NovelToon NovelToon
60 Hari Untuk Hamil

60 Hari Untuk Hamil

Status: sedang berlangsung
Genre:Balas Dendam / Lari Saat Hamil / Nikah Kontrak / Kehidupan Manis Setelah Patah Hati / Romansa / Disfungsi Ereksi
Popularitas:5.9k
Nilai: 5
Nama Author: Ferdi Yasa

“Aku akan membuatmu hamil, tapi kau harus melakukannya dengan caraku dan hanya aku yang akan menentukannya. Setelah kau hamil, kontrak kita selesai dan pergi dari hidupku.”

Itulah syarat Alexander Ace—bosku, pria dingin yang katanya imp0ten—saat aku memohon satu hal yang tak bisa kubeli di tempat lain: seorang anak.

Mereka bilang dia tak bisa bereaksi pada perempuan. Tapi hanya dengan tatapannya, aku bisa merasa tel4njang.

Dia gila. Mendominasi. Tidak berperasaan. Dan terlalu tahu cara membuatku tunduk.

Kupikir aku datang hanya untuk rahim yang bisa berguna. Tapi kini, aku jatuh—bukan hanya ke tempat tidurnya, tapi juga ke dalam permainan berbahaya yang hanya dia yang tahu cara mengakhirinya.

Karena untuk pria seperti Alexander Ace, cinta bukan bagian dari kesepakatan.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ferdi Yasa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 27 Tubuhmu, Penawarnya

Tepat tengah malam, Eve terbangun. Kepalanya masih terasa ringan, tapi langkahnya membawanya keluar kamar. Di sana, di depan pintu kamar, Alex, Rayyan, dan Nic masih duduk, entah membahas apa.

Pandangan Eve segera tertuju pada wajah Alex—lebam, memar, dan robekan kecil di pelipisnya. Tanpa pikir panjang, dia mendekat dan menatap wajah pria itu dari jarak dekat. Sangat dekat.

“Apa yang kau lakukan?” geram Alex. Ia segera mendorong tubuh Eve menjauh. Jika tidak, dia tahu dirinya akan menyeret wanita itu ke pelukannya, lalu kehilangan kendali.

“Seharusnya aku yang tanya. Apa yang terjadi dengan wajahmu itu?”

“Bukan urusanmu. Kenapa kau bangun?”

“Aku lapar. Tapi … aku tidak tahu kenapa aku bisa pingsan tadi.” Eve mendorong tubuh Nic untuk bergeser dan menyodorkan tangannya. “Sepertinya kau harus periksa aku juga. Kenapa aku bisa selemah itu? Apa aku terkena darah rendah?”

Wajah polos Eve membuat Nic tak bisa menahan tawa. Ia menggeleng-geleng pelan.

Apa Eve benar-benar tidak sadar seseorang sudah mencampuri minumannya? Atau dia terlalu polos untuk menyangka hal seperti itu bisa terjadi padanya?

“Kenapa tertawa? Ayo, periksa aku!” desak Eve.

“Ya, kau mengalami darah rendah,” potong Alex cepat, suaranya tajam. “Nic sudah memeriksamu. Dan mulai sekarang, kau tidak boleh ke mana-mana selain ke toko. Terutama, bar. Lupakan tempat itu.”

“Memangnya kenapa? Apa hubungannya? Lagi pula, darah rendah bukan penyakit serius. Impoten saja bisa disembuhkan,” balas Eve, sengaja menyinggung. Tatapannya menyipit, penuh sindiran.

“Berhenti berkata seperti itu.” Wajah Alex menegang.

Eve mencebik kesal, lalu mengalihkan pandangannya. “Oh ya. Aku lupa. Ibumu menyuruhku pulang lebih awal tadi. Apa aku mengacaukan makan malam? Di mana dia sekarang?”

“Ya, kau memang mengacaukannya. Dan sekarang dia sudah pulang.”

“Cepat sekali. Kenapa?”

“Karena kau yang membuatnya pulang cepat.”

Eve hanya mendengus. Tanpa bicara lagi, ia berbalik dan pergi ke dapur. Perutnya benar-benar lapar. Ia membuka lemari es dan menemukan semangkuk sup dalam wadah tertutup.

