Nadia ayu, seorang gadis yang bisa melihat 'mereka'
mereka yang biasa kalian sebut hantu, setan, jin, mahluk halus atau lain sebagai nya.
suara dari mereka, sentuhan bahkan hembusan nafas mereka, bisa di rasakan dengan jelas. Sejak mengalami kecelakaan itu, mengubah cara pandangannya terhadap dunia..
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lia Ap, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
27. Tamu asing
Suara erangan dan cakaran di luar semakin menggila. Pagar besi bergetar, seolah ada ratusan tangan tak terlihat mencoba merobeknya. Angin berputar di halaman, dan pagar gaib yang kubuat bersama Ningsih mulai retak—aku bisa merasakannya, seperti ada getaran di dadaku setiap kali mereka menghantamnya.
Kak Joan memeluk bahuku erat. “Nad, pagar itu… kuat, kan?”
Aku mencoba tersenyum meski tubuhku bergetar. “Harusnya… tapi kalau mereka terus maksa…” Aku tak sanggup melanjutkan.
Wita berbisik panik pada Gilang. “Kalau pagar itu jebol, kita lari ke mana?”
Aku bahkan tak bisa menjawab. Karena aku tahu, kalau pagar itu hancur, lari pun percuma.
Tiba-tiba, udara di ruangan jadi dingin. Lampu berkelip sekali, dan di sudut ruang tamu, Ningsih muncul.
Rambut panjangnya terurai, matanya merah menyala. Tubuhnya melayang sedikit di atas lantai, dan senyumnya… dingin tapi menenangkan. Hanya aku yang bisa melihatnya—bagi yang lain, sudut itu kosong.
“Nadia,” suaranya bergema di kepalaku, bukan lewat telinga. “Mereka hampir menembusnya. Aku tidak bisa sendiri… tapi dia sudah datang.”
Seketika, dari luar rumah, suara auman menggema keras.
Aku berlari ke jendela, menyingkap sedikit tirai. Di halaman, seekor harimau putih besar muncul, bulunya berkilau dalam cahaya bulan, matanya menyala biru. Makhluk-makhluk hitam itu langsung mundur, menggeram pelan.
Dalam sekejap, harimau itu melompat ke tengah halaman… dan tubuhnya berubah. Menjadi seorang pemuda tinggi berotot, berwajah tegas, mengenakan blangkon dan pakaian adat Jawa.
Dia menoleh ke arahku, meski aku yakin dia tak bisa melihatku dari sini. Tapi entah bagaimana, aku bisa mendengar suaranya di kepalaku. “Bersiaplah, Nadia. Malam ini belum akhir… tapi mereka harus tahu, kau tidak sendirian.”
Dia menepuk tanah dengan telapak tangannya. Cahaya biru menyebar seperti gelombang dari tanah, memperkuat pagar gaib. Makhluk-makhluk di luar pagar meraung marah, lalu satu per satu menghilang ke kegelapan.
Semua itu hanya berlangsung beberapa menit, tapi bagiku terasa seperti berjam-jam.
Aku mundur dari jendela, menutup tirai. Nafasku terengah-engah. Di ruang tamu, Kak Joan, Wita, dan Gilang menatapku heran.
“Nad? Apa yang terjadi? Kok mereka… tiba-tiba hilang?” Joan bertanya, masih menempel di sisiku.
Aku hanya bisa duduk pelan di sofa, memegang dadaku. “Kita… aman. Untuk malam ini.”
Wita menatapku curiga. “Lo ngeliat sesuatu lagi, ya?”
Aku menatap mereka bertiga, ragu untuk bercerita. Bagaimana aku harus menjelaskan bahwa ada kuntilanak merah dan seorang penjaga berwujud harimau putih yang baru saja menyelamatkan kami?
Jadi aku hanya berkata pelan, “Nggak usah panik. Mereka nggak akan bisa balik… setidaknya sampai pagar ini melemah lagi.”
\=\=
Kantor Horizon siang itu terasa lebih dingin dari biasanya. Bukan karena AC, tapi ada sesuatu di udara yang membuat bulu kudukku meremang sejak aku masuk lobi.
Biasanya, aku bisa mengabaikan semua makhluk yang berdiam di gedung ini. Mereka hanya lewat, sekadar bayangan di sudut mata, atau berdiri diam di lorong gelap tanpa gangguan. Tapi hari ini… mereka tidak diam.
Saat aku dan Wita berjalan ke meja kerja kami, aku melihatnya. Sosok hitam tinggi berdiri di ujung lorong, menatap langsung ke arahku. Matanya kosong, tapi aku bisa merasakan… tatapannya menusuk.
Aku mencoba fokus, berpura-pura tidak melihat, tapi langkahku jadi lebih cepat.
“Nad?” Wita melirikku. “Lo pucat banget. Lo nggak apa-apa?”
Aku mengangguk cepat. “Iya… cuma kedinginan aja.”
Tapi aku tahu bukan itu alasannya. Karena begitu kami duduk, kursi Wita bergerak sendiri sedikit, bergeser ke belakang.
Dia langsung menoleh, matanya membesar. “Lo liat nggak? Kursi gue—”
“Udah, diem aja.” Aku memotongnya pelan, menatap sekeliling. Di ruangan ini, ada empat sosok. Biasanya mereka cuma berdiri diam di sudut-sudut gelap, tapi sekarang mereka bergerak. Satu duduk di meja kosong, satu melayang di atas, dua lagi berjalan bolak-balik tanpa arah.
Mereka tidak mendekat, tapi mereka memperhatikanku.
