NovelToon NovelToon
"Blade Of Ashenlight"

"Blade Of Ashenlight"

Status: sedang berlangsung
Genre:Dunia Lain
Popularitas:361
Nilai: 5
Nama Author: stells

Di tanah Averland, sebuah kerajaan tua yang digerogoti perang saudara, legenda kuno tentang Blade of Ashenlight kembali mengguncang dunia. Pedang itu diyakini ditempa dari api bintang dan hanya bisa diangkat oleh mereka yang berani menanggung beban kebenaran.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon stells, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Reruntuhan Di Selatan

Perjalanan membawa mereka ke dataran berbatu yang sunyi, jauh dari desa maupun kota. Angin membawa debu, dan di kejauhan, pilar-pilar runtuh menjulang.

Selene menatap reruntuhan itu dengan wajah pucat. “Itu… reruntuhan Aerythis. Kota kuno yang hilang dalam perang melawan bayangan berabad-abad lalu.”

Alden menyipitkan mata. “Kalau kota ini sudah mati, kenapa tanahnya masih terasa… bernafas?”

Edrick turun dari kudanya, melangkah ke tengah reruntuhan. Ashenlight bergetar liar, sinarnya makin kuat seolah mengenali tempat itu.

Di tengah alun-alun kota yang runtuh, ada mosaik batu yang masih utuh. Gambarnya: seorang pria membawa pedang menyala biru, berdiri di atas tumpukan bayangan yang terbakar.

Wajah pria itu… mirip dengan Edrick.

Rowan, si prajurit muda yang pernah ketahuan membawa batu bayangan, ternganga. “Tuan… itu seperti dirimu.”

Selene berjongkok, menyentuh mosaik. “Ini bukan kebetulan. Api biru bukan sesuatu yang baru. Ini warisan. Keturunan darahmu pernah memegangnya.”

Tiba-tiba, angin dingin berputar di sekitar mereka. Dari reruntuhan, bayangan tipis muncul, membentuk sosok transparan berjubah panjang.

Suaranya bergema lemah. “Pewaris akhirnya datang. Darah yang membawa luka… dan cahaya.”

Edrick menatap sosok itu. “Siapa kau?”

“Aku penjaga yang gagal. Aku dulu memegang api biru, tapi kalah oleh bisikan Malrik. Aku terbakar oleh api yang sama yang seharusnya jadi pelindungku. Kini, aku hanya arwah.”

Api biru di Ashenlight menyala semakin terang, seolah menegaskan kebenaran kata-kata itu.

“Kalau begitu, api ini bukan hanya pedang,” kata Edrick pelan. “Ini warisan yang bisa memakan pemiliknya.”

Arwah itu mendekat, matanya kosong tapi suaranya tegas. “Benar. Kau tidak akan menang melawan Malrik dengan pedang saja. Kau harus memilih: menjadi api, atau membiarkan api membakar dirimu.”

Sebelum Edrick sempat bertanya lebih lanjut, bayangan itu hancur ditiup angin, lenyap tanpa jejak.

Selene menatapnya dengan gelisah. “Kau dengar sendiri. Api itu bisa jadi senjata… atau kutukan. Semua tergantung pada pilihanmu.”

Edrick memandang mosaik yang menggambarkan dirinya berabad-abad sebelum ia lahir. “Kalau begitu… mungkin aku tidak hanya melawan Malrik. Aku melawan sejarah yang ingin mengulang dirinya sendiri.”

Matahari senja menyinari menara emas Arvendral. Dari kejauhan, ibukota tampak megah: tembok tinggi, bendera kerajaan berkibar, dan jalan batu yang dipenuhi rakyat berdesakan.

Saat rombongan Edrick mendekat, sorak-sorai pecah.

“Pangeran Hale!”

“Pewaris api!”

“Penyelamat!”

Namun, di antara teriakan itu, ada juga wajah-wajah ketakutan, bisikan yang menyebutnya “kutukan”.

Alden berkuda di samping Edrick, suaranya rendah. “Lihat baik-baik. Mereka menyambutmu, tapi mereka juga takut. Api biru bukan sekadar berkah di mata mereka.”

Edrick mengangguk, matanya menatap rakyat. Setiap sorak membuat hatinya berat—seolah beban takhta sudah menempel di pundaknya, meski ia belum memasukinya.

Di balik keramaian, Selene memperhatikan balkon-balkon batu di atas gerbang. Ia berbisik cepat. “Ada mata yang terlalu tajam di sana. Hati-hati. Para bangsawan sudah lebih dulu menunggumu.”

Gerbang utama terbuka. Trompet berbunyi, dan prajurit kerajaan berbaris rapi.

Di atas tangga istana, berdiri Raja Aldric—ayah Edrick—dengan jubah merah dan mahkota emas. Wajahnya keras, matanya menatap tajam, bukan penuh kasih.

