Malam itu menjadi malam terburuk bagi Ranum. Sang kekasih tiba-tiba saja secara sepihak memutus jalinan asmara di saat ia tengah mengandung benih cintanya, diusir oleh sang ayah karena menanggung sebuah aib keluarga, dan juga diberhentikan dari tempatnya bekerja.
Ranum memilih untuk pergi dari kota kelahirannya. Ia bertemu dengan salah seorang pemilik warung remang-remang yang mana menjadi awal ia membenamkan diri masuk ke dalam kubangan nista dengan menjadi seorang pramuria. Sampai pada suatu masa, Ranum berjumpa dengan lelaki sholeh yang siapa sangka lelaki itu jatuh hati kepadanya.
Pantaskah seorang pramuria mendapatkan cinta suci dari seorang lelaki sholeh yang begitu sempurna? Lantas, apakah Ranum akan menerima lelaki sholeh itu di saat ia menyadari bahwa dirinya menyimpan jejak dosa dan nista? Dan bagaimana jadinya jika lelaki di masa lalu Ranum tiba-tiba hadir kembali untuk memperbaiki kesalahan yang pernah ia lakukan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon El Jasmin, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 27. Petunjuk
Kesunyian dini hari itu dipecah oleh riuh suara orang-orang berlarian yang menyelamatkan diri masing-masing dengan membawa barang berharga miliknya. Serta ada pula yang masih berupaya keras memadamkan kobaran api yang masih belum mampu untuk dipadamkan.
Hampir satu jam si jago merah itu tak dapat ditaklukkan, mengingat kawasan ini merupakan salah satu kawasan padat penduduk di mana banyak bangunan-bangunan semi permanen berdiri sehingga memudahkan api menyebar, meluas hingga ke seluruh penjuru. Pada akhirnya, si jago merah perlahan mulai menyerah tak lama setelah tim pemadam kebakaran tiba di tempat kejadian.
Suasana yang sebelumnya merah padam akibat kobaran api yang menyapu kawasan ini, kini mulai mereda dan hanya meninggalkan kepulan-kepulan asap pekat. Orang-orang mulai menghentikan aktivitasnya, dan memilih untuk sama-sama larut dalam pikiran masing-masing sembari menatap nanar puing-puing bangunan yang sudah menjadi arang.
"Num, As... Warungku....," rintih Helena sembari terduduk di depan warung miliknya yang kini sudah habis tanpa sisa.
Air mata itu tiada henti mengalir, mengingat selama ini ia menggantungkan hidup dari warung remang-remang yang ia miliki. Dan kini semua telah runtuh, hangus tak bersisa sama sekali dan hanya menyisakan arang nan menghitam.
"Sabar Mi.. Ini semua musibah. Bahkan kos Ranum pun juga kebakaran," ucap Asri sembari mengusap-usap punggung Helena. Di samping itu ia juga memberi kabar jika kos milik temannya ini juga terbakar.
Helena mendongakkan wajah. Ia tatap lekat satu persatu anak buahnya ini.
"Apa benar Num, kos mu juga kebakaran?"
Ranum yang sedari tadi hanya terdiam akibat masih syok dengan peristiwa yang terjadi hanya bisa mengangguk pelan.
"Betul Mi. Bahkan akupun juga tidak sempat untuk menyelamatkan barang-barangku."
Helena terhenyak. "Kok bisa bersamaan seperti ini ya? Dan yang kebakar adalah warung milikku dan kos mu. Di mana kamu merupakan salah satu pekerjaku."
Ranum hanya mengendikkan bahu. Saat ini ia tidak bisa berpikir secara jernih karena ingatannya hanya tertuju pada lembaran-lembaran uang yang rencananya akan ia belikan logam mulia. Kini uang itu sudah terbakar, menjadi butiran-butiran abu.
"Entahlah Mi. Aku sedang meratapi uang-uang hasil kerjaku yang terbakar. Dan sekarang aku tidak memiliki apapun."
Helena dan Asri saling melempar pandangan dengan dahi mengernyit. Dari tatapan keduanya seakan menggambarkan rasa bingung tiada tara.