“Sup jamur?” gumamnya. “Aku sudah lama tidak makan ini.”

Ia memanaskannya, dan aroma gurih segera menyebar di udara, membangkitkan selera makannya. Eve menuangkan itu ke dalam mangkuk, duduk, dan menghabiskannya sampai tetes terakhir.

Sambil menyeruput teh yang baru ia buat, Eve kembali ke atas. Ia melangkah santai ke arah para pria yang masih di sana. “Alex, sup jamur tadi enak sekali. Ibumu yang masak? Aku sangat menyukainya.”

Alex yang sebelumnya bersandar di sofa mendadak menegak. “Sup apa yang kau makan?”

“Sup jamur yang ada di lemari es. Aku panaskan, lalu aku makan. Kenapa?”

Wajah Alex mengeras. “Kau memakannya?” desisnya.

“Ya. Apa kau juga mau? Sayangnya … sudah kuhabiskan tadi.”

Alex menggeram pelan, sementara Rayyan langsung memijit pelipisnya, nyaris putus asa.

“Rayyan, suruh pelayan membuang semua makanan dari lemari pendingin. Sekarang juga,” perintah Alex dingin. Lalu dia menatap Eve. “Dan kau, ikut aku.”

Eve baru saja duduk, tapi Alex menarik tangannya lagi.

“Alex, kau mau bawa aku ke mana?”

“Ke kamar. Dan aku akan menguncimu.”

Eve mengira dia bercanda—sampai pria itu benar-benar membawanya masuk dan menutup pintu. Eve menahan tubuhnya di ambang, panik. “Apa yang kau lakukan?! Aku tidak salah apa-apa!”

“Kau memang tidak salah. Tapi kau sudah memakan sup itu.” Mata Alex tajam. “Sup yang dicampuri obat per4ngsang oleh ibuku.”

“A—apa?” Eve membelalak.

“Masuk. Dan dengarkan baik-baik. Kau tidak akan bisa keluar sampai aku membukakan pintunya sendiri. Kalau kau mulai kepanasan, rendam dirimu di kamar mandi.”

Dengan dingin, Alex menutup pintu dan menguncinya dari luar.

Sial. Bahkan saat Laureen sudah tidak ada di rumah, jebakannya masih bekerja. Dan sekarang, giliran Eve yang menjadi sasarannya. Wanita itu benar-benar meresahkan!

“Alex, apa kau yakin membiarkannya di sana sendirian?” tanya Nic, meski nada suaranya tidak setegang biasanya. Ada sesuatu yang lain di balik ekspresinya.

“Akan lebih berbahaya jika aku juga ada di sana,” jawab Alex pelan, mencoba menahan gelombang resah yang mulai menggerogoti pertahanannya.

Nic masih berdiri di dekat pintu, namun ia tidak menawarkan bantuan medis seperti biasanya.

“Nic,” Alex menoleh dengan curiga, “Bukankah ini saatnya kau bekerja?”

Nic mengangkat bahu dengan senyum yang sulit ditebak. “Obat semacam itu tidak akan membunuhnya. Tapi rasa yang timbul ... sangat menyiksa. Dan hanya bisa diredakan dengan satu cara.” Ia menatap tajam Alex. “Kau tahu maksudku.”

“Jangan gila,” desis Alex. “Kau ingin aku—”

“Aku hanya berpikir mungkin ini saatnya kau tidak terus-menerus menahan apa yang jelas-jelas ingin kau rasakan.” Nic bersandar ke dinding, santai. “Dia memanggil namamu. Bukan orang lain. Mungkin tubuhmu adalah satu-satunya penawar yang bisa benar-benar menenangkan dia malam ini.”

Alex mencengkram ujung kausnya kuat-kuat. Dari dalam kamar, suara lembut Eve kembali terdengar.

“Alex … bisa kemari? Tolong ....”

Nic tersenyum licik. Dia menepuk bahu Alex sekali dan berkata, “Kau dengar? Dia memanggil namamu, bukan aku. Jadi … semoga berhasil untuk malam ini. Aku … ah, ada pasien yang menungguku. Selamat tinggal.”

Sebelum Alex menariknya lebih jauh, buru-buru Nic melepaskan diri, lalu turun sambil berlarian. Kabur.

