Di dunia ini manusia terbagi menjadi beberapa golongan, yaitu fells, Aether, dan Halflings. Fells merupakan manusia biasa yang tidak memiliki kemampuan apapun, dan hanya menjalani hidup seperti manusia biasa Sedangkan Aether adalah manusia yang memiliki kemampuan pengendalian elemen, setiap orang hanya bisa mengendalikan 1 elemen. Namun ada spesies khusus di dalamnya yaitu dark dan light yaitu pengendali elemen kegelapan dan cahaya Halflings adalah manusia yang bisa merubah dirinya menjadi hewan Dan itulah penjelasan singkat tentang cerita ini selanjutnya akan dibahas didalam
Bagian 1
Arsen
Anak lelaki yatim yang dibesarkan di panti asuhan tanpa mengerahui siapa orang tuanya, dan mengapa mereka membuangnya.
Seumur hidup ia mengira bahwa ia adalah suatu produk kegagalan atau seseorang yang tidak diinginkan oleh orang tuanya.
Arsen berambut warna putih, wajah yang imut dan memiliki tinggi 145 cm diumurnya yang sekarang 15 tahun ini, dia adalah sosok yang introvert dan kutu buku. Namun bukan berarti dia tidak kuat atau bagus dapam kekuatannya.
Arsen adalah seorang Aether elemen air/es, ia sudah belajar dengan sangat giat dan melatih elemennya agar ia bisa menyusul sahabat masa kecilnya yang akan menghadiri Akademi Aetheris di tahun yang sama dengannya.
Mereka sudah lima tahun tidak bertemu namun Arsen tetap menganggapnya sebagai teman karena ia mengingat segala kebaikan yang pernah dilakukannya.
Axel
Teman masa kecil Arsen. Ia adalah putri dari seorang bangsawan dan memiliki harta besar dan juga terlahir dengan keadaan kaya raya.
Axel sering bertemu dengan Arsen karena orang tuanya adalah penyumbang bagi panti asuhan tempay tinggal Arsen.
Axel memiliki tinggi 175 cm dan berambut hitam.
Sifatnya juga sangat berbalikan dengan Arsen, Axel adalah irang yang extrovert dan ceria dan semena mena padahal dia adalah seorang perempuan bangsawan yang seharusnya anggun.
/////////////////////////////
10 tahun lalu
Arsen kala itu masih berumur 5 tahun.
Ia hanya duduk dibawah pohon dan membaca buku pelajaran yang ia ambil dari perpustakaan panti asuhan.
Kala itu para penyumbang sedang datang dan bermain dengan anak anak panti, banyak dari anak panti yang mencoba untuk menarik perhatian orang orang kaya agar bisa di adopsi suatu saat.
Namun Arsen dengan banyaknya penolakan yang sudah ia alami kini ia menyerah untuk mendapatkan adopsi dan lebih memilih untuk memfokuskan untuk belajar dan menjadi orang yang kuat suatu saat nanti.
“Kau sudah mencoba eskrim ini Arsen?” Tanya Axel yang datang dengan dua eskrim ditangannya.
Arsen tanpa mengalihkan pandangannya dari buku “aku kira aku tidak dapat” jawab Arsen.
padahal ia hanya malu untuk memintanya.
“Makanlah” Axel memberikan eskrimnya kepada Arsen.
Namun itu semua hanyalah kenangan dan ingatan kekanak kanakan
Kini mereka telah berumur lima belas tahun dan berada di sekolah yang sama
Namun……
////////
Axel tertawa lepas bersama dua temannya di bangku depan. Arsen hanya duduk diam di barisan belakang, jari-jarinya menari di atas permukaan meja, mengembunkan uap air dari udara.
Lima tahun. Sudah lima tahun sejak terakhir mereka bicara sungguhan. Dulu, Axel sering datang ke panti asuhan tempat Arsen tinggal, menyelinap keluar dari kereta kuda keluarga bangsawannya hanya untuk main layang-layang di belakang dapur.
Waktu itu Axel masih belum tahu sopan santun bangsawan, dan Arsen belum belajar caranya menutup diri.
"Aku lebih tinggi darimu sekarang, Arsen!" seru Axel saat mereka berpisah di usia sepuluh tahun. "Tapi aku bakal tetap jadi temanku ya!"
Arsen masih ingat kata-kata itu, tapi tak ada yang tersisa kini selain senyum sekilas dan anggukan canggung setiap kali mereka tak sengaja bertemu di lorong akademi.
Dia melihat Axel bercanda dengan para kadet lain—anak-anak dari para penguasa wilayah, atau penerus garis darah Aether yang terpandang. Axel tampak begitu mudah berbaur, seolah tak pernah ada sejarah antara mereka.
“Jangan terlalu berharap dari seseorang yang sudah punya dunia sendiri sekarang,” gumam Arsen pelan, lebih ke dirinya sendiri.
Mereka sempat berpapasan di hari pertama sekolah dan Arsen tau bahwa Axel masih mengenalnya. Namun Axel hanya tersenyum canggung dan melewatinya begitu saja bersama teman barunya.
