NovelToon NovelToon
Red Thread

Red Thread

Status: sedang berlangsung
Genre:CEO / Cinta Seiring Waktu / Wanita Karir / Trauma masa lalu / Office Romance / Ibu susu
Popularitas:1.2k
Nilai: 5
Nama Author: About Gemini Story

Lima tahun bukan waktu yang singkat untuk melupakan—terutama bagi Althea Reycecilia Rosewood, wanita dewasa berusia 27 tahun berparas cantik, dibalut pakaian casual yang membuatnya terlihat elegan, tatapan lembut dengan mata penuh kenangan. Setelah lama tinggal di luar negeri, ia akhirnya kembali ke Indonesia, membawa harapan sederhana 'semoga kepulangannya tak menghadirkan kekecewaan' Namun waktu mengubah segalanya.

Kota tempat ia tumbuh kini terasa asing, wajah-wajah lama tak lagi akrab, dan cerita-cerita yang tertunda kini hadir dalam bentuk kenyataan yang tak selalu manis. Namun, di antara perubahan yang membingungkan, Althea merasa ada sesuatu yang masih mengikatnya pada masa lalu—benang merah yang tak terlihat namun terus menuntunnya kembali, pada seseorang atau sesuatu yang belum selesai. Benang yang tak pernah benar-benar putus, meski waktu dan jarak berusaha memisahkan.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon About Gemini Story, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Kehangatan Natal

Salju turun perlahan malam itu, udara malam Zurich menggigit, menari lembut di bawah cahaya lampu jalanan kota Zurich yang penuh semangat Natal. Dari balkon kamar hotel yang menghadap ke arah pusat kota, gemerlap lampu berwarna-warni menghiasi setiap sudut. Dari atas sana, cahaya lampu kota membias indah di atas salju.

Pohon-pohon Natal berhiaskan ornamen dan kerlap-kerlip lampu tampak di setiap sudut. Suara lembut lagu Natal klasik mengalun samar dari kejauhan, suara lonceng gereja yang berdentang lembut dari kejauhan mengiringi suasana sakral malam itu berpadu dengan aroma cokelat panas dan kayu manis samar-samar terbawa angin musim dingin.

Althea berdiri bersandar di pagar balkon, Thea berdiri diam, mengenakan sweater wol hangat dan syal panjang yang dibiarkan menggantung di lehernya. Tatapannya kosong, lurus ke arah kota yang berpesta penuh dengan keramaian Natal yang terasa sangat jauh. Bukan karena jarak, tapi karena hatinya tak benar-benar ada di sana. Ia menatap ke arah pusat kota, di mana orang-orang merayakan Natal bersama keluarga. Tawa, pelukan, senyuman—semuanya terasa jauh dari hidupnya.

Senyap.

Tak ada suara dari bibirnya, tapi sorot matanya menyimpan cerita yang hanya bisa dipahami oleh dirinya sendiri dan malam itu Althea menerawang puing-puing kilasan masalalu.

Tanpa suara, Aleron datang dari belakangnya, membungkus bahu Althea dengan selimut hangat dan berdiri di sampingnya. Thea menoleh. Aleron berdiri dengan senyum tenang, mengenakan coat gelap yang elegan, tangannya menggenggam dua cangkir cokelat panas. Ia menyerahkan satu padanya. Al menatap wajah perempuan itu—wajah yang disimpannya di ingatan selama bertahun-tahun.

Lalu Al ikut menatap pemandangan yang sama. Baby Cio sudah tertidur di dalam kamar, dikelilingi kehangatan selimut dan boneka beruang kecil yang baru dibelikan Al pagi tadi. Suasana begitu tenang, bahkan angin pun berbisik lembut.

“Gue tahu… lo selalu suka suasana ini,” gumam Al pelan.

Althea hanya diam, mengecup udara dingin yang mengaburkan pandangannya sejenak.

“Selamat Natal, Thea,” ucap Al akhirnya, dengan suara lembut dan penuh kehati-hatian.

Althea menoleh pelan, menatapnya. Ada kehangatan aneh yang menyentuh hatinya. “Selamat Natal juga, Al…” jawabnya lirih, sebelum kembali memandang kota.

Beberapa detik hening, lalu Thea menghela napas pelan.

“Gue selalu suka Natal,” bisiknya. “Dulu…”

Al menoleh, mendengarkan tanpa menyela.