Aku bisa mendengar suara samar di kepalaku, bukan dari mereka… tapi semacam gema. “Wangi… makin wangi… dia di sini…”
Aku menggigit bibir, pura-pura sibuk membuka dokumen di komputer agar Wita tidak tambah panik.
Namun, salah satu dari mereka—sosok perempuan berambut panjang yang biasanya hanya menunduk—tiba-tiba menatapku langsung, senyumnya merekah lebar. Senyum yang terlalu lebar untuk wajah manusia.
BRAK!
Printer di dekat kami tiba-tiba menyala sendiri, kertas berhamburan tanpa ada yang mengoperasikan. Wita langsung berdiri, menahan diri agar tidak teriak.
Aku menarik napas dalam, memejamkan mata sebentar. Dalam hati aku berbisik, “Ningsih… kalau kamu bisa dengar, bantu aku tahan mereka.”
Suasana jadi hening sesaat, lalu suara tawa kecil terdengar di telingaku. Suara Ningsih. “Tenang, Putri Darah. Mereka belum berani menyentuhmu… tapi mereka sedang menguji. Bersiaplah. Ini baru awal.”
Aku membuka mata, menatap Wita yang sudah berdiri gelisah. “Tenang. Mereka nggak akan nyentuh kita… belum. Fokus aja kerja, pura-pura nggak lihat.”
Wita menatapku tajam. “Gue bener-bener nggak ngerti gimana lo bisa setenang ini, Nad…”
Aku tersenyum tipis, meski dalam hati jantungku berdetak kencang. Karena aku tahu, gangguan ini bukan yang terakhir.
Setelah hampir satu jam suasana kantor terasa tegang karena makhluk-makhluk itu, tiba-tiba semuanya hening.
Sosok-sosok yang tadi berkeliaran mendadak berhenti, satu per satu memudar seperti kabut disapu angin. Udara dingin yang menekan perlahan hilang, dan hanya suara keyboard serta telepon kantor yang kembali mendominasi ruangan.
Aku sempat menghela napas lega. “Akhirnya… sepi lagi.”
Wita menatapku dari meja sebelah. “Mereka… pergi?”
Aku mengangguk. “Untuk sekarang, iya. Tapi…” Aku belum sempat melanjutkan, karena pintu kantor terbuka.
Seorang pria melangkah masuk. Penampilannya rapi, tapi ada sesuatu yang aneh. Tubuhnya tinggi, berjas gelap, rambutnya disisir ke belakang rapi. Tapi matanya… tatapannya tajam, terlalu tajam, seolah menembus siapa pun yang ia lihat.
Dia berbicara dengan resepsionis sebentar, suaranya rendah dan berat. Tidak lama kemudian, resepsionis mengarahkan dia ke lantai kami.
Begitu matanya bertemu denganku, aku bisa merasakan hawa dingin yang sama seperti saat makhluk-makhluk itu ada. Bukan dingin fisik… tapi rasa ditekan, seperti ada sesuatu yang menyelidik ke dalam diriku.
Dia berjalan mendekat, setiap langkahnya terasa lambat tapi mantap. Dan saat berhenti di depan mejaku, dia tersenyum tipis.
“Selamat siang… Nona Nadia, bukan?” suaranya tenang, tapi anehnya membuat bulu kudukku berdiri.
Aku berusaha menjaga nada suaraku tetap netral. “Iya… ada yang bisa saya bantu?”
Dia menatapku lebih dalam, senyumnya tidak berubah. “Saya hanya ingin bicara sebentar. Tentang… sesuatu yang melekat pada Anda.”
Darahku terasa membeku. Kata-katanya bukan sekadar basa-basi. Dia tahu.
Wita, yang duduk di sebelah, langsung menatapku dengan tatapan bertanya, jelas merasa suasana tidak enak.
Pria itu menambahkan, nadanya pelan tapi menusuk, “Saya tahu… Anda sedang jadi incaran banyak pihak, baik yang kasat mata maupun tidak. Dan saya… bisa membantu.”
Aku menatapnya, jantungku berdebar kencang. “Membantu… dengan imbalan apa?”
Dia tersenyum lagi, sedikit lebih lebar. “Hanya sedikit kerja sama. Tidak akan merugikan Anda… selama Anda mendengarkan.”
Sebelum aku bisa bertanya lebih jauh, bau wangi melati samar tercium. Itu bukan bau kantor, bukan juga parfum siapa pun. Aku tahu… Ningsih ada di sekitar sini, memperhatikan.
Bisikan lirih terdengar di telingaku, suara Ningsih. “Hati-hati, Putri Darah. Yang satu ini… bukan sekadar manusia biasa. Dia mungkin lebih berbahaya dari makhluk yang mengejarmu.”
Aku menelan ludah, berusaha tetap terlihat tenang di depan pria itu. “Kalau Anda benar-benar bisa membantu… kita bicarakan nanti. Sekarang… saya sedang sibuk kerja.”
Pria itu mengangguk perlahan, matanya tidak lepas dariku. “Baiklah. Tapi ingat… saya bisa muncul kapan saja Anda butuh. Atau… ketika Anda tidak menyadarinya.”
Dia berbalik, berjalan santai meninggalkan lantai kantor. Tapi bahkan setelah dia menghilang, hawa dingin itu tetap tertinggal.
Wita langsung mendekat ke mejaku, suaranya setengah berbisik. “Nad… siapa sih tuh orang? Gue nggak kenal mukanya, tapi… auranya bikin gue nggak enak banget.”
Aku hanya bisa menatap pintu yang barusan dia lewati, bibirku terkatup rapat. “Entahlah… tapi gue rasa… dia bukan cuma orang biasa.”