"Tolong mas, jelaskan padaku tentang apa yang kamu lakukan tadi pada Sophi!" Renata berdiri menatap Fauzan dengan sorot dingin dan menuntut. Dadanya bergemuruh ngilu, saat sekelebat bayangan suaminya yang tengah memeluk Sophi dari belakang dengan mesra kembali menari-nari di kepalanya.
"Baiklah kalau tidak mau bicara, biar aku saja yang mencari tahu dengan caraku sendiri!" Seru Renata dengan sorot mata dingin. Keterdiaman Fauzan adalah sebuah jawaban, kalau antara suaminya dengan Sophia ada sesuatu yang telah terjadi tanpa sepengetahuannya.
Apa yang telah terjadi antara Fauzan dan Sophia?
Ikuti kisahnya!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon 𝐈𝐩𝐞𝐫'𝐒, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab. 30
Sony menatap wajah Embun yang sedari tadi hanya menunduk, membolak balik lembar kertas yang masih kosong. "Kakak kenapa?" Sony menggeser kursi lebih dekat pada Embun.
Seketika Embun menoleh, "Dia siapa Pi? apa papi sudah lama mengenalnya?" Embun jawab pertanyaan Sony dengan todongan pertanyaan. Remaja itu tersenyum kecut, "Aku hanya mau mami, kalaupun itu bukan mami seenggaknya bukan perempuan seperti dia." Ucapnya tegas tanpa keraguan, tak ada sedikitpun menunjukkan kalau ia adalah remaja yang baru berusia dua belas tahun.
Sony terkesiap, tangannya mengelus puncak kepala Embun. "Menurut kakak papi gimana hm? papi sudah lama kenal aunty Clara bahkan sebelum mengenal mami, tapi hanya sebatas kenal sebagai anak dari sahabat oma tidak lebih. Kalaupun sekarang kakak merasa ada sesuatu dan mengganjal hati kakak cerita lah sama papi, mau kan?"
Embun anggukkan kepalanya bersamaan dengan air matanya yang bercucuran, ia menghambur memeluk Sony. "Aku hanya enggak mau kasih sayang papi buatku sama adek direbut orang, mam-mi sud-dah enggak ada dan enggak mau kehilangan sosok papi juga, hiks. Aku suka sedih saat ada acara sekolahku atau acaranya adek orang-orang di antar ibunya tertawa bahagia sedangkan aku enggak, hiks."
"Maafin papi, maaf papi belum bisa jadi ayah yang baik yang selalu ada buat kakak dan adek. Papi selalu disibukkan pekerjaan, tapi asal kakak tahu papi kerja keras juga buat masa depan kakak sama adek." Sony mengeratkan pelukannya, berulang kali ia menciumi puncak kepala Embun yang terus terisak di dadanya. Perasaan bersalah kian menyesak memenuhi dada, selama ini ia tak pernah menyelami sedalam apa kehilangan dan kesedihan Embun yang terlihat kuat bahkan menjadi kakak yang tegas dan disiplin buat Mentari, tapi ternyata dibalik sikap itu putrinya menyimpan luka yang mendalam, luka kehilangan sosok ibu yang sangat ia butuhkan terlebih dimasa usianya sekarang.
Dia dipaksa mandiri dan kuat oleh keadaan, meski kasih sayang dari kedua neneknya begitu besar namun peran ibu takkan pernah bisa digantikan siapapun meski oleh perempuan yang melahirkan ibunya sekalipun.
Sony meregangkan pelukannya, menatap wajah Embun yang masih memerah. "Kakak mau kan memaafkan papi?" Tanya Sony memastikan.
Embun menganggukkan kepala, "Iya, aku maafin papi. Tapi jangan sibuk-sibuk lagi dan kalau bisa papi jangan nikah sama aunty itu, aku enggak suka. Dia terlalu seksi, pinter cari muka dan pinter cari perhatian." Ucapnya ketus.
Bukannya marah saat mendengar ulti dari Embun, Sony malah terkekeh sambil mengacak puncak kepala putrinya itu. "Kak, memangnya nikah semudah itu? Kamu ini ada-ada saja."
"Aku serius pi!"
"Iya, papi tahu. Percaya sama papi! Sekarang kakak cuci muka dulu kita turun sama-sama dan gabung makan. Kita sebagai tuan rumah harus menghormati tamu terlepas apapun niat dari si tamu itu." Sony berdiri mengedarkan pandangannya ke setiap sudut ruangan. Baru sadar kalau Mentari sudah tidak ada.
