Sekuel ke empat Terra The Best Mother, sekuel ke tiga Sang Pewaris, dan sekuel ke dua The Big Families.
Bagaimana kisah kelanjutan keluarga Dougher Young, Triatmodjo, Hovert Pratama, Sanz dan Dewangga.
Saksikan keseruan kisah pasukan berpopok dari new generasi
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Maya Melinda Damayanty, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
MASIH HEBOH
Pagi hari, masih di kediaman Andoro, anak-anak sudah berangkat berkegiatan. Seperti biasa, para bayi jadi pusat perhatian.
"Atuh ... Ladalah lalati ... Yan tat beulnah pisa beundoda banita ....!' Umar bernyanyi entah lagu siapa.
"Atuh sololan patiten ... Mumbunayi pedan panzan. .. Talaw beulzalan plot, plot, plot! Atuh lololan batiten!' sahut Yusuf bernyanyi lain lagi.
"Pala beunomtom ... Bapat-bapat, Ibut-ibut ... Memuwana .... Janan helan talaw Mila sedan doyan ... Lada banas ... Lada setsi ... Baaftan lah ....!" Jamilah malah bernyanyi dangdut milik ratu ngebor.
"Babies. Ini kue cubit karya Mama Guru!' seru Indah, wanita itu berjalan memegang nampan besar.
Bau harum mentega tercium, semua anak duduk dengan rapi. Tak ada yang bisa menggeser mereka jika ada makanan datang.
"Wah ... nenat Mama Dulu!' angguk Khadijah ketika memakan kue berbentuk ikan itu.
"Wiya, soslatna peulasa pididah!' angguk Yusuf nimbrung ikut mereview makanan itu.
"Suma sayan utulana teusin!' sahut Jamila protes.
"Namanya juga kue cubit, Baby. Ya ukurannya hanya untuk dicubit," sahut Indah.
"Beumana pita dat pisa subit yan dedhe?" tanya Aquila penasaran.
"Bastina pisa ... yan teusin laja pisa pisubit. Basa yan peusan dat pisa!?' sahut Maira yakin.
"Beunen ipu!' angguk Putra membenarkan.
Indah tak bisa membantah lagi, perdebatan itu dimenangkan oleh para bayi. Hanya sekejap, kue cubit habis.
"Pasih lada Amah?" tanya Issa putranya.
"Nanti sore lagi ya. Kan sebentar lagi makan siang!" jawab Indah.
'Oteh!" angguk semua bayi setuju.
Sementara di sekolah, Maryam yang sudah kelas tiga duduk di bangkunya. Dua saudara kembarnya bermain bersama yang lain.
"Halo, boleh aku duduk?" seorang bocah laki-laki duduk di bangku di sebelah Maryam.
Gadis kecil itu diam, ia tetap fokus pada saudaranya.
"Kamu katanya anak orang kaya ya?" tanya bocah bernama Anton.
"Alhamdulillah, Allah masih lebih," jawab Maryam singkat.
Putri pertama Darren ini wataknya mirip nenek atau tantenya, Terra. Diam namun gesit dan sangat pintar. Berbeda dengan dua saudara kembarnya, Aisya dan Al Fatih yang lebih ceria dan terbuka dengan yang lain.
"Aku boleh minta tolong?" Maryam menatap Anton.
"Tolong. Tolong apa?" tanya Maryam.
"Tapi kamu jangan ngadu sama siapapun. Janji?" Maryam terdiam.
"Aku ingin menguji apa kamu bisa dipercaya Maryam!?" sahut Anton.
'Oke, aku bisa kamu percaya!" angguk Maryam yang penasaran.
"Aku boleh pinjem uang seratus?"
"Hah?" Maryam bengong.
"Kamu kan pasti ada uang jajan. Uang itu aja!" tekan Anton tak tau malu.
"Aku nggak dikasih jajan sebanyak itu ..."
"Bohong! Bilang aja kamu pelit!" seru Anton tak percaya.
"Loh, kok kamu maksa!" teriak Maryam keras, hingga membuat dua saudaranya dan yang lain menoleh.
'Maryam?" Al Fatih mendekat begitu juga Aisya.
"Ada apa?" tanyanya sambil menatap tajam Anton.
"Nggak ada ... Iya kan Mar?' ujar Anton menatap remeh Maryam.
Gadis kecil itu tentu ingat perkataan temannya barusan. Ia tak boleh mengadu.
"Iya ... Nggak ada apa-apa," angguk Maryam.
"Jangan bohong! Aku tau kamu bohong!' tekan Al Fatih.
Maryam dilema, ia bingung. Anton tertawa meledeknya.
"Kalau kamu bicara. Berarti kamu bukan orang yang amanah!' Anton berdiri dari bangku dan berjalan ke tempat duduknya di barisan paling belakang.
