Demi meraih mimpinya menjadi arsitek, Bunga, 18 tahun, terpaksa menyetujui pernikahan kontrak dengan pria yang ia anggap sebagai kakaknya sendiri. Mereka setuju untuk hidup sebagai "teman serumah" selama empat tahun, namun perjanjian logis mereka mulai goyah saat kebiasaan dan perhatian tulus menumbuhkan cinta yang tak pernah mereka rencanakan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Faza Hira, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 16 (Part 1)
Bunga tertawa. Ia bergegas ke dapur, siap untuk petualangan kuliner berikutnya.
Malam itu, makan malam terasa seperti awal yang baru. Capcai buatan Bunga ternyata sukses besar. Kuahnya kental dan sayurannya pas.
"Gimana, Mas?" tanya Bunga, menunggu pujian.
Arga mengunyah brokoli dengan serius. "Lumayan."
"Lumayan doang?"
"Nggak keasinan," kata Arga. "Itu sudah pencapaian besar."
"Ih, Mas Arga!" Bunga cemberut, tapi ia tahu itu adalah pujian tertinggi yang bisa Arga berikan.
Mereka makan sambil bertukar cerita. Bunga menceritakan dengan antusias tentang Profesor galak dan tugas Parthenon-nya. Arga, yang sudah melewati fase itu, mendengarkan dengan sabar. Ia tidak lagi bersikap seperti 'kakak' yang maha tahu, tapi lebih seperti rekan kerja yang mendengarkan.
"Kalau kamu mau cari referensi Parthenon," katanya di sela-sela makan, "jangan cuma cari di Google. Di rak buku Mas, di ruang tamu, ada buku 'The History of World Architecture'. Cari di bagian Arsitektur Yunani. Di situ lengkap."
Mata Bunga berbinar. "Beneran, Mas? Boleh Bunga pinjam?"
"Bukan pinjam," kata Arga, "Itu rak buku kita. Pakai saja. Asal jangan dicoret-coret."
Malam itu, Bunga tidur dengan perasaan ringan. Ia mengerjakan sketsa awal untuk tugasnya sambil merujuk pada buku tebal milik Arga di meja belajarnya. Ia merasa seperti... mahasiswi sungguhan. Dan ia merasa... punya partner sungguhan.
Selasa pagi, rutinitas mereka sudah terbentuk seperti mesin jam yang diminyaki dengan baik.
Pukul lima pagi, Bunga bangun. Ia ke dapur, menemukan Arga sudah di sana dengan cangkir kopinya, menatap tablet. Sarapan roti panggang sudah disiapkan. Mereka sarapan dalam diam yang nyaman.
Pukul enam, mereka berangkat.
Di dalam KRL, Bunga tidak lagi merasa panik. Saat lautan manusia mendorong mereka masuk, ia sudah tahu apa yang harus dilakukan. Ia membiarkan dirinya terdorong, dan ia tahu, dalam hitungan detik, Arga akan menemukannya.
Benar saja. Sebuah tangan kokoh meraih lengannya, menariknya dengan mantap ke posisi aman mereka: Bunga di sudut, Arga berdiri di depannya, membentuk 'benteng KRL' dengan kedua lengannya di tiang.
Setelah pertengkaran mereka, kedekatan fisik ini terasa jauh lebih intens. Bunga menjadi sangat sadar akan segala hal. Aroma aftershave Arga yang segar. Panas tubuhnya yang terpancar menembus kemeja kantor. Cara kancing kemeja Arga sejajar lurus dengan matanya.
Ia tidak lagi mencengkeram lengan jaket Arga seperti anak kecil. Tangannya hanya ia lipat di depan dada, berusaha menyentuh Arga sesedikit mungkin.
"Masih gugup?" bisik Arga, suaranya pelan di atas kepalanya.
Bunga mendongak. Mata mereka bertemu. Hanya berjarak beberapa jengkal. "Nggak," balas Bunga. "Sudah biasa."
"Bagus," kata Arga. "Nanti jam empat," ia mengingatkan, "kirim pesan ke Mas sebelum kamu mulai. Dan kirim pesan lagi begitu kamu selesai."
"Iya, Mas."
"Bukan Mas nggak percaya," lanjut Arga, seakan bisa membaca pikiran Bunga. "Mas cuma... trust but verify. Biar Mas tenang."
Bunga tersenyum. "Iya, Mas Arga bawel. Bunga ngerti."
Di Stasiun Universitas, mereka berpisah seperti biasa. Bunga berlari kecil menuju kampusnya, merasakan kebebasan yang aneh. Kebebasan yang terkendali.
Hari itu di kampus terasa berbeda. Bunga tahu ia punya janji. Ia sedikit gugup, tapi juga bersemangat. Vina, tentu saja, adalah biang keladinya.