“Waktu gue kecil, gue suka sekali menunggu malam Natal bersama Opa. Kami akan duduk di balkon rumah opa, minum cokelat hangat, dan mendengarkan musik klasik. Hanya kami berdua… karena yang lain sibuk dengan dunianya masing-masing.” Ia tersenyum kecil, getir.

“Lalu tujuh tahun lalu… Opa pergi. Dan dua tahun setelahnya, Daddy menyusul. Gue nggak pernah lagi benar-benar merayakan Natal setelah itu.” Suaranya bergetar di akhir kalimat.

Opa-nya pergi tujuh tahun lalu. Thea masih bisa mengingat dengan jelas aroma rumah sakit, suara detak jantung terakhir di monitor, dan rasa kosong yang tidak pernah terisi kembali. Dua tahun kemudian, saat ia belum pulih benar, Daddy-nya menyusul pergi meninggalkan nya juga. Dan saat itu, Thea merasa hidupnya benar-benar runtuh. Walaupun Thea tak dekat dengan daddy, mommy dan juga kakaknya karena sibuk dengan urusan dan dunianya masing-masing, ia tetaplah seorang gadis kecil di keluarganya. Thea tumbuh dengan membangun tembok. Tegar. Mandiri. Tapi kesepian dan terlalu sibuk bertahan.

Aleron menatapnya penuh, lalu dengan hati-hati menggenggam tangan Althea. “Gue tahu, Thea. Gue tahu semuanya.”

Althea menatap Al dengan mata berkaca. “Terimakasih lo datang ke pemakaman Daddy… tapi gue bahkan nggak bisa menoleh ke arah lo,” katanya pelan.

“Gue nggak perlu lo lihat waktu itu,” sahut Al, mengeratkan genggamannya.

“Gue datang karena gue tahu lo pasti rapuh, dan lo butuh sandaran—walaupun lo nggak akan pernah minta.”

Keheningan menggantung lagi.

“Lo tahu apa yang paling menyakitkan?” tanya Althea pelan.

“Gue bahkan berusaha tidak menangis waktu itu. Gue terlalu sibuk jadi kuat untuk mommy dan kakak gue.” lanjutnya dan saat itu, tiba-tiba tangisnya pecah—senyap, tanpa suara keras. Hanya tetesan air mata yang meluncur tanpa bisa dibendung.

Aleron mendekat, merengkuhnya dalam pelukan hangat dan kuat. “Sekarang lo boleh menangis, Thea… Lo nggak sendiri. Gue di sini. Selalu.”

Althea membiarkan dirinya larut. Untuk pertama kalinya sejak bertahun-tahun lalu, ia menangis dalam pelukan seseorang—dan merasa aman.

“Gue nggak tahu harus bagaimana, Al…” bisiknya.

“Cukup tahu bahwa lo nggak perlu bertahan sendiri lagi. Biarin gue jadi rumah lo, meski cuma sebentar, sampai Lo nyuruh gue pergi.”

Mereka berdiam lama di balkon, membiarkan malam Natal membalut mereka dalam kehangatan yang berbeda—kehangatan yang tak bisa diberikan siapa pun selain satu sama lain. Lalu tiba-tiba, tangis kecil terdengar dari dalam kamar. Baby Cio terbangun, merengek kecil di ranjang. Mereka berdua tersenyum bersamaan.

“Kita punya seseorang yang menunggu kita di dalam,” kata Al lembut.

Tak lama kemudian, Aleron mengeluarkan tiga kotak pakaian dari lemari.

“Sekarang bersiaplah dan ganti baju lo. Kita akan Christmas dinner, gue sudah siapin semua nya.”

Thea memandangnya bingung. “Lo… yang menyiapkan ini?”

“Iya, untuk kita,” jawab Aleron dengan senyum lembut.

“Untuk keluarga kecil kita… walaupun lo belum siap menyebutnya begitu.” Ia mengedipkan mata menggoda.

Althea terdiam sejenak 'keluarga kecil?' entahlah, namun tanpa ia sadari ada sesuatu yang menghangat disana, sesuatu yang lama tak ia rasakan.

Di atas tempat tidur, Althea membuka kotaknya dan terdiam. Di dalamnya, ada pakaian bernuansa maroon dan hitam, gaun hangat berpotongan elegan untuk Thea, jas eksklusif untuk Al, dan setelan kecil lucu untuk Baby Cio.

“Al… kapan lo…?”