Arsen memahami maksud dari tindakan itu yaitu Axel sudah punya teman dan dunia baru sekarang. Arsen tidak kecewa tidak pula marah, karena ia selalu mementingkan kebahagiaan Axel dibanding dirinya sendiri.
Ketika pelajaran selesai Arsen langsung kembali ke kamarnya untuk istirahat sebelum nanti sore ia pergi ke perpustakaan untuk membaca buku.
Di Akademi Aetheris tiap siswa memiliki kamarnya masing masing dan kamar mandi di dalamnya dan juga tersedia lemari.
Arsen mengganti pakaiannya menjadi pakaian santai yaitu kaos oversize dan celana pendek, kaos itu hampir menutupi celana pendeknya namun tidak sepenuhnya.
Ia istirahat sebentar rebahan di atas kasurnya dan memejamkan matanya. Ia sangat sadar bahwa sekarang ia tidak tertidur, namun ada hal yanng mengganjalnya.
Yaitu bahwa sekarang ia tidak bisa bergerak, dan ia kini berada ditempat yang gelap.
Namun ia tersadar bahwa ini bukanlah mimpi. Namun kenangan yang lama tersimpan.
“Zeno….”
”—Zeno”
Entah mengapa nama itu terus disebut dalam kenangannya. Ia terus mendengar nama itu.
‘Siapa?… siapa Zeno?’ Batinnya. Ketika ia hampir mendapat jawaban akhirnya ia terbangun dan terduduk di atas kasurnya.
Nafasnya yang masih terengah engah ia coba untuk netralkan.
Ia mulai beranjak ke kamar mandi dan membasuh wajahnya dan mengambil kacamatanya beranjak ke perpustakaan.
Ia akan mencari tau apa arti dari nama Zeno itu.
Ia mengambil buku sejarah yang ada di perpustakaan dan membawanya ke pojokkan.
Ia mencari nama tersebut yaitu Zeno. Namun ia tak menemukan apapun. Hanya ada nama Aleanzo yang terukir di sejarah.
Aleanzo adalah nama keluarga dari keturunan mulia. Generasi pertama bernama Atlas Aleanzo pemilik kekuatan mulia pertama. Dilanjut dengan generasi ke dua putranya yaitu Aslan Aleanzo. Mereka berdua telah meninggal karena gugur di medan perang melawan 4 raja neraka dan 6 dewa naga.
Kini yang tersisa adalah generasi ke 3 sampai lima.
Di generasi ke tiga ada putra dari Aslan yaitu Arci Aleanzo yang juga dikenal sebagai Aether terkuat sepanjang masa. Ia memiliki kekuatan yang mampu mengimbangi dewa naga.
Dan untuk generasi ke empat dan lima memang belum mencatat nama mereka di buku sejarah.
Arsen tidak menyadari bahwa selama ia membaca buku tadi ada seseorang yang duduk disebelahnya.
“Hai” ucap orang itu.
Arsen pun terkejut dan sedikit terlompat. Ia menoleh ke samping dan mendapati Axel yang duduk disebelahnya dan menatapnya dengan senyuman.
“H-hai” jawab Arsen.
“Bukankah kau sudah menyelesaikan buku itu dari beberapa tahun lalu?” Tanya Axel.
“A-a-aku hanya membaca ulang, takut ada yang kelupaan” jawab Arsen gugup.
Pasalnya ia tidak pernah berbincang lagi dengan Axel semenjak mereka bertemu kembali maka dari itu suasana canggung terbuat.
Namun Axel hanya terkekeh dan menatap Arsen dengn serius.
“Arsen…” panggilnya
Arsen mendelik dan ikut menatapnya juga.
“Kita berdua tau bahwa kau menyukaiku kan” ucap Axel secara terang terangan kepada Arsen.
Arsen hanya bisa menunduk dan mengangguka menahan rasa malu dan menyembunyikan wajahnya yang memerah.
“Aku juga tau bahwa kau sering curi pandang kepadaku beberapa waktu ini” lanjut Axel.
Arsen semakin malu untuk menatap wajahnya sekarang. Ia semakin menundukkan wajahnya.
"Aku menghargai itu, sungguh. Kamu satu-satunya orang di tempat itu yang membuatku merasa jadi anak biasa, bukan putri bangsawan. Tapi sekarang..." Dia mengangkat pandangannya. "Duniamu dan duniaku... terlalu jauh, Arsen."
Hening.
Arsen hanya tersenyum kecil, lalu menjawab lirih, "Aku tahu."
Axel menatapnya, terkejut dengan ketenangannya.
"Aku hanya ingin kau bahagia," lanjut Arsen. "Kalau aku bukan bagian dari kebahagiaan itu... tidak apa-apa."
Axel tersenyum ia senang memiliki teman yang bisa mengerti.
“Baiklah, aku tadi kemari ingin mencari barangku yang tertinggal setelah bolos tadi, namun aku menemukanmu secara tak sengaja, aku harus segera pergi latihan untuk turnamen,
Aku tidak sepertimu yang bisa paham hanya dengan teori” Axel beranjak dan meninggalkan Arsen dengan tersenyum.