"Tidak memiliki apapun?" tanya Helena.
Ranum menganggukkan kepala. "Iya Mi."
"Lalu yang melingkar di lehermu itu apa Num?" sambung Helena sedikit gemas.
"Hah, di leher?" ucap Ranum seraya meraba-raba lehernya. Ia sedikit menunduk. "Eh, kalung dari om Pai masih ada?"
"Itu kamu jual bisa buat buka minimarket, Num," seloroh Asri dengan sedikit tawa.
Ranum menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. Kepanikan akibat kebakaran, membuatnya lupa jika sejak semalam kalung dari Pai Ia pakai.
"Masih jadi rezekimu Num, sebagai pegangan hidupmu ke depan," ucap Helena sedikit bijak.
Suasana yang sebelumnya begitu memilukan, kini perlahan sedikit mencair diselingi tawa kecil. Meskipun tatapan mereka masih nanar melihat puing-puing bangunan yang sudah menjadi arang, namun hati mereka perlahan mulai ikhlas menerima keadaan.
***
"Jadi bagaimana bu Helena? Apa Anda bisa memastikan jika ketika Anda tertidur, posisi kompor mati dan tidak ada korsleting listrik?"
Seusai api berhasil dipadamkan, pihak kepolisian mendatangi Helena untuk mendapatkan keterangan mengingat sudah diketahui jika sumber kebakaran berasal dari warung milik Helena.
Helena mengangguk mantap. "Saya yakin seratus persen Pak. Kompor tidak ada yang menyala dan listrik juga aman."
"Apakah sejauh ini Anda memiliki musuh? Saya khawatir jika ini adalah ulah salah satu musuh Anda. Karena jika dilihat dari kobaran api yang langsung membesar, hal ini ada unsur kesengajaan."
"Persis seperti dugaan saya Pak. Karena kebakaran ini terjadi di warung milik saya dan kos milik Ranum yang merupakan salah satu orang yang bekerja di warung saya."
"Apakah Anda punya musuh atau mungkin ada seseorang yang sakit hati kepada Anda?"
"Saya...."
"Lapor komandan! Kami menemukan sesuatu di TKP yang sepertinya bisa menjadi petunjuk."
Perkataan Helena terpangkas ketika dua orang polisi menghampiri sang komandan. Helena dan komandan polisi itu pun sama-sama dibuat penasaran akan barang apa yang ditemukan.
"Apa itu?"
Polisi itu menyerahkan dua barang yang ia bungkus dengan plastik. "Ada jam tangan seorang wanita dan juga sebuah jerigen bekas bensin."
Sang komandan melihat barang yang ditemukan oleh anak buahnya ini. "Apakah ibu Helena tahu ini milik siapa?"
Helena mendekat ke arah komandan polisi. Ia amati jam tangan yang ditemukan. Dahinya mengernyit seakan mengingat-ingat milik siapa jam tangan ini.
"Sepertinya ini tidak asing." Helena menatap lekat jam tangan ini dan Ia bolak-balik. "Hah, ini kan milik Debby. Ini jam tangan yang dulu pernah aku hadiahkan kepada Debby."
"Debby? Siapa itu Debby, Bu?"
"Debby itu dulu bekerja ikut saya juga Pak, tapi sudah satu bulan ini dia tidak lagi bekerja ikut saya."
"Apa Ibu yakin?"
"Lihat ini Pak, di pengait jam tangan ini ada nama Debby, karena jam tangan ini saya pesankan custom dari penjual."
Komandan itupun melihat petunjuk yang diucapkan oleh Helena. Dan benar saja, ada nama Debby di sana.
"Apa masuk akal jika Debby itu bergerak sendirian? Atau apa mungkin ada orang lain juga yang ikut terlibat?"
"Lapor komandan! Di dalam jerigen ini ada stiker yang sepertinya bisa jadi petunjuk juga," sambung salah satu anak buah polisi itu.
"Holahop kafe?" ucap komandan membaca stiker yang tertempel di dalam jerigen itu.