“Beberapa hari lalu. Gue pengen malam ini sempurna untuk kalian,” jawabnya ringan.

Thea menatap Al yang sedang membenarkan dasinya sendiri di cermin. Al tampak mempesona dalam setelan hitam dengan dasi maroon senada. Ia bahkan menyiapkan jas kecil untuk Baby Cio yang kini tengah digendong dan mengenakan bowtie mini.

Thea menatapnya lama, lalu tersenyum tipis, matanya berbinar cerah. “Terima kasih… lo buat Natal ini terasa seperti… rumah.” Tapi malam itu, untuk pertama kalinya, Thea merasa… ia di rumah.

“Gue tahu lo butuh rumah di hari-hari seperti ini, Thea,” ujar Al sambil menatap mereka berdua di cermin. “Jadi malam ini, biarkan aku yang menciptakan rumah itu buat lo dan akan selalu seperti itu, selama lo ngizinin gue berada di sisi lo.”

♾️

Zurich di malam Natal berkilau seperti lukisan hidup. Dari balkon kamar hotel mereka, lampu-lampu kota tampak seperti bintang yang turun ke bumi—menggantung di sepanjang jalan, memantul di permukaan danau yang tenang, dan menyinari setiap sudut dengan kehangatan yang terasa seperti pelukan.

Tapi kini, pemandangan indah itu tergantikan oleh atmosfer elegan di restoran bintang lima yang dipenuhi gemerlap lampu gantung kristal, alunan musik klasik, dan aroma wine dan kayu manis yang menyatu sempurna dengan suasana Natal.

Restoran “La Couronne d’Or”—salah satu restoran paling mewah di Zürich—bercahaya hangat dari lampu-lampu gantung kristal dan lilin-lilin yang berkelip di atas meja. Aroma lembut vanila dan kayu manis memenuhi udara, menyatu dengan musik piano instrumental yang mengalun pelan di latar belakang. Restoran mewah yang menghadap ke danau Zurich itu dihiasi dengan lampu kristal, pernak-pernik Natal berwarna emas dan merah marun, serta aroma lilin kayu manis dan wine hangat yang menggantung di udara. Musik klasik pelan mengalun dari sudut ruangan, membawa suasana nostalgia yang lembut dan hangat. Mereka duduk di meja yang terletak di sisi jendela besar, dengan view langsung ke danau dan lampu-lampu Zurich yang memantul di air. Api kecil dari lilin di tengah meja bergetar lembut tertiup hembusan dari jendela yang sedikit terbuka.

Althea mengenakan gaun hangat berwarna maroon dengan sentuhan beludru, dipadukan dengan scarf hitam yang elegan. Rambutnya digelung simpel, membiarkan helaian lembut membingkai wajahnya. Baby Cio, yang baru seminggu lahir, terlelap dalam gendongan lembut yang dikenakan Al sepanjang perjalanan, kini berbaring damai dalam stroller di samping meja mereka. Al mengenakan setelan formal hitam pekat, dipadu dasi maroon senada. Tatapannya malam ini bukanlah tatapan seorang CEO—melainkan seseorang yang benar-benar ingin menghadirkan arti rumah.

“Gue… bahkan tidak tahu kapan lo menyiapkan semua ini,” ucap Althea pelan, menatap sekitar ruangan. Al tersenyum kecil, membukakan kursi untuknya.

“Kadang kejutan paling hangat datang tanpa diduga. Terima kasih udah mau ikut ke sini malam ini, Thea… dan terima kasih juga karena nggak kabur waktu gue bilang ini tempat dinner kita.” Ucap Al tulus sambil tersenyum lembut ke arah Althea.

Thea menunduk, mengelus kepala Baby Cio. “Kalau bukan karena lo yang bawa, gue mungkin udah milih makan mie instan di hotel. Sendirian. Seperti biasa tiap Natal…”

Al mengangkat alis pelan, menyandarkan punggungnya ke kursi. “Tiap Natal lo selalu sendirian?”

Thea diam sesaat, mengangguk. “Sejak Opa pergi tujuh tahun lalu... terus dua tahun setelahnya, Daddy menyusul. Natal kehilangan maknanya.”

Al menatapnya lama. Ia tak berkata apa-apa saat itu, hanya mengulurkan tangannya ke atas meja dan menunggu. Althea ragu sejenak... lalu menyentuh tangan Al. Sentuhan itu terasa asing, namun juga anehnya menenangkan.

