebut posisi Angelika, membuat ia memikirkan ulang tindakannya.

Mungkin Angelika tidak mencintai sahabatnya, tapi ia bisa melihat ketulusan yang sahabatnya berikan pada wanita itu.

Haruskah ia mengkhianati sahabatnya sendiri?

Tubuh Dean membeku di tempat, tidak lagi menahan Angelika pergi meninggalkan apartemennya, dan dalam sekejap saja apartemen itu berubah dingin seakan kehilangan nyawa. Hingga pria itu tidak menyadari, sesaat sebelum Angelika menutup pintu apartemen, seringai licik terbentuk di bibir tipis Angelika.

.

.

.

Di bawah teriknya mentari yang menyinari bumi, Angelika melangkahkan kakinya keluar dari bandara sesaat setelah pesawat yang ia tumpangi mendarat di kota dimana ia serta Leon tinggal. Kedua matanya yang dibingkai kacamata hitam membuat wajahnya sedikit tersamarkan.

Sejenak, Angelika mengedarkan pandangan seakan mencari seseorang, menarik napas dalam-dalam, dan menghembuskannya dengan kasar saat apa yang ia cari tidak terlihat, lalu mengangkat satu tangannya untuk memanggil taksi.

Begitu ia berada di dalam taksi, ia menyebutkan sebuah alamat pada si sopir, alamat yang jelas bukan alamat rumah suaminya, melainkan alamat sebuah apartemen mewah yang ia beli tanpa sepengetahuan siapapun, dan taksi itu pun melaju meninggalkan bandara. Tidak ada sedikitpun niat di hati Angelika untuk kembali pada suaminya.

Bersenang-senang.

Hanya itu yang ada di dalam pikiran Angelika saat ini. Pergi ke night club, hangout bersama teman-temannya yang sebagian besar adalah pria, dan minum sepuasnya tanpa takut ketahuan saat mengingat Angelina masih menggantikan posisinya.

Namun, suasana hatinya mendadak berubah saat taksi yang ia tumpangi melewati sebuah toko bunga dan melihat Leon keluar dari toko itu dengan buket bunga besar di tangan.

Wajah suaminya bahkan terlihat berseri sambil memandang bunga di tangannya sebelum masuk ke dalam mobil, ekspresi yang tidak pernah ia lihat sepanjang usia pernikahan mereka.

"Ikuti mobil itu," perintah Angelika pada sopir taksi .

Apa yang kini tengah ia lihat mau tak mau mengusik hatinya. Ia bahkan mulai merasakan emosi yang ia sendiri tidak tahu berasal dari mana dengan satu pertanyaan yang mulai mengisi kepalanya.

Mengapa suaminya berada di luar kantor di jam kerja?

. . . .

. . . .

To be continued...