Suara Eve terdengar serak dan menggoda. Alex mer3mas sisi pintu, tubuhnya tegang. Godaan untuk mendobrak masuk begitu besar, tapi ia sudah bersumpah tidak akan menyentuh Eve hingga kontrak mereka berakhir. Lalu, suara itu berhenti. Eve tak memanggilnya lagi.

Alex bersandar di dinding, gelisah. Mungkin Eve tengah berendam seperti yang ia sarankan. Tapi ... kenapa terlalu sunyi?

Di dalam kamar mandi, Eve menggigil meski tubuhnya panas. Sudah beberapa kali dia mencelupkan kepalanya ke dalam air dingin, berharap efek itu memudar. Tapi tidak—hasrat itu terus menyiksa. Dia menginginkan Alex. Bukan sekadar menyentuh, tapi memeluk, menggigit, menyerahkan segalanya.

Namun akalnya masih bekerja. Tidak, Alex tidak mencintainya. Dia hanya akan mempermainkan tubuhnya lalu membuangnya setelah kontrak selesai. Dengan sisa kesadaran yang dia punya, Eve berusaha melawan.

Tapi semakin dilawan, semakin liar rasanya. Dalam keputusasaan, dia tenggelamkan tubuhnya sendiri ke dalam bathup, membiarkan air menelan segalanya.

Di luar, Alex gelisah. Dia menempelkan telinga ke pintu. Tidak ada suara. Sama sekali.

Detik berikutnya, dia membuka pintu kamar.

Kamar kosong—tapi air mengalir dari celah bawah pintu kamar mandi. Jantungnya membeku. Dia menerobos masuk. Dan di sanalah Eve—terbaring sepenuhnya di dalam air, tubuhnya tenggelam, kepalanya tidak terlihat.

“Eve!” Alex menerjang, mengangkat tubuh wanita itu dan membaringkannya di lantai. “Eve, bangun! Bangun, sialan!” Dia menepuk pipi Eve. Tidak ada sahutan. Panik, dia menekan perut Eve hingga wanita itu memuntahkan air dan terbatuk pelan, lalu matanya terbuka perlahan.

Alex menutup tubuhnya dengan bathrobe lalu berteriak memanggil Frans. “Buka garasi! Ambilkan kunci mobil! Hubungi Nic sekarang juga!”

Dia memeluk tubuh Eve erat-erat saat berlari menuju mobil. Jalanan kosong, dan dia memacu mobilnya secepat mungkin ke rumah sakit.

Di IGD, dia tidak menunggu brankar. Dengan napas terengah, dia menerobos masuk. “Tolong, dia tenggelam!”

Beberapa perawat segera menghampiri. “Kami akan menangani ini, Pak. Silakan tunggu di luar.”

Alex hanya bisa mondar-mandir dengan gelisah. Dia ingin menghukum Eve karena begitu ceroboh. Tentu saja. Dia pasti akan melakukannya!

Tak lama, Nic datang, masih mengenakan jas dokter.

“Apa yang terjadi?” tanyanya cepat.

“Dia tenggelam. Di bathup,” jawab Alex sesak. “Aku menemukan dia sudah terendam semua. Aku tak tahu apa dia jatuh atau … sengaja melakukannya.”

Nic masuk ke ruang tindakan, dan beberapa menit kemudian kembali.

“Dia pingsan. Sekarang sudah stabil,” ujar Nic. “Berapa lama dia berendam?”

“Entahlah. Mungkin sejak kau melarikan diri tadi.”

Nic mengernyit. “Obat itu seharusnya membuatnya gelisah, bukan pingsan. Kalau dia hanya kewalahan karena efeknya, dia mestinya agresif, bukan diam.”

“Dia tak mengeluarkan suara. Aku di depan pintu sepanjang waktu,” jawab Alex.

Nic mendesah. “Aneh. Aku tak melihat tanda memar atau benturan. Tapi dia terlalu lemah. Aku akan pindahkan dia ke ruang rawat inap.”

Alex terdiam. Kata-kata Nic menghantamnya perlahan. Kalau Eve tidak pingsan karena obat ... apa dia memang berniat mengakhiri hidupnya?

Dan jika ya, dia pasti akan memakinya nanti!

***

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!