Al berucap pelan. “Malam ini... lo nggak sendirian, Thea.” membuat Althea mengangguk pelan sebagai persetujuan.

Al memesan menu lengkap—hidangan khas Natal Eropa, roasted goose, steak Wagyu, creamy potato gratin, salad segar dengan dressing berry, dan wine merah. Saat makanan utama disajikan—steak wagyu lembut dengan saus truffle untuk Al dan Althea, mereka menikmati moment tersebut dan larut dalam obrolan ringan.

“Kalau cincin Phoenix belum gagal, kita pulang bawa bom,” gumam Al ringan, mencoba mencairkan suasana.

Thea tersenyum, mengangguk. “Cincinnya harus sempurna. Bukan cuma karena nilai investasinya tinggi, tapi… Phoenix adalah simbol. Kebangkitan. Harapan.”

Al menatapnya, dalam. “Lo sadar nggak, kalau lo juga Phoenix?” Thea menoleh pelan.

Sebelum Althea sempat menjawab, ia melihat Al bangkit dari kursinya. Ia membungkuk sedikit ke arah Thea dan berbisik, “Tunggu gue sebentar ya.” Althea mengernyit pelan, memandangi punggung Al yang menghilang ke arah sisi restoran.

Tak lama kemudian, lampu utama restoran sedikit meredup. Cahaya spotlight menyala lembut ke arah panggung di sudut ruangan—dan di sana, duduk Aleron Rafael Moonstone, di hadapan sebuah grand piano putih. Suara hening menyelimuti ruangan, hanya terdengar gumaman terkejut dari beberapa pengunjung.

“Selamat malam semuanya,” suara Al terdengar tenang, namun dalam.

“Aku minta maaf menganggu sebentar. Aku tahu malam ini malam spesial buat banyak orang. Tapi... aku ingin minta sedikit waktunya saja. Aku ingin mempersembahkan lagu ini untuk seseorang yang sangat... berarti buatku. Lagu ini tentang penyesalan. Dan... harapan. Untukmu, Thea."

Althea terdiam menahan napas mendengar itu keluar dari mulut Al. Ia sangat terkejut dan tak mengira Al akan melakukan ini.

Al mulai memainkan nada pembuka. Lalu dengan suara lembut, ia mulai menyanyikan.

You Are The Reason ~ Callum Scott

There goes my heart beating

Cause you are the reason

I'm losing my sleep

Please come back now

And there goes my mind racing

And you are the reason

That I'm still breathing

I'm hopeless now

I'd climb every mountain

And swim every ocean

Just to be with you

And fix what I've broken

Oh, 'cause I need you to see

That you are the reason

There goes my hands shaking

And you are the reason

My heart keeps bleeding

I need you now

And if I could turn back the clock

I'd make sure the light defeated the dark

I'd spend every hour, of every day

Keeping you safe

And I'd climb every mountain

And swim every ocean

Just to be with you

And fix what I've broken

Oh, 'cause I need you to see

That you are the reason

I don't wanna fight no more

I don't wanna hide no more

I don't wanna cry no more

Come back I need you to hold me (you are the reason)

Be a little closer now

Just a little closer now

Come a little closer

I need you to hold me tonight

I'd climb every mountain

And swim every ocean

Just to be with you

And fix what I've broken

'Cause I need you to see

That you are the reason

Suara Al begitu merdu, menghanyutkan. Setiap kata terdengar tulus, menggema dalam keheningan ruangan. Para pengunjung larut dalam nyanyiannya, beberapa terlihat menyeka air mata dan saat bait terakhir menghilang dalam dentingan piano, Al memandang lurus ke arah Althea. Suara terakhir Al meredup bersamaan dengan dentingan nada piano terakhir. Ruangan hening. Sangat hening. Seolah semua yang hadir di restoran malam itu enggan berbicara, takut merusak atmosfer yang baru saja dibangun Al dengan suaranya yang dalam dan penuh emosi.

Lalu, tepuk tangan pun pecah—meriah, hangat, dan tulus. Beberapa tamu berdiri, memberi tepuk tangan sambil mengangguk pelan, ada yang mengusap mata, bahkan pelayan yang berdiri di sudut ikut tersenyum haru.

Al tersenyum kecil, berdiri dari kursinya, lalu menunduk sopan.

