Ivana Joevanca, seorang wanita ceria dan penuh ide-ide licik, terpaksa menikah dengan Calix Theodore, seorang CEO tampan kaya raya namun sangat dingin dan kaku, karena tuntutan keluarga. Pernikahan ini awalnya penuh dengan ketidakcocokan dan pertengkaran lucu. Namun, di balik kekacauan dan kesalahpahaman, muncul percikan-percikan cinta yang tak terduga. Mereka harus belajar untuk saling memahami dan menghargai, sambil menghadapi berbagai tantangan dan komedi situasi yang menggelitik. Rahasia kecil dan intrik yang menguras emosi akan menambah bumbu cerita.
“Ayo bercerai. Aku … sudah terlalu lama menjadi bebanmu.”
Nada suara Ivy bergetar, namun matanya menatap penuh keteguhan. Tidak ada tangis, hanya kelelahan yang dalam.
Apa jadinya jika rumah tangga yang tak dibangun dengan cinta … perlahan jadi tempat pulang? Bagaimana jika pernikahan ini hanyalah panggung, dan mereka akhirnya lupa berpura-pura?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rosee_, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 27 - Panggung Pertama
Setelah pengakuan kecil di waktu itu, Ivy kembali tenggelam dalam dunianya yang penuh kepura-puraan. Waktu bergulir cepat, dan dalam hitungan minggu, agenda besar menanti Theodore Corp.
Dewan direksi mengumumkan rapat penting yang melibatkan beberapa mitra strategis. Bukan sekadar laporan tahunan, rapat kali ini akan menentukan arah kerja sama baru, sekaligus memperkuat posisi perusahaan di pasar internasional.
Sejak pagi, suasana kantor jauh lebih sibuk dari biasanya. Ruang lobi dipenuhi tamu undangan, staf berlalu-lalang dengan wajah tegang, dan ruangan lantai atas sudah dipenuhi berkas-berkas penting.
Ivy ikut berjalan cepat di samping Calix, menenteng tablet yang penuh catatan. Ini pertama kalinya ia ikut langsung ke dalam ruang rapat besar, bukan sekadar menunggu di luar.
“Jangan gugup,” ujar Calix datar, tanpa menoleh.
“Aku tidak gugup,” bantah Ivy cepat, meski jemarinya mencengkram tablet erat-erat.
Trevor yang berjalan di belakang hanya menahan tawa kecil. Dari raut wajah Ivy saja sudah terlihat jelas siapa yang panik.
Begitu pintu ruang rapat terbuka, Ivy langsung merasa dadanya sesak. Puluhan pasang mata memandang ke arah mereka. Direktur, investor, hingga mitra luar negeri. Semuanya tampak serius.
Dan di ujung meja utama, duduklah Lucas Theodore dengan tatapan tegas penuh wibawa, sementara di sampingnya Catherine dengan elegansi yang sulit ditiru. Orang tua Calix.
“Calix.” Lucas menyambut dengan anggukan singkat. Tatapannya lalu bergeser pada Ivy. Ada sorot mata ramah di dalamnya.
“Mom.” Calix juga menyapa Catherine.
Wanita itu tersenyum tipis, nyaris formal, sebelum pandangannya jatuh pada Ivy. “Kau ikut juga hari ini?”
Ivy mengangguk sopan. “Selamat pagi, Mrs.”
Belum cukup sampai di situ, matanya menangkap sosok lain beberapa kursi dari ujung meja. Beatrice. Duduk dengan gaun elegan, postur tegak, senyum profesional. Namun, sesaat mata itu bertemu dengan Ivy, sesuatu bergetar di dadanya.
Ivy duduk di samping Calix, tablet terbuka di depannya. Wajahnya tenang, tatapannya fokus.
Calix membuka pertemuan dengan nada formal. Ivy duduk di samping Calix, tablet terbuka di depannya. Wajahnya tenang, tatapannya fokus.
“Agenda hari ini fokus pada kerja sama strategis dengan mitra Jepang, proyek resort mewah di Okinawa.”
Beberapa direktur mengangguk, sementara Catherine langsung menimpali dengan nada tegas. “Ini investasi bernilai tinggi. Kita tidak bisa gegabah. Brand Theodore harus tetap eksklusif. Aku tidak ingin kita tampak murah hanya karena ekspansi besar-besaran.”
Suasana sempat kaku, hingga Ivy yang duduk di sisi Calix angkat bicara. Ia tidak tergesa, hanya menunggu momen tepat sebelum menyuarakan pendapat.
“Justru karena nilai eksklusif itu, kita bisa memanfaatkan cultural experience Jepang sebagai daya tarik. Bukan sekadar resort, tapi resort yang membawa nuansa lokal dengan standar Theodore. Hotel dengan arsitektur modern, tapi tetap ada sentuhan ryokan, restoran fine dining internasional, tapi menyediakan kaiseki khas Jepang. Dengan begitu, kita tidak kehilangan citra mewah, justru memperluas pasar.”