“Anakku,” suaranya menggema. “Kau kembali membawa pedang api, dan bersama itu, kau membawa harapan. Masuklah.”

Edrick menapaki tangga batu. Ashenlight di punggungnya berdenyut samar, seolah merasakan bahaya.

Di ruang singgasana, aula dipenuhi bangsawan berbusana indah. Namun di balik senyum mereka, tersembunyi ketegangan.

Lord Veynar meneguk anggur, Lady Corvane menyembunyikan senyum tipis, dan Lord Fenric menatap Edrick dengan benci terbuka.

Raja Aldric berdiri. “Hari ini, putraku kembali. Tapi sebelum api biru mengklaim dirinya pewaris, ia harus membuktikan diri di mata kerajaan.”

Bisik-bisik langsung memenuhi aula.

Edrick mengangkat kepala, tatapannya lurus. “Buktikan? Aku sudah melawan bayangan, sudah menyeberangi sungai kutukan, sudah menyaksikan kota hancur. Apalagi yang harus kubuktikan?”

Aldric menatapnya dingin. “Kau harus membuktikan bahwa api itu milikmu—bukan kutukan yang suatu hari akan membakar Arvendral dari dalam.”

Saat itu, Lady Corvane memberi isyarat halus dengan jemarinya. Seorang pelayan menyodorkan piala anggur ke arah Edrick.

Selene menegang, Alden meraih gagang pedangnya, dan Rowan hampir berteriak. Tapi Edrick hanya menatap piala itu, lalu tersenyum tipis.

“Kalau ini ujian,” katanya, “maka aku tidak minum dari tangan yang gemetar oleh ketakutan.”

Ia menepis piala itu hingga jatuh, anggur merah tumpah ke lantai dan di mana anggur menyentuh batu, asap tipis beracun mengepul.

Ruangan hening. Tatapan semua orang tertuju pada Lady Corvane, tapi ia hanya tersenyum dingin.

Raja Aldric menatap anaknya lama, lalu berujar dengan suara berat.

“Kalau begitu… permainan sudah dimulai.”

Malam turun di Arvendral. Istana yang megah dan penuh cahaya siang kini sunyi, hanya diterangi obor di lorong-lorong batu. Namun di dalam keheningan itu, bayangan bergerak lebih bebas dari siapa pun.

Edrick duduk di kamarnya, Ashenlight bersandar di meja kayu. Ia mencoba tidur, tapi api biru di pedang berdenyut, tak membiarkannya tenang.

Tiba-tiba, udara dingin merayap di ruangan. Api obor di dinding berkedip, lalu padam satu per satu.

“Pangeran Hale…” Suara itu berbisik, datang dari setiap sudut ruangan.

Edrick berdiri cepat, meraih pedangnya. Ashenlight menyala, menerangi kabut hitam yang merayap di lantai.

Dari kegelapan, muncul sosok berjubah. Wajahnya tertutup topeng perak retak, matanya kosong bagai jurang.

“Aku bukan musuhmu,” katanya, suaranya parau. “Aku pembawa pesan.”

Edrick mengangkat pedang. “Pesan dari siapa? Bayangan?”

“Dari kebenaran,” jawab sosok itu. Ia mengangkat tangannya, dan di udara muncul gambaran kabur: para bangsawan di ruang rahasia, bersekongkol dengan bisikan gelap, bahkan lebih jauh—dengan Malrik sendiri.

“Kau pikir musuhmu hanya di luar tembok ini? Tidak, Pangeran. Musuhmu duduk di meja makan ayahmu, mengenakan jubah emas, dan memegang segel kerajaan.”

Edrick menahan napas. “Kenapa kau memberitahuku ini? Apa yang kau inginkan?”

Topeng retak itu bergetar. Suara sosok itu pecah antara lirih manusia dan dengung bayangan.

“Aku… aku dulu manusia. Aku ksatria. Aku mengabdi pada ayahmu. Tapi ketika ia menolak api biru, aku jatuh ke pelukan bayangan. Kini aku terjebak di antara dua dunia.”

Sosok itu mendekat, suaranya menekan. “Dengarkan aku. Kau tak bisa percaya pada ayahmu, apalagi pada dewan bangsawan. Kalau kau ingin bertahan, kau harus membentuk persekutuanmu sendiri… di luar istana.”

Sebelum Edrick bisa bertanya lebih jauh, tubuh sosok itu retak seperti kaca, lalu pecah jadi kabut hitam yang menghilang di udara.

Ashenlight bergetar keras, api birunya hampir meledak.

Pintu kamar tiba-tiba terbuka Selene masuk dengan mata waspada, Alden di belakangnya dengan pedang terhunus.

“Apa yang terjadi?” tanya Selene cepat.

Edrick menatap ruang kosong tempat sosok itu berdiri, lalu berkata pelan.

“Bayangan memberiku pesan. Musuhku tidak hanya Malrik. Musuhku juga duduk di balairung ini.”

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!