Ia menatap Althea dari atas panggung. Sorot cahayanya masih mengarah padanya. Dalam suaranya yang jernih dan jujur, ia berbicara—khusus untuk satu orang.

“Lagu itu... adalah tentang penyesalan, dan tentang harapan untuk diberi kesempatan. Aku harap... kau bisa memahami makna lagu ini.” ucap Al di akhir penampilannya.

Setelah itu, lampu kembali normal, dan Al perlahan turun dari panggung. Althea tak berpaling dari tempat duduknya. Ia hanya menatap diam, matanya tampak berkaca—tapi tak satu pun air mata jatuh. Hatinya terlalu penuh untuk membiarkan apa pun keluar.

Tak sadar, Al sudah duduk kembali di hadapannya. Althea masih dalam diam, menyentuh sendok dessert-nya tanpa benar-benar melihat makanan di hadapannya.

“Kamu nggak mau bilang apa-apa ke aku?" Tanya Al pelan.

“Gue nggak tau.” Jawab Althea tanpa menoleh.

Al hanya tersenyum tipis, lalu memotong sedikit dari hidangan penutup mereka—chocolate lava cake dengan saus raspberry hangat dan es krim vanila.

Baby Cio, yang sejak tadi terjaga dalam diam, tiba-tiba menggeliat pelan dalam keranjang kecilnya. Matanya terbuka, menatap langit-langit restoran, lalu perlahan menoleh ke arah cahaya lilin. Al melihat ke arah bayinya, tersenyum lembut.

“Lihat dia… dari tadi bangun terus, nggak nangis sedikit pun. Mungkin... dia bisa merasakan suka cita malam ini. Natal pertamanya.”

Althea ikut menoleh, menatap Baby Cio yang tenang, jemarinya kecilnya menggenggam udara kosong. Sesuatu menghangat dalam dadanya. Ia tak tahu apakah itu rasa nyaman… atau takut. Tapi yang jelas—itu bukan kehampaan seperti dulu.

Althea terkekeh. “Anak kecil pertama yang berhasil bertahan sepanjang hari tanpa rewel... sampai sekarang.”

Suasana menjadi lebih ringan setelah itu. Mereka bercanda ringan tentang dessert, tertawa kecil melihat ekspresi Baby Cio yang seperti mengernyit ketika mendengar suara sendok beradu. Namun, begitu bayi itu mulai menggeliat lagi dan mengeluarkan suara rengekan kecil, Al dengan sigap berdiri.

“Kayaknya waktunya pulang.” Ajak Al pada Althea.

“Ya. Dia mulai rewel... dan gue juga udah mulai lelah.” Jawab Althea lalu mereka bersiap meninggalkan restoran.

Mereka pun berpamitan dengan sopan pada pelayan dan beberapa tamu yang tersenyum ramah. Beberapa bahkan menyapa dan mengucapkan “beautiful song” pada Al, yang hanya membalas dengan anggukan sopan sambil menggendong Baby Cio yang kini mulai terisak kecil, kelelahan.

Malam hari sesampainya di kamar hotel terasa hangat dan tenang. Di luar, salju turun pelan, membingkai jendela dengan kilau beku seperti kaca es. Althea duduk di tepi ranjang, melepaskan scarf-nya. Al sedang mempersiapkan air hangat di kamar mandi kecil untuk membersihkan badan Baby Cio.

Ritual malam mereka pun berjalan seperti biasa, mengganti popok, memijat lembut perut mungil itu, dan membungkusnya dalam selimut bayi. Baby Cio tampak mulai tenang dan menguap kecil sebelum akhirnya tertidur di antara mereka.

Lampu kamar diredupkan. Hanya lampu meja kecil yang menyala, cukup menerangi ranjang besar tempat mereka berbaring. Satu ranjang. Tiga jiwa. Satu keheningan yang tak menyakitkan. Althea berbaring menghadap langit-langit. Baby Cio tertidur damai di tengah. Al di sisi satunya, diam.

Ia mencoba memejamkan mata… tapi pikirannya tak berhenti. Dalam gelap yang hangat itu, perasaannya saling bertabrakan. “Bohong kalau aku bilang aku sudah tidak merasakan sakitnya waktu itu...” batinnya.

“Sakit itu masih ada. Luka dari masa lalu, dari rasa ditinggal, dari dikhianati, dari kehilangan arah… semuanya belum sepenuhnya sembuh.”