"Holahop kafe? Itu kan warung milik Laura?" sahut Helena yang begitu familiar dengan nama Holahop itu.
"Ibu mengenal Laura?" tanya komandan polisi.
"Dulu kami berteman Pak, tapi beberapa tahun yang lalu kami sempat cek-cok dan sampai sekarang tidak saling bertegur sapa lagi."
Komandan polisi pun mengangguk-anggukkan kepala. Sepertinya sudah ada titik terang siapa dalang dari kebakaran hebat di kawasan ini.
"Pak Rocky, Pak Aldo!"
"Siap Ndan!"
"Aku tugaskan Anda berdua ke tempat Laura. Sekarang!"
"Siap Laksanakan!"
****
"Mi setelah ini bagaimana? Aku sungguh ketakutan kalau sampai pihak kepolisian menemukan jejakku di tempat kejadian."
Berbeda dari semalam di mana Debby begitu berani melakukan aksi pembakaran, kini perempuan itu seakan benar-benar ketakutan. Ia takut kalau sampai polisi bisa mengungkap kasus ini dan menemukannya sebagai dalang dari kebakaran itu.
Laura hanya tersenyum simpul, begitu santai menanggapi keresahan hati Debby. Wanita berusia hampir paruh baya itu masih bisa merokok dengan santainya. Ia seolah yakin jika perbuatannya tidak akan ketahuan.
"Kamu kalau panik seperti itu justru akan membuat orang-orang curiga, Debby. Mending kamu tenang, santai, sehingga orang-orang tidak mencurigaimu."
"Tapi aku benar-benar takut Mi. Apalagi, sebuah hal yang mudah bagi polisi mengungkap kasus kebakaran seperti ini."
"Sudahlah, tenang. Asalkan kamu bermain cantik dan bersih, aku yakin kita tidak akan pernah ketahuan," ucap Laura menenangkan.
"Tapi seandainya aku ketahuan, Mami pasti akan menolongku kan?" tanya Debby memastikan.
"Sudahlah Debby, jangan berandai-andai. Takutnya segala pikiran burukmu menjadi kenyataan. Mending kamu tenang dan yakin bahwa tidak akan ada yang tahu bahwa kamu adalah pelakunya."
Debby semakin terhenyak mendengarkan jawaban dari Laura. Sebuah jawaban yang terdengar begitu mengambang dan tidak bisa menjadi jaminan jika Laura akan menolongnya ketika perbuatannya terendus pihak kepolisian.
Mami Laura benar-benar tidak bisa dipercaya. Jika seperti ini bisa jadi aku yang dijadikan tumbal masuk ke penjara. Lebih baik aku segera pergi dari sini.
Debby beranjak dari posisi duduknya. Ia ayunkan tungkai kakinya untuk mengemasi pakaiannya. Ia merasa sudah tidak aman jika terus berada di tempat ini.
"Loh, kamu mau ke mana Deb?" tanya Laura ketika melihat Debby mengemasi pakaian-pakaiannya. Sedangkan Debby hanya terdiam seribu bahasa. Ia sedikit marah karena Laura tidak bisa menjamin keselamatannya.
"Kamu mau melarikan diri dari?" sambung Laura yang semakin paham jika Debby akan pergi.
"Itu jauh lebih baik. Aku merasa Mami gak bisa menjadi penolongku ketika perbuatanku terendus polisi. Jadi aku memutuskan untuk pergi dari sini."
"Tapi Deb.."
Ucapan Laura tak dihiraukan oleh Debby, wanita itu terus melangkahkan kaki untuk segera pergi dari sini. Namun baru saja Ia membuka pintu....
"Saudara Debby, bisa bicara sebentar?"
Tubuh Debby terperanjat. Tiba-tiba saja tubuhnya tremor melihat tiga sosok laki-laki berseragam cokelat berdiri di depan pintu. Jantung wanita itu berdegup kencang sebagai tanda Ia dilanda rasa cemas dan takut yang bersamaan.
"S-saya...."
"Mari ikut kami!"