"Kak, tadi adek kemana ya? Kok enggak ada!"
"Enggak tahu!"
"Papi nyari adek dulu ya! Takutnya keluar dari rumah." Tanpa menunggu jawaban Embun Sony langsung meninggalkan kamar putrinya, ia tergesa menuruni tangga dengan mata yang awas mencari keberadaan putri bungsunya.
"Ma! Apa mama lihat Men...." Pertanyaan Sony kandas saat ekor matanya melihat Mentari tengah duduk di suapi Clara.
"Ada apa Son?" Bu Retno menghampiri Sony yang berdiri mematung, perempuan paruh baya itu mengikuti arah tatapan putranya yang tertuju ke arah meja makan dimana Mentari tengah tertawa bersama Clara yang telaten menyuapinya.
"Enggak apa-apa, tadi aku nyari Mentari soalnya hilang dari kamar tahunya lagi makan." Sony mengembus napasnya, "Aku ke atas dulu ma, manggil Embun." Kilahnya seraya kembali menaiki undakan tangga.
.
.
.
Satu koper yang hendak di bawa esok sudah selesai di letakkan di ruang tengah. Renata menatapnya dengan senyum yang sedari tadi terus mengembang, tak ada raut lelah meski sepulang dari rumah sakit ia langsung pergi belanja barang-barang yang akan dibawa besok untuk oleh-oleh pulang kampung.
Bayang keterkejutan orang tuanya terus menari di pelupuk mata dan itu menjadi kebahagiaan yang tak bisa diungkapkan dengan kata-kata. Bukan satu atau dua bulan ia tak menginjakkan kaki di tanah kelahirannya, melainkan hampir satu tahun.
"Maass! Taksinya sudah datang, ayo!" Seru Renata sembari menarik kopernya.
"Iya sayang, sebentar! Ibu nelepon nanyain jadi berangkat enggaknya." Fauzan melangkah menyusul Renata dn mengambil alih kopernya. "Apa Bu? Demam! dari kapan? Astaghfirullah, sebaiknya langsung bawa saja ke dokter sekarang! Nanti aku telepon lagi ini baru mau naik taksi ke bandara, assalamualaikum." Fauzan mengakhiri panggilannya bersamaan dengan membuka pintu mobil, memilih duduk di jok belakang bersama Renata yang lebih dulu naik.
"Mas, siapa yang sakit?"
"Kia, dia demam dari subuh katanya." Fauzan mengembus napas berat, disaat dia mau liburan pulang kampung malah mendengar kabar kurang mengenakkan padahal kemarin baik-baik saja.
"Kakak demam juga?" Renata memiringkan badannya menghadap Fauzan yang kini matanya fokus pada layar dan berbalas pesan.
"Alhamdulillah kakak enggak cuma Kia aja." Sahutnya menoleh sekilas.
"Kalau begitu segera bawa ke dokter dan nanti jangan dulu di dekatkan Azka dan Azkia nya, mereka harus tidur terpisah takutnya Azka ketularan demam."
"Ini lagi otw ke dokter, kayaknya ibu harus punya sopir karena tidak mungkin bapak yang harus antar kemana-mana sedangkan bapak juga sudah tidak muda lagi." Fauzan menyandarkan punggungnya, ia menatap lurus ke depan seolah tengah berbicara sendiri.
"Tapi mas, kan bapak tidak sibuk. Kadang orang tua beraktifitas itu juga harus, dan tidak melulu membuat mereka lelah justru sebagian orang tua akan merasa jenuh kalau tidak memiliki kegiatan. Lagipula ini masih dalam kota bukan kejauh."
"Apa kamu keberatan?" Fauzan kembali menegakkan duduknya ia menoleh pada Renata. Membuat perempuan itu seketika mengerutkan keningnya. "Maksud mas?" Tanya Renata bingung.
"Kamu keberatan mas mau nyariin supir dan menggajinya untuk keluarga mas?"
"Astaghfirullah, mas!"
"Re! mereka orang tuaku sudah berumur tolong mengerti lah!"
"Mas" Gumam Renata sembari menoleh kearah driver yang tetap fokus ke depan. Meski tidak menoleh kebelakang namun ia yakin sang driver itu mendengar semua percakapan mereka bahkan nada tinggi Fauzan.
hahaha ketawa jahat
emang makin agak agak ini bumer satu ini😤😤
biar neng Rena bisa punya alasan kalau mau pisah sama Fauzan 🤩🤩🤩🤩