“ARRRGGGHHH! PANAAS! SAAKIIITT!”
Sekar Arum tak pernah membayangkan, setelah dipaksa menjadi gundik demi melunasi hutang orang tuanya, ia justru mengalami siksaan mengerikan dari para perempuan yang iri dan haus kuasa.
Namun, di saat dirinya berada di ambang hidup dan mati, sosok gaib mendekatinya—seorang sinden dari masa lalu yang menyimpan dendam serupa.
Arum akhirnya kembali dan menggemparkan semua orang-orang yang pernah menyakitinya. Ia kembali dengan membawa semua dendam untuk dibalas hingga tuntas.
Namun, mampukah Sekar Arum menumbangkan musuhnya yang memiliki kuasa?
Atau justru ia akan kembali terjerat dalam luka dan nestapa yang lebih dalam dari sebelumnya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dae_Hwa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
DG 10
“Susuk?!” Arum mengulang dengan suara sedikit meninggi, mencerminkan keterkejutannya. Tatapannya berpindah dari Mbah Darsih ke Junaidi, berharap setidaknya salah satu dari mereka menjelaskan bahwa ini hanya bentuk kiasan atau bagian dari metafora belaka. Tapi, tak satu pun menunjukkan tanda demikian.
“Ya,” ujar Mbah Darsih tenang. “Tapi, bukan susuk sembarangan. Ini susuk warisan untuk Larasmi yang belum sempat ia gunakan, peninggalan leluhur dari garis ibu kami. Bukan hanya untuk pemikat dan memberi ilmu pengasih ... susuk ini menguatkan kehendak batin, memperkuat aura, sekaligus menjadi jembatan antara dunia arwah dan raga fana. Kau akan menjadi wadah yang utuh, tempat Larasmi bisa kembali bernapas ... lewatmu.”
Arum tercekat. “Lalu ... saya akan dirasuki? Tubuh saya akan diambil alih?”
“Tidak. Kau tidak akan menjadi boneka jalang yang kehilangan kendali. Justru sebaliknya,” sela Junaidi, suaranya tegas. “Kau akan menjadi dirinya—tapi dengan kehendak mu sendiri. Kau yang memegang kendali. Tapi, dengan seluruh ingatan, kekuatan, dan dendam Mbak Larasmi yang telah menyatu.”
Mbah Darsih melanjutkan, “ritual ini akan menyempurnakan garis yang telah terjalin antara kau dan Larasmi—yang memiliki satu nasib dan dendam terhadap orang-orang yang sama.”
Arum menunduk, jemarinya gemetar. Ingatannya kembali pada malam ketika ia dilemparkan ke kehidupan kelam itu tanpa ampun. Tubuhnya yang hampir dicemari tanpa persetujuan, mimpi-mimpinya yang dipatahkan, dan harga dirinya yang dilumat habis oleh sistem yang sama—kekuasaan dan kelicikan lelaki bermulut manis bernama Juragan Karta.
“Apa yang akan terjadi setelah itu?” tanyanya dengan suara pelan, hampir seperti bisikan ke dirinya sendiri.
“Kau akan jadi satu-satunya perempuan yang menguasai Juragan Karta, Kau akan membuat mereka merangkak di bawah kakimu ... satu per satu,” bisik Mbah Darsih. “Arum ... tanpa ragamu, Larasmi tidak akan bisa membalas dendamnya dengan sempurna.”
“Kenapa begitu?” tanya Arum.
“Karena roh yang meninggal dalam keadaan tidak sempurna—seperti dibunuh secara keji, dikubur tanpa ritual yang layak, atau bahkan jasadnya dihancurkan—akan kehilangan sebagian besar kuasanya untuk berinteraksi langsung dengan dunia manusia,” ujar Mbah Darsih pelan, nadanya penuh kehati-hatian.
Ia menatap Arum sejenak, lalu melanjutkan, “Begitu pula dengan Larasmi. Ia memang penuh dendam, tapi selama ini, ia hanya bisa menampakkan diri lewat cermin, mimpi, atau lewat benda-benda peninggalannya. Ia tak bisa menyentuh musuh-musuhnya secara langsung.”
“Karena tubuhnya telah hancur?” tanya Arum, mencoba menahan gejolak di dadanya.
