Malam itu, suasana rumah Kinan begitu mencekam. Ayah tirinya, Dody, menariknya keluar dari kamar. Kinan meronta memanggil ibunya, berharap wanita itu mau membelanya.
Namun, sang ibu hanya berdiri di sudut ruangan, menatap tanpa ekspresi, seolah tidak ada yang bisa ia lakukan.
"Ibu... tolong, Bu!" Suara Kinan serak memohon, air matanya berderai tanpa henti.
la menatap ibunya dengan tatapan penuh harap, namun ibunya tetap diam, memalingkan wajah.
"Berhenti meronta, Kinan!" bentak ayah tirinya sambil mencengkeram tangan nya lebih keras, menyeretnya keluar menuju mobil tua yang menunggu di halaman...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Zhy-Chan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 27
Kinan tersenyum senang saat membuka plastik tersebut. "Wah, ini makanan kesukaanku. Makasih ya, Sal. Aku kangen banget sama masakan kampung" ucap Kinan dengan antusias.
"Sama-sama," jawab Sally, lalu ragu sejenak sebelum melanjutkan,
"Oh iya, Kin. Aku boleh ngomong sesuatu nggak?"
"Ngomong aja, Sal." Sahut Kinan seraya membuka kotak makanan yang di berikan Sally.
"Aku ketemu sama Bu Yati, Kin," ujar Sally perlahan.
Kinan terdiam, wajahnya berubah sedih mendengar nama ibunya disebut.
"Ibu ngomong apa, Sal, sama kamu?"
"Kemarin ibumu sempat menanyakan keberadaan mu, apakah aku pernah ketemu kamu di sini atau nggak. Ibumu sedang sakit, Kin. Wajahnya pucat dan tubuhnya sekarang kelihatan lebih kurus dari terakhir kali," jawab Sally dengan nada prihatin.
Kinan terdiam sejenak, lalu bertanya, "Terus kamu jawab apa, Sal? Kamu bilang nggak, kalau kamu ketemu aku di sini?"
"Tidak, Kin. Aku bilang kalau aku nggak pernah ketemu kamu di sini," sahut Sally lembut.
"Tapi, kamu nggak mau kasih kabar ke Ibumu? Kasihan dia, selalu kepikiran sama kamu"
Mendengar itu, Kinan mulai menangis. "Aku masih sakit hati, Sal. Saat aku di paksa pergi oleh Bapak untuk di jual ke rentenir itu, Ibu hanya diam, tidak menolongku. Aku merasa Ibu lebih memilih ayah tiriku. Itu sebabnya sampai sekarang aku belum bisa memaafkannya," sahut Kinan, suaranya bergetar.
Sally mengelus punggung Kinan pelan, memberikan dukungan tanpa kata-kata, memahami perasaan sahabatnya yang terluka karena kenangan pahit itu.
Sally menatap Kinan dengan lembut dan berkata, "Aku mengerti kamu masih sakit hati, Kin. Tapi belajarlah untuk memaafkan Ibumu. Mungkin Ibumu punya alasan tertentu, sampai dia tidak berani menolong mu saat itu. Aku tahu, dari dulu Ibumu sangat menyayangimu, tapi mungkin dia takut sama Bapak tirimu."
Kinan menghela nafas, masih menahan perasaan yang bercampur aduk.
"Entahlah, Sal. Aku belum siap sekarang. Tapi nanti kalau aku sudah siap, aku pasti akan menghubungi Ibu."
Sally tersenyum dan menggenggam tangan Kinan. "Nggak apa-apa, Kin. Aku selalu mendukung keputusanmu. Yang penting, lakukan yang terbaik buat dirimu sendiri. Tapi, kalau bisa, segeralah hubungi Ibumu. Kasihan, dia sangat merindukanmu."
Kinan hanya mengangguk pelan, mencoba menenangkan hatinya yang masih terasa berat. Di balik rasa sakit hatinya, ia mulai mempertimbangkan kata-kata Sally, menyadari bahwa mungkin memaafkan bisa membantunya menemukan kedamaian.
...🌻🌻🌻🌻🌻...
Semenjak pulang dari kampus, Kinan tampak lebih banyak melamun. Pikiran nya penuh dengan bayangan tentang kondisi ibunya. Meski ada keinginan untuk mengetahui kabar sang ibu, masih tersisa keraguan yang berat di hatinya untuk memberikan maaf.
"Kira-kira, gimana ya kondisi Ibu sekarang?" gumam Kinan pelan sambil melamun di kamarnya.
Saat pintu kamar Kinan yang sedikit terbuka, Aryo masuk pelan-pelan. Namun, ada yang terasa berbeda kali ini. Biasanya, Kinan selalu menyambutnya entah dengan wajah cemberut atau senyuman manis. Tetapi kali ini, Kinan bahkan tak bereaksi sedikit pun.
"Kamu kenapa?" tanya Aryo, suaranya lembut namun penuh rasa ingin tahu.
