NovelToon NovelToon
Istri Yang Tak Di Inginkan Pengacara Terkenal

Istri Yang Tak Di Inginkan Pengacara Terkenal

Status: sedang berlangsung
Genre:Nikahmuda / Cinta pada Pandangan Pertama / KDRT (Kekerasan dalam rumah tangga)
Popularitas:11.4k
Nilai: 5
Nama Author: Putri Sabina

Maya Amelia, seorang mahasiswi hukum Universitas Bangsa Mulya, tak pernah menyangka kalau takdir akan mempertemukannya dengan Adrian Martadinata pengacara muda,tampan,dan terkenal di kalangan sosialita.
Awalnya, Maya hanya mengagumi sosok Adrian dari jauh. Namun, karena sebuah urusan keluarga yang rumit, Adrian terpaksa menikahi Maya gadis magang yang bahkan belum lulus kuliah, dan tak punya apa-apa selain mimpinya.
Setelah Menikah Adrian Tak bisa melupakan Cinta Pertamanya Lily Berliana seorang Gundik kelas atas yang melayani Politisi, CEO, Pejabat, Dokter, Hingga Orang-orang yang punya Kekuasaan Dan Uang. Lily Mendekati Adrian selain karena posisi dirinya juga mau terpandang, bahkan setelah tahu Adrian sudah memiliki istri bernama Maya, Maya yang masih muda berusaha jadi istri yang baik tapi selalu di pandang sebelah mata oleh Adrian. Bahkan Adrian Tak segan melakukan KDRT, Tapi Ibunya Maya yang lama meninggalkannya kembali Greta MARCELONEZ asal Filipina untuk melindungi Putrinya

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Putri Sabina, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Antara Pasal dan Perasaan

Kantor Hukum Djoenaedi, Martadinata & Rekan – Jakarta, Pukul 18.00 WIB

Di ruang kerjanya yang elegan dan modern, Adrian Martadinata duduk sambil memeriksa berkas-berkas perkara. Jas hitamnya tergantung rapi di belakang pintu, sementara kemeja putihnya tampak bersih dan disetrika tanpa cela.

Asistennya, Rio—pria muda tangkas berkacamata tipis—masuk membawa map berwarna cokelat.

“Berkas saksi tambahan untuk sidang sore ini, Mas Adrian,” ujarnya sambil meletakkan map di atas meja.

Adrian mengangguk. “Jam berapa kita harus sampai di PN Jakarta Selatan?”

“Sidang dimulai pukul tiga. Tapi hakim biasanya telat lima belas menit,” jawab Rio, sambil mengecek jadwal di tabletnya.

Adrian berdiri dan merapikan dasinya di depan kaca. “Berarti kita harus jalan sekarang. Aku nggak suka datang mepet. Klien sudah nunggu?”

“Sudah. Tim juga standby di lokasi.”

Adrian mengambil jasnya, lalu berjalan cepat menuju lift. Di dalam mobil, ia membuka berkas dan membaca cepat, matanya tajam, fokus. Namun sesekali, wajahnya terlihat melamun.

Rio menoleh dari kursi depan. “Masih kepikiran seminar kampus tadi ya?”

Adrian mendengus kecil dan tersenyum. “Tahu aja lo. Itu anak… Maya, ya?”

Rio tertawa kecil. “Cantik, Mas. Lugu pula. Bahaya.”

Adrian terkekeh. “Justru itu. Lugu, polos... bisa bikin laki-laki lupa umur.”

Ia menggeleng pelan, menepuk dahinya. “Udah, fokus kerja dulu.”

Pengadilan Negeri Jakarta Selatan – Keesokan Pagi, Pukul 08.30 WIB

Cahaya pagi menyelinap masuk lewat kaca jendela tinggi gedung pengadilan. Ruang sidang belum ramai, tapi aura tegang sudah terasa. Adrian Martadinata duduk di barisan kursi penasihat hukum bersama asistennya, Rio, dan kliennya—seorang direktur muda dari perusahaan digital yang sedang tersandung perkara sengketa aset intelektual bernilai fantastis.

Adrian membuka laptopnya, memeriksa ulang draft pembelaan. Di sampingnya, Rio menyodorkan secangkir kopi hangat dari kantin bawah.

“Dua saksi dari pihak kita udah datang, Mas. Satu lagi katanya masih di jalan, macet,” lapor Rio cepat sambil mengecek pesan masuk di tabletnya.

Adrian hanya mengangguk tanpa menoleh, matanya tetap pada layar. Namun jemarinya berhenti sejenak—wajah Maya semalam kembali melintas di pikirannya. Tatapan polos dan nada suaranya yang gugup saat bertanya tentang hukum pidana… mengganggu fokusnya tanpa alasan jelas.