"Bunga!" bisik Vina di tengah kelas Estetika Arsitektur. "Gimana? Lo deg-degan?"
"Diem, Vin. Nanti didengar dosen," balas Bunga, pura-pura fokus mencatat.
"Alah. Pokoknya nanti, lo harus minta foto bareng Kak Reza. Buat kenang-kenangan!"
"Nggak mau, ah! Malu!"
Waktu seakan berjalan lebih cepat. Tahu-tahu, sudah pukul setengah empat sore. Kelas terakhir selesai.
"Vin, Bunga ke musholla dulu," kata Bunga, merapikan tasnya.
"Cieee, sholat dulu biar dilancarkan," goda Vina.
"Emang udah waktunya Ashar, Vina!"
Bunga berjalan ke musholla fakultas. Ia mengambil wudhu, merasakan air dingin membasuh wajahnya, menenangkan debaran jantungnya. Kali ini, ia tidak merasa bersalah seperti saat akan berbohong. Ia merasa... jujur. Ia hanya akan bertemu senior untuk membahas proyek. Tidak ada yang salah dengan itu.
Ia menggelar sajadahnya. Saat ia takbir, pikirannya fokus. Ia sholat dengan tenang. Ya Allah, terima kasih atas hari ini. Lindungi Bunga dari prasangka buruk dan dari hal-hal yang tidak baik.
Setelah berdoa, ia merasa lebih mantap. Ia merapikan mukenanya—ia selalu membawa mukena travel di tas untuk sholat—lalu melepasnya lagi dan menyisir rambutnya. Ia memoles lip tint stroberi tipis-tipis. Hanya agar tidak terlihat pucat.
Ia meraih ponselnya. Tepat pukul 15:55.
[Bunga]
Mas, Bunga ke perpus pusat sekarang. Ketemu Kak Reza. Selesai jam 5.
Pesan terkirim. Ia memasukkan ponselnya ke saku rok. Ia berjalan cepat menuju perpustakaan pusat, gedung megah berlantai delapan yang menjadi ikon kampus.
Saat ia sedang berjalan di lorong, ponselnya bergetar.
[Mas Arga]
Oke. Hati-hati. Kalau dia aneh-aneh atau bikin kamu nggak nyaman, langsung pergi. Telepon Mas.
Bunga tersenyum membaca pesan itu. Galak, tapi perhatian. Dasar Mas Arga.
Ia tiba di area lobi perpustakaan. Tempat itu ramai dengan mahasiswa. Ia melihat sekeliling. Di salah satu meja bundar besar di area diskusi, ia melihat Reza.
Laki-laki itu sedang duduk sendirian, laptopnya terbuka. Ia terlihat santai dengan kaus almamater dan celana jins robek di lutut. Sangat... anak kampus.
"Kak Reza," sapa Bunga.
Reza mendongak. Senyumnya yang khas langsung terkembang. "Hei, Melati. Sini, duduk."
Bunga duduk di kursi di seberangnya. Menjaga jarak.
"Gimana? Aman hari ini?" tanya Reza.
"Aman, Kak. Lancar."
"Bagus." Reza langsung memutar laptopnya menghadap Bunga. "Oke, jadi ini drafnya. Yang saya pikirkan itu, di area ini..."
Reza mulai menjelaskan visinya. Dan Bunga harus mengakui, Reza sangat brilian. Ia tidak hanya bicara soal 'taman baca'. Ia bicara soal 'ruang tumbuh'. Ia ingin ada area workshop kecil untuk anak-anak belajar kerajinan tangan, ada mural interaktif.
Bunga yang semalam baru saja di-drill oleh Arga soal 'beban hidup' dan 'beban mati', tiba-tiba punya ide.
"Kak," potongnya pelan. "Ini kan di bawah jembatan layang, ya? Berarti semi-permanen, kan?"
Reza mengernyit. "Iya, rencananya gitu."
"Gimana kalau kita nggak pakai rak buku konvensional?" kata Bunga. "Kita pakai modul-modul knock-down. Kayak boks-boks kayu yang bisa disusun-susun. Jadi bisa jadi rak, bisa jadi kursi, bisa jadi panggung kecil. Beban hidupnya jadi fleksibel."
Reza terdiam sejenak, menatap Bunga. Senyumnya perlahan memudar, digantikan oleh ekspresi... kagum.
"Boks... modular," ulang Reza pelan. "Itu... ide bagus. Bagus banget, Melati. Fleksibel, murah, dan anak-anak bisa ikut menyusunnya. Kamu... beneran baru semester satu?"
Pipi Bunga memerah karena pujian tulus itu. "Baru dapat ilham tadi malam, Kak," katanya jujur.
Reza tertawa. "Ilham yang bagus. Oke, kita pakai ide itu."