Bayangan Al ketika ia siap menjadi 'rumahnya ' seolah menarik paksa kenangan yang berusaha ia lupakan. Suasana yang begitu akrab menjadi patah hati terbesarnya. Al dulu juga pernah mengatakan selalu menjadi 'rumah' untuknya namun nyatanya hanya tempat yang ia sewa sementara. Namun, kali ini mereka dihadapkan dengan situasi dan keadaan yang berbeda. Bukan lagi remaja puber yang tengah mencari jati dirinya.

Tapi ia tak bisa membohongi satu hal lagi—bahwa untuk pertama kalinya dalam waktu yang sangat lama, ia merasa... nyaman. Nyaman dengan suara napas tenang Baby Cio. Nyaman dengan kehadiran Al yang awalnya seolah akan meruntuhkan dunianya kembali dan menarik semua luka itu, namun kali ini seolah Al tidak memaksa tapi selalu ada. Dan nyaman dengan keheningan ini—yang justru terasa seperti pelukan lembut, bukan kehampaan. Althea memejamkan mata. Belum ada janji. Belum ada kepastian. Tapi mungkin, malam ini... adalah awal dari sebuah kesempatan. Namun, untuk saat ini ia memilih untuk jalan ditempat, karena mengingat bagaimana perjuangannya memulihkan dirinya walaupun belum seutuhnya.

♾️

Pagi Natal di Zurich membentang dengan hangatnya cahaya matahari musim dingin yang malu-malu muncul dari balik pegunungan bersalju. Balkon hotel mereka menghadap langsung ke danau Zurich yang mulai berkilauan disapu sinar mentari. Salju lembut masih menyelimuti atap-atap bangunan klasik kota, menciptakan pemandangan seperti lukisan hidup yang hangat dan damai. Aleron berdiri di balik Althea yang tengah membungkus diri dengan coat wol warna krem pucat, tangannya mendorong stroller kecil di sampingnya—tempat Baby Cio berbaring dengan tenang, hangat dalam balutan selimut.

“Selamat Natal, Thea,” suara Al terdengar hangat dan lembut, disusul dengan senyum kecil lalu mengecup sayang baby cio. “Dan untukmu juga, Baby Cio.”

Althea menoleh perlahan. Senyum tipis mengembang di wajahnya, “Selamat Natal, Al.”

Al lalu berjongkok di depan stroller dan mengeluarkan sebuah kotak kecil dari kantong coat-nya. Ia membukanya pelan dan menunjukkan sebuah liontin perak mungil berbentuk huruf “A”.

“Ini... untuk Baby Cio. Hanya liontin saja. Nanti kalau sudah besar, ia bisa gantungkan di kalung, atau apa pun yang kau suka.”

Althea memiringkan kepala, “Kenapa ‘A’?”

Al tersenyum, menatap liontin itu dengan mata sendu namun penuh harap. “A... untuk Cio. Tapi sebenarnya,” ia menatap Althea sesaat, lalu menunduk lagi. “Itu juga inisial kita bertiga. Aku, kamu, dan dia.”

"Aku - kamu?" Tanya Thea pelan.

"Usahain aku - kamu mulai sekarang, nggak bagus didengar baby cio" Jawab Al sambil menatap Thea. Thea tak menjawab, ia hanya mengangguk kecil.

Al melanjutkan dengan suara yang lebih lembut sambil menatap baby cio sayang. “Daddy ingin suatu hari nanti, saat kamu mengerti makna liontin ini, kamu tahu bahwa kamu tidak pernah sendiri. Kamu punya seseorang yang akan selalu melindungimu, yang akan selalu ada. Dan daddy harap, kamu akan tumbuh dengan baik, dan tau bahwa kamu selalu dicintai sejak hari kamu lahir didunia.”

Cio menatap wajah Al. Ia seolah mengerti tentang penjelasan dan harapan seseorang yang dianggap daddy nya itu. Ada kedalaman di mata bayi itu, seolah ia menangkap sedikit kehangatan dalam suara Al yang menyentuh hati seseorang yang dianggap mommy nya.

Lalu, Al berdiri dan merogoh kantong coat-nya lagi. Kali ini ia mengeluarkan sebuah kotak kecil berwarna hitam beludru. “Dan untukmu...”

Althea menatapnya bingung. Saat kotak itu dibuka, tampaklah sebuah kalung sederhana—rangkaian rantai halus dengan liontin infinity berwarna silver. Al memandang Thea lekat-lekat, seolah mencari izin untuk melanjutkan.