“Mas Adrian?” tegur Rio pelan.

Adrian mengerjapkan mata, menarik napas, lalu kembali menatap layar. “Iya. Sorry. Gue fokus.”

Di sebelahnya, klien mereka—Bernard, pria muda dengan jas abu-abu yang tampak terlalu mewah untuk suasana sidang—terlihat gelisah. Kakinya bergetar, tangan memegang ponsel tapi tak benar-benar membaca apapun.

“Tenang, Pak Bernard. Di sidang ini kita ajukan bukti kronologi pengembangan dan email internal. Pihak lawan gak akan bisa bantah kalau semua terstruktur,” ujar Adrian sambil menyusun beberapa lembar dokumen.

Bernard menelan ludah. “Kalau hakim condong ke mereka?”

“Kalau kita panik, justru mereka yang menang. Saya akan pastikan hakim paham bahwa ide awal dan eksekusinya berasal dari tim Anda,” tegas Adrian.

Rio berdiri dan berjalan ke pintu, memastikan saksi ketiga segera tiba. Beberapa menit kemudian, pintu ruang sidang terbuka. Seorang panitera masuk dan memberi aba-aba: hakim akan segera hadir.

Adrian berdiri, merapikan jasnya. Ia menoleh ke arah Bernard. “Tarik napas. Luruskan punggung. Sekarang waktunya mereka tahu siapa yang punya cerita yang sebenarnya.”

Begitu majelis hakim memasuki ruangan, semua orang berdiri. Adrian melangkah maju, wajahnya datar tapi tenang. Dalam pikirannya, ia menyapu semua gangguan—termasuk Maya.

Setidaknya… untuk sementara.

Pengadilan Negeri Jakarta Selatan – Pukul 11.50 WIB

Ruangan sidang terasa hening saat majelis hakim kembali dari ruang musyawarah. Semua mata tertuju pada podium hakim ketua yang bersiap membacakan putusan sela.

Adrian duduk tegak di kursi penasihat hukum, ekspresinya tenang namun matanya tajam. Bernard, kliennya, tampak menunduk tegang.

Hakim ketua membuka berkas, lalu berbicara dengan suara datar namun tegas.

“Setelah mempertimbangkan dalil-dalil yang disampaikan oleh pihak penggugat dan tergugat, serta berdasarkan alat bukti dan keterangan saksi… maka Majelis Hakim menyatakan bahwa gugatan pihak penggugat tidak berdasar hukum.”

Bernard menoleh cepat pada Adrian, matanya melebar.

“Dengan demikian, gugatan dinyatakan ditolak seluruhnya. Biaya perkara dibebankan kepada pihak penggugat.”

Tok. Tok. Tok.

Palu diketuk tiga kali. Sidang selesai. Seketika ruang sidang bergemuruh pelan—bisik-bisik, helaan napas lega, dan ketukan kursi terdengar bersahutan.

Rio menepuk bahu Adrian pelan dari belakang.

“Selamat, Mas. Clean win.”

Adrian hanya mengangguk kecil, bibirnya menyunggingkan senyum tipis. Ia berdiri, menyalami hakim dan rekan pengacara lawan dengan profesional. Setelah itu, ia menoleh ke Bernard.

“Selamat, Pak. Hak Anda tetap milik Anda. Sekarang saatnya perbaiki reputasi perusahaan.”

Bernard terlihat nyaris tak percaya. “Saya… saya gak nyangka. Terima kasih banyak, Mas Adrian. Saya… utang segalanya ke tim Anda.”

Adrian tersenyum tipis, lalu merapikan mapnya.

“Yang penting sekarang, jangan ulangi kesalahan kecil yang bisa dimanfaatkan pihak lain. Dunia hukum bukan cuma soal menang—tapi soal bertahan.”

Di luar ruang sidang, beberapa wartawan mencoba mendekat, tapi Adrian hanya melambaikan tangan dan berkata cepat, “Silakan hubungi tim media firma kami kalau mau pernyataan resmi, ya.”

Saat ia berjalan menuju mobil bersama Rio, matanya menyipit menatap cahaya siang yang mulai terik. Ia menunduk sedikit, lalu bergumam lirih:

“Satu selesai… yang lain menunggu.”

Rio menoleh. “Maksudnya?”

“Gak, cuma ngomong ke diri sendiri,” jawab Adrian cepat.

Namun jauh di benaknya, bayangan Maya Amelia belum benar-benar menghilang—dan ia benci bagaimana itu terus menyelinap di tengah kemenangannya yang seharusnya mutlak.