Beberapa direktur menoleh, terkejut Ivy menyampaikan gagasan sejelas itu. Calix yang sejak tadi diam, menyilangkan tangan dengan ekspresi dingin, tapi sudut bibirnya terangkat tipis.
Lucas menyunggingkan senyum samar, menyandarkan tubuh di kursinya. “Itu masuk akal. Pasar kelas atas sekarang mencari pengalaman autentik, bukan hanya bangunan megah.”
Catherine mendiamkan komentar itu, tapi pandangannya jatuh lagi ke Ivy yang duduk tanpa gelisah, sesekali menatap Calix untuk memastikan sinkronisasi data. Ada sesuatu pada cara Ivy menempatkan dirinya. Bukan sekretaris biasa, tapi juga tidak menuntut pengakuan.
“Menarik,” gumam Catherine akhirnya, datar tapi mengandung rasa ingin tahu yang tak bisa ia sembunyikan.
Beatrice akhirnya membuka suara, nada halus tapi jelas berlawanan. “Tapi menambahkan terlalu banyak unsur lokal bisa berisiko. Theodore dikenal dengan gaya internasionalnya yang khas. Jangan sampai brand kita larut di identitas lain.”
Ivy menoleh sedikit, tatapannya tenang. “Kita tidak larut. Kita beradaptasi. Orang Jepang tidak mencari hotel internasional yang generik, mereka sudah punya banyak pilihan. Tapi kalau Theodore bisa memberi mereka pengalaman yang familiar sekaligus istimewa, itu akan jadi pembeda. Eksklusif tidak selalu berarti menutup diri, Nona Beatrice.”
Hening sejenak.
Calix menatap Ivy dengan sorot yang sulit ditebak. Ia tidak menyela, hanya membiarkan kalimat istrinya menggantung di udara.
Angela yang sejak tadi duduk beberapa kursi dari Beatrice merasakan darahnya mendidih. Ia pura-pura menulis di notulen, padahal matanya melirik ke Ivy. Kenapa dia bisa begitu tenang? Padahal dia bukan siapa-siapa di perusahaan ini.
Namun ketika Lucas kembali menambahkan. “Kita bisa buat pilot project kecil dulu untuk mengukur pasar. Aku setuju dengan ide Ivy.” Hampir semua direktur mencatat, tanda mendukung.
Angela menunduk lebih dalam, jemarinya menekan pena sampai nyaris patah. Sementara di sisi meja, Beatrice semakin merasakan perbedaan yang jauh. Seolah-olah keberadaan Ivy menganggu ritme nafasnya.
...***...
Rapat akhirnya ditutup setelah lebih dari dua jam diskusi. Direktur dan investor satu per satu meninggalkan ruangan dengan wajah lega, sebagian sempat menghampiri Calix untuk berjabat tangan. Lucas dan Catherine masih duduk di kursi mereka, berbicara pelan mengenai jadwal kunjungan ke Jepang.
Ivy merapikan tabletnya, berdiri bersama Calix. Ia sempat menunduk sopan ke arah Lucas dan Catherine sebelum beranjak keluar.
Lucas menatap kepergian menantunya itu dengan tatapan penuh arti, sementara Catherine hanya mengikuti dengan pandangan dingin.
Begitu pintu rapat tertutup, Lucas masih duduk dengan kedua tangan terlipat di depan dada. Pandangannya menatap kosong sejenak ke arah kursi yang tadi ditempati Ivy. Senyum samar muncul di wajahnya.
“Dia bukan hanya istri muda yang manja, Sayang,” ucapnya pelan. Ia bukan tidak tahu apa yang sedang direncanakan oleh istri dan asistennya itu.
Catherine menghela napas, melirik suaminya sekilas. “Hm. Aku akui, ucapannya tadi tidak buruk. Dia berbicara dengan tenang, tidak gegabah.”
Lucas mencondongkan tubuh ke arah istrinya, nada suaranya penuh keyakinan. “Dia tidak sekadar menghabiskan uang Calix. Dia memperhatikan, belajar, bahkan berani bicara di forum sebesar ini. Itu kemajuan besar.”
Catherine menyilangkan tangan, menatap lurus ke depan.
“Atau bukan kemajuan, tapi … sesuatu yang tidak bisa ia lepaskan sejak lama.” Suaranya rendah, namun mengandung nada analitis. “Didikan keluarga Joevanca membuatnya menutup diri, selalu menjaga sikap, selalu menampilkan wajah sempurna. Mungkin yang kita lihat barusan bukan perkembangan, melainkan kebiasaan lamanya muncul di tempat yang tepat.”
Lucas terkekeh kecil, tidak setuju sepenuhnya.
“Kalau benar itu hanya kebiasaan lama, dia tidak akan begitu berani melawan argumen Beatrice dengan tenang. Itu bukan sekadar topeng. Itu keyakinan.”