Kinan tersentak kecil, lalu menoleh ke arah Aryo. "Mas Aryo, kapan datang?" tanyanya dengan sedikit bingung.
"Baru aja. Kamu melamun? Ada apa?" balas Aryo sambil menatap Kinan dengan penuh perhatian.
Kinan berusaha tersenyum. "Nggak ada apa-apa kok, Mas."
Aryo masih menatapnya, merasa belum puas dengan jawaban itu. "Kalau ada masalah, cerita aja. Mungkin aku bisa bantu," sahut Aryo menawarkan dirinya.
Kinan menggeleng pelan. "Nggak, Mas. Aku nggak apa-apa kok. Tadi cuma... lihat-lihat pemandangan aja di luar."
Aryo mengangguk, meski masih ragu. la pun berjalan menuju kamar mandi untuk mandi. Sementara itu, Kinan mulai menyiapkan pakaian ganti untuk Aryo, mencoba mengalihkan pikiran nya yang masih di penuhi bayangan tentang ibunya.
Selesai mandi, Aryo sedang asyik dengan laptop nya, sibuk mengoreksi tugas-tugas mahasiswa dari kampus. Di tengah kesibukannya, Kinan mendekat dengan raut wajah yang tampak bimbang.
Perlahan ia membuka suara, "Mas, boleh nggak kalau aku menemui ibuku?" tanyanya pelan.
Aryo yang mendengar itu segera menghentikan pekerjaannya, menoleh dengan penuh perhatian. "Kamu ingin pulang?" tanyanya lembut.
Kinan menghela napas, tampak ragu. "Entah lah, aku masih bimbang, Mas. Kata Sally, ibuku sekarang sedang sakit. Tapi... aku masih sakit hati dengan kelakuan Ibu dulu. Aku belum bisa memaafkannya," ucapnya sambil menundukkan kepala, wajah nya muram dan penuh kesedihan.
Sejenak Aryo terdiam, mencoba memahami perasaan Kinan. “Emangnya apa yang udah Ibumu lakukan? Apa selama ini dia tidak memperlakukanmu dengan baik?" tanyanya hati-hati.
Lalu Kinan menggeleng pelan. "Bukan gitu, Mas. Sebenarnya Ibu itu baik. Tapi...sejak dia menikah dengan bapak tiriku, perlakuannya berubah. Dia jadi... agak berbeda ke aku."
Kinan berhenti sejenak, seolah sedang mengumpulkan kekuatan untuk melanjutkan ceritanya. "Bahkan waktu saat bapak tiriku menjualku ke rentenir, Ibu nggak nolong aku, Mas. Dia cuma diam... melihatku di seret paksa oleh ayah tiriku ke rumah rentenir itu."
Mendengar penuturan Kinan, Aryo hanya diam tertegun. Tampak jelas betapa dalam luka yang Kinan rasakan. la hanya bisa menatap Kinan dengan penuh simpati, mencoba memahami beban berat yang selama ini di pendamnya.
Kemudian Aryo memandang Kinan dengan penuh ketegasan. "Kinan, aku nggak akan melarang mu. Kalau kau memang ingin pulang untuk menemui ibumu, pergilah. Tapi kau harus hati-hati. Kau akan di antar oleh Pak Danang dan dua orang bodyguard. Aku nggak mau terjadi apa-apa dengan mu, atau bisa saja kamu kabur lagi seperti waktu itu," ucap Aryo dengan nada serius.
Kinan menunduk, berpikir sejenak, lalu menjawab dengan suara pelan, “Tapi, Mas... kalau aku pulang bersama sopir dan bodyguard, Ibu dan ayah tiriku pasti tahu kalau aku sekarang...jadi istri mudamu."
"Biarkan saja, aku nggak peduli," jawab Aryo tegas.
"Aku lebih khawatir pada--"
Tiba-tiba hp Aryo berdering. la melirik layar dan melihat nama istrinya, Siska, terpampang di sana. Aryo menghela nafas, berpikir sejenak, lalu memutuskan untuk keluar dari kamar Kinan sebelum menjawab panggilan itu.
Kinan yang memperhatikan gerak-gerik Aryo, mengernyit. Hatinya di liputi rasa penasaran.
"Mas Aryo dapat telepon dari siapa ya? Tumben dia keluar kamar saat menerima telepon," pikirnya, tetapi ia memilih untuk tetap diam.
Aryo masuk ke ruang kerjanya, sebelum menjawab panggilan dari Siska, dengan nada datar, "Halo?"
"Mas? Kamu di mana?" tanya Siska, suaranya terdengar mendesak.
"Bukan urusan mu aku di mana," balas Aryo dingin.
"Mas, segera pulang sekarang. Aku mohon," ucap Siska, nadanya berubah tegas namun tetap dingin.
"Ada yang ingin aku sampaikan. Penting."
tunggu klnjutannya,klw bisa up bnyak ya thor
lanjutkan kk..bgus crtanya ini