Parkiran Basement – PN Jakarta Selatan, Pukul 12.30 WIB

Adrian baru saja masuk ke dalam mobilnya ketika ponselnya bergetar. Nama Lily Berliana muncul di layar, pria itu sempat terdiam sejenak sebelum akhirnya menjawab.

“Lily?”

Suara Lily terdengar ceria namun menggoda.

“Congrats ya, Drian. Aku lihat di berita, kamu menang lagi. Kayak biasa... pengacara kebanggaan Jakarta.”

Adrian tersenyum lelah.

“Thanks. Cuma sidang korporasi biasa, bukan yang istimewa.”

“Tapi kamu tetap luar biasa di mataku,” sahut Lily cepat. “Denger, kamu pasti capek kan? Ke apartemen aku yuk sore ini. Aku udah siapin semuanya. Bahkan…”

Suara Lily sengaja direndahkan, menggoda.

“…udah beli kondom rasa stroberi. Masih inget yang kamu suka kan?”

Adrian menahan napas, lalu tertawa kecil. Tawa yang hambar.

“Lily…” gumamnya pelan.

“Apa?” sahut Lily cepat. “Gak boleh ya, mantan ngajak rileks bentar? Gak usah mikir berat-berat. Aku gak nuntut kamu balikan. Just… come over.”

Adrian menatap ke depan, ke pantulan dirinya di kaca mobil. Untuk sesaat, bayangan wajah Maya muncul. Polos, jujur, dan jauh dari dunia gelap yang selama ini ia jalani.

Tapi ia menggeleng cepat.

“Maya itu masih anak-anak,” batinnya. “Gue ini pengacara senior, bukan cowok kampus.”

Ia menghela napas.

“Oke, jam berapa?”

Lily tertawa puas. “Jam lima. Aku tunggu ya, Drian. Jangan lupa bawa energi.”

Telepon ditutup. Adrian bersandar di kursi, menutup matanya. Ia tahu apa yang sedang ia lakukan—melarikan diri dari perasaan yang tidak seharusnya. Bukan karena Lily yang ia mau… tapi karena Maya tak bisa ia miliki.

“Ini lebih aman,” gumamnya pelan, sebelum akhirnya menyalakan mesin mobil dan melaju meninggalkan gedung pengadilan.

1
partini
🙄🙄🙄🙄🙄
Azka Bara
kapan maya bahagianya,,terus itu Adrian kq tidak si pecat sih
Azka Bara
mosok Adrian masih mau sama lily sih,di tunggu karmamu Adrian
Daplun Kiwil
semangat up nya thor
partini
ini baru lawan sepadan good girl 👍👍 adikmu terlalu lemah lembut gampang di sakiti ,, pertarungan seperti apa yah selanjutnya di antara mereka lanjut thor
partini
OMG ini mah wow buangttt kalau masih balikan double wow no good
partini
suami gemblung
Uthie
sebenarnya sy kadang aga malas kalau baca di awal, dimulai proses yg panjang nya dulu 😁
Pinginnya gak panjang-panjang awalan ceritanya...
malah kadang suka lebih seru kalau awalan nya langsung yg konflik atau sudah jadi nya aja 👍😁
Ditengah atau setelahnya baru dehh bisa di ceritakan lagi sedikit atau pelan-pelan proses dari awalan Konflik tsb 👍😁🙏

kalau di awalin sebuah perjalanan cerita tsb,kadang suka nimbulin boring dulu baca nya... kelamaan ke konflik cerita tsb nya 🙏🙏🙏
Putri Sabina: berarti suka yang alurnya mundur ya daripada maju/Smile/
total 1 replies
partini
nyeseknya,,so kita lihat the next episode apakah anding nya bersatu lagi seperti ana dan adam atau berpisah
Uthie
ketidak beranian kadang meninggalkan penyesalan dikemudian hari .. saat seorang wanita butuh laki2 yg berani dan pasti-pasti aja 👍😁
Uthie
coba mampir 👍
Eridha Dewi
kok kasihan Maya ya Thor, dah cerai saja
Qian Lin
tapi memang bukan perempuan baik2 kan li? adrian tau engga ya kamu simpenan2 lain? kamu terlalu pinter nutupin atau memanh si adrian yang buta.
Qian Lin
yaaampun,. menyadari kalau kamu ani - ani. ya sifat manusia sih.
Qian Lin
yang bener Mario Santiego atau mario Dantes. wkwkwkw lupa ganti kah autor
Putri Sabina: Mario Dantes Santiago
total 1 replies
Qian Lin
aduh bingung ai, diawal bapak bilang, ibu bakal balik, ini dia nglarang buat jangan panggil ibu. Kontradiksi. jadi gimana sifat bapak ahmad ini, dingin dan tegas atau lembut penyayang?
Putri Sabina: nanti revisi Kakakku/Smile/
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!