“Infinity,” ucapnya pelan.

“Karena kamu layak mendapat sesuatu yang tak terputus. Tak terhenti. Juga...”

Ia tersenyum kecil, “Kalau dibalik, infinity adalah angka 8. Dan kamu lahir tanggal 8, kan?”

Althea terdiam. Tangannya perlahan terangkat, menyentuh liontin itu di dalam kotak seolah ingin memastikan itu nyata.

“Boleh aku pakaikan?” tanya Al pelan, tulus. Althea hanya mengangguk diam. Al melangkah mendekat dan dengan lembut mengaitkan kalung itu di leher jenjangnya. Sentuhan tangan Al membuat jantung Thea berdetak sedikit lebih kencang, namun ia tetap tenang.

“Terima kasih...” bisik Thea, nyaris tak terdengar.

Althea masuk ke kamar sebentar dan kembali dengan sebuah kotak kecil. Kali ini ia yang menyerahkannya kepada Al.

“Aku buat ini saat ada waktu luang di kantor cabang. Aku membuatkan desain yang sama untuk kalian berdua. Desainnya langsung kukirim ke pengrajin, dan... kebetulan kemarin sampai di hotel.”

Al membuka kotaknya. Dya buah gelang rantai berwarna perak. Simpel, elegan. Tapi di ujungnya, ada inisial kecil A. Hanya terlihat jika diperhatikan dengan seksama.

“Untukmu dan baby cio” ucap Thea cepat, gugup.

Al terdiam sejenak, lalu tersenyum kecil dan tulus. “Aku suka sekali. Terima kasih, Thea... benar-benar berarti.”

Setelah itu, Al mengusap kepala Baby Cio dan berkata ceria, “Sekarang, waktunya kita bersiap. Natal hanya sekali setahun, dan Zurich sudah menunggu.”

Suasana siang hari di Zurich, mereka memulai dari Bahnhofstrasse, jalan perbelanjaan paling ikonik di Zurich. Sepanjang jalan dihiasi lampu-lampu gantung berbentuk kristal salju, toko-toko mewah memajang dekorasi natal yang menawan. Al mendorong stroller dengan hati-hati, sementara Althe berjalan di sebelahnya sambil sesekali menunjuk toko cokelat atau pajangan lucu untuk Baby Cio seolah mereka adalah orang tua baby cio yang sesungguhnya dan baby cio akan terus bersama mereka.

Lalu mereka menyusuri tepian Danau Zurich, duduk sejenak di bangku taman dengan secangkir cokelat panas. Thea menyandarkan kepala di bahu Al, tak banyak bicara, hanya menikmati momen.

Siang itu mereka juga mengunjungi Christkindlimarkt di dalam Stasiun Kereta Utama Zurich. Pasar Natal dalam ruangan itu penuh aroma kayu manis, apel panggang, dan musik Natal yang mengalun pelan. Mereka membeli hiasan pohon kecil bertuliskan “Cio’s First Christmas” dan boneka kayu kecil khas Swiss.

Sesekali mereka tertawa pelan, sesekali berbicara ringan sambil menatap wajah Baby Cio yang tampak tenang dalam pelukannya.

“Aku harap... dia selalu bahagia. Semoga berkat Tuhan dan damai natal selalu menyertaimu nak,” ucap Al perlahan menatap baby cio.

“Aku juga selalu berdoa untuk kebahagiaanmu baby,” ucap Thea mengelus pipi baby cio yang nampak tenang, tanpa sadar menggenggam tangan Al yang ada di pangkuan stroller.

Hari itu ditutup dengan senyum dan salju yang kembali turun perlahan. Zurich tampak seperti negeri dongeng, dan untuk sejenak, luka-luka masa lalu mereka terasa sedikit lebih ringan. Biarlah hari ini menjadi rumah yang nyaman bagi hati yang selama ini berkelana dan terluka.

1
Stella
Bagus banget, jadi mau baca ulang dari awal lagi🙂
About Gemini Story: wahhh terimakasih kak 🤗 sehat selalu ya kak🤗
total 1 replies
Jena
Ga nyesel banget deh kalo habisin waktu buat habisin baca cerita ini. Best decision ever!
About Gemini Story: wahh terimakasih kak 🤗 aku seneng ada yang suka sama cerita aku hehe ☺️ sehat dan bahagia selalu ya kak 🤗
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!