Catherine terdiam sejenak, lalu menundukkan kepala sedikit.
“Aku hanya tidak ingin menaruh ekspektasi, Lucas. Ivy masih terlalu muda. Dan aku tahu, dunia kita tidak mudah untuk dihadapi. Kecuali, dia benar-benar punya tekad.”
Lucas menepuk tangan istrinya perlahan.
“Justru itu yang aku lihat hari ini. Tekad. Bukan sekadar nama besar keluarga Joevanca, tapi kemauan pribadinya. Percayalah, Sayang. Mungkin gadis itu jauh lebih kuat dari yang kita kira.”
Catherine hanya menghela napas, tidak menjawab. Tapi sorot matanya berubah—lebih serius, lebih menimbang.
Pintu ruangan berderit pelan, dan Angela masuk sambil menunduk hormat. Senyum manis sudah terpasang.
“Mrs. Catherine, Mr. Lucas.” Suaranya terdengar penuh hormat. “Saya hanya ingin menyampaikan satu hal kecil. Barangkali — agak di luar topik rapat tadi.”
Catherine menoleh singkat, alisnya terangkat. “Katakan.”
Angela — Catherine melihat id cardnya.
Angela merapatkan map di dadanya, mencoba tampak tulus. "Sebenarnya, ada satu hal yang cukup mengganggu.”
“Mengganggu?”
Angela menurunkan suaranya, seolah sedang berbagi rahasia penting. “Wanita yang tadi, sekretaris Ivy. Identitasnya tidak jelas. Perusahaan tidak mengadakan perekrutan, namun dia muncul tiba-tiba sebagai sekretaris pribadi. Bahkan beberapa kali terlihat cukup berani menggoda tuan CEO. Bukankah itu tidak pantas, apalagi di lingkungan profesional?”
Lucas menoleh pada Catherine sejenak, lalu menatap Angela lagi. Wajahnya sama sekali tidak berubah, hanya sedikit datar.
Catherine, alih-alih menunjukkan ketertarikan, justru mengangkat alis dingin. “Dan sejak kapan kau mulai menilai kehidupan pribadi CEO-mu, Nona Angela?”
Angela tertegun. “Saya — hanya berpikir, image perusahaan bisa tercoreng kalau ada pegawai yang terlalu dekat secara pribadi dengan atasan. Semua orang bisa salah paham, Mrs.”
Lucas tersenyum tipis, suara beratnya terdengar tenang tapi penuh tekanan. “Kalau yang kau khawatirkan hanya omongan orang, sebaiknya fokus saja pada pekerjaanmu. Calix tahu apa yang ia lakukan. Dan wanita itu …” Lucas berhenti sebentar, pandangannya seperti menyiratkan sesuatu yang Angela tak bisa baca. “… bukan orang sembarangan.”
Angela agak kaget, tapi buru-buru menjawab, “Saya hanya merasa ... perlu menyampaikan, agar nama baik Theodore tidak tercoreng.”
Ada jeda singkat. Catherine masih menatap Angela dengan ekspresi tak terbaca, sebelum akhirnya menuturkan kalimat dingin.
“Nama baik Theodore tidak runtuh hanya karena satu perempuan yang dekat dengan CEO, Nona Angela. Apalagi kalau suami saya menilainya berbicara dengan benar.”
Angela terdiam, wajahnya memanas. “Saya … hanya khawatir, Mrs.”
Lucas menyandarkan tubuhnya ke kursi, senyum tipis muncul.
“Jika kau khawatir, sebaiknya fokus pada bidang kerjamu saja. Ivy … tidak berada di dalam kendali kami.” Karena menantunya itu berada di dalam kendali Calix. Hanya pria itu yang mampu menjinakkannya.
Angela membeku. Kata Ivy lolos begitu saja dari bibir Lucas, membuat dadanya berdesir. Nama itu akhirnya punya identitas jelas di telinganya. Namun sebelum ia sempat bertanya lebih jauh, Catherine sudah mengalihkan pandangan, jelas tak ingin memperpanjang pembicaraan.
Angela menunduk lagi dengan cepat, menutupi rasa panas di pipinya.
“Baik, Mrs. Baik, Sir. Maafkan saya."
Ia keluar dari ruangan dengan senyum tipis yang dipaksakan. Tapi di dalam dadanya, rasa penasaran dan iri justru semakin besar.
Sebenarnya siapa wanita itu?!
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
syemangat ka ros /Kiss/
apa itu ibunya ivy?! "/Blush/apa mungkin alec ma ivy lain ibu ataukah ataukah ataukah?!! /Smirk/
jd inget eve kannn yg bocah kembar kayak emy ma lily
lanjut ka... /Kiss//Kiss/
semangat ka ros/Kiss/
up banyak-banyak
smangat 💪💪💪