Al Fatih menatap kakak kembarnya, tapi Maryam memilih bungkam. Mereka pun duduk ketika guru masuk.
"Ayo, anak-anak. Buka buku paketnya!' suruhnya lalu duduk di kursinya.
"Kerjakan halaman sepuluh sampai dua belas ya! Yang selesai duluan boleh pulang!' lanjutnya lalu mengambil ponsel dan berselancar ke dunia maya.
Kembali ke rumah, suasana sedikit lengang, anak-anak duduk bermain mobil-mobilan dan boneka. Mereka ribut dengan bahasa mereka. Andoro.sampau pusing mengartikan percakapan mereka.
"Astaga ... Mereka ngobrol apa sih?"
Semua tersenyum mendengarnya, hingga waktu anak-anak pulang sekolah. Maryam tetap diam sampai pulang. Terra memperhatikan gadis kecil itu — cucu yang sejatinya keponakan — hanya diam sepanjang makan siang.
Terra mengikuti langkah Maryam menuju kamar. Ruangan berukuran empat kali tujuh meter itu bernuansa putih dan biru muda. Bersih. Tenang.
Tak ada hiasan dinding, hanya lemari, rak buku, dan meja belajar milik ayahnya dulu, Darren.
Maryam duduk di kursi belajar itu. Pensil di tangannya berputar-putar tanpa arah. Buku di depannya terbuka, tapi matanya menatap jauh — jauh sekali, seolah ada sesuatu yang ingin dipahami tapi belum mampu dijangkau.
Terra berdiri di ambang pintu, hanya memandangi punggung kecil itu.
"Baby, ada apa?" tanya Terra mendekati Maryam.
"Nenek?" Maryam sedikit terkejut.
Terra mengelus rambut Maryam yang bergelombang. Maryam menghela nafas panjang.
"Ada apa sayang?' Maryam menggeleng.
"Nggak ada apa-apa, Nek!. Sungguh!' jawab Maryam pelan dan berat.
"Baby, lihat Nenek!' suruh Terra.
Maryam.menatap Terra, sangat terlihat kegelisahan gadis kecil itu.
"Nenek tak akan tau masalahnya jika Baby nggak cerita," ujar Terra lembut.
"Tapi Maryam.nggak mau jadi pengadu. Maryam ingin jadi orang amanah, Nek!" jawab Maryam lirih.
"Amanah?" Maryam mengangguk.
Terra tersenyum samar. Ia menatap Maryam lekat-lekat — gadis kecil itu begitu polos, tapi pikirannya sudah berusaha memaknai kata besar: amanah.
“Baby…” Terra mulai pelan, suaranya seperti bisikan hujan di luar jendela.
“Tahu nggak, amanah itu bukan cuma tentang menyimpan rahasia.”
Maryam menatapnya penuh perhatian.
“Kalau ada yang salah, lalu kita diam karena takut disebut pengadu… itu bukan amanah, sayang. Itu namanya membiarkan keburukan tetap hidup.”
Maryam menunduk. Pensil di tangannya berhenti berputar.
“Amanah itu,” lanjut Terra lembut, “adalah menjaga kebenaran. Kadang, untuk menjaga kebenaran, kita harus berani bicara. Meskipun itu membuat orang lain tidak suka.”
“Tapi… kata temanku, kalau aku cerita, aku bukan orang yang bisa dipercaya…” suara Maryam nyaris tak terdengar.
Terra menggeleng pelan.
“Dipercaya itu bukan berarti harus diam, sayang. Dipercaya itu berarti bisa melakukan hal yang benar, meski sulit.”
Maryam terdiam lama.
Hujan di luar masih turun, menimpa kaca jendela kamar biru itu, seperti mengetuk-ngetuk hati kecilnya.
“Jadi amanah itu… bukan diam?” tanya Maryam pelan.
“Bukan,” jawab Terra tegas tapi lembut. “Amanah itu bukan sekadar kata-kata, dan bukan pula alasan untuk menyimpan kebohongan. Amanah adalah keberanian menjaga yang benar.”
Maryam menatap wajah neneknya, matanya mulai berair.
“Kalau begitu… Maryam belum amanah, ya, Nek?”
Terra tersenyum, menghapus air mata di pipi gadis kecil itu.
“Belum sempurna, sayang. Tapi Nenek bangga, karena kamu sudah berusaha jujur sama hatimu. Dan itu langkah pertama jadi orang yang benar-benar amanah.”
Maryam memeluk Terra erat-erat.
Hujan di luar makin deras, tapi di dalam kamar itu, hangat perlahan menyelimuti — bukan dari selimut, tapi dari pemahaman yang baru tumbuh di hati kecil seorang anak.
"Anton mau pinjem duit seratus, Nek!'
"Apa?"
Bersambung.
hahahahahaha ...
Next?
keren banget meski msh kicik
salut.....
tegang eh di gantung