Mbah Darsih mengangguk. “Tubuh adalah jembatan antara roh dan dunia. Saat jembatan itu runtuh, roh akan terperangkap, kekuatannya terpecah. Ia butuh ‘wadah baru’ untuk menyempurna. Dan itulah kenapa ... kau amat penting.”
Arum mengangguk perlahan. Tak ada lagi ketakutan dalam sorot matanya. Hanya tersisa kobaran api yang menyala-nyala di dadanya.
“Kapan kita mulai?” tanyanya mantap.
Mbah Darsih tersenyum tipis. “Besok malam, tepat bulan purnama.”
...****************...
Tak ada yang benar-benar tau siapa Mbah Darsih sebenarnya.
Di mata Juragan Karta dan Nyai Lastri, ia hanyalah abdi dalem tua yang setia membenahi ranjang, membersihkan kamar, dan meracik minuman untuk para gundik. Sosok yang tak pernah dihitung, tak pernah dipertimbangkan dalam hal apapun—seolah bayangan yang hidup hanya untuk melayani.
Tapi di luar rumah besar itu, nama Darsih punya jejak yang lebih dalam dari sekadar pelayan. Di masa mudanya, ia dikenal sebagai putri tertua dari keluarga penjaga pusaka di lereng Merbabu, sebuah garis keturunan yang sudah turun-temurun menguasai ilmu kebatinan.
Namun, garis itu putus. Saudara-saudaranya terbunuh dalam kerusuhan tahun ’45, yang juga dikenal sebagai Masa Bersiap—periode kekacauan dan kekerasan yang terjadi setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945. Mbah Darsih lari ke desa kecil bersama ibunya Larasmi, dan menyembunyikan jati dirinya.
Ia menyimpan semua pengetahuannya dalam diam. Ia bungkam, ia mengabdi, dan ia menunggu. Menunggu waktu di mana ilmunya akan kembali dibutuhkan—dan ternyata, ilmunya kembali dibutuhkan untuk satu hal: membebaskan roh keponakannya sendiri, Larasmi, yang mati secara tak wajar.
“Mbah, saya sudah siap,” ujar Arum. Membuyarkan lamunan Mbah Darsih dan juga Junaidi.
Di malam yang semakin larut, bulan purnama menggantung indah di atas langit. Malam ini, Arum dan Mbah Darsih akan melakukan ritual pemasangan susuk peninggalan leluhur.
“Mari ...,” kata Mbah Darsih pelan.
Arum berjalan pelan, mengikuti langkah Mbah Darsih menuju ruangan belakang yang sebelumnya terkunci rapat.
Junaidi hanya duduk diam, memandangi punggung Arum dengan sorot mata penuh harap, sekaligus cemas.
Ruangan itu gelap, dindingnya dipenuhi kain mori dan rajah merah darah. Di tengah ruangan, ada sebuah wadah tanah liat besar berisi air kembang tujuh rupa dan sebilah cermin tua yang terletak miring di atas batu hitam.
“Lepaskan pakaianmu, sisakan kain dalam putih. Ini bagian dari penyatuan,” ucap Mbah Darsih lirih, tanpa memandang.
Arum tak menjawab. Ia menuruti dengan tangan sedikit bergetar, namun matanya tetap tajam menatap ke depan.
“Kau harus ikhlas, Arum. Jika tidak, roh itu akan menolak ragamu.” Lanjut Mbah Darsih sambil meletakkan segenggam rambut hitam panjang ke atas bara kecil yang berasap.
Aroma kemenyan dan rambut terbakar langsung menyatu. Lalu terdengar suara seperti desir angin ... atau bisikan dari dunia lain.
Mbah Darsih mulai merapal mantra.
“Wahyu temurun, saka ratri, Manunggaling rahsa, nyawa lan jiwa ... Wujudmu dipinjam, atimu dilapisi ... Kekasih dendam, larasmi sang sinden sekar jagat ....” (Guys, kalau bahasanya salah, tolong dibantu perbaiki ya🙏🏼 Author mengandalkan mbah gugel 😆)
Arum tiba-tiba merasa kedinginan, meski tak ada angin. Cermin tua di hadapannya mulai berembun. Dan dari dalam kabut cermin itu—ia melihat sosok wanita bersanggul dengan mata merah samar ... menatapnya balik dari sisi lain.
*
*
*
ku rasa bokor itu masih di dasae danau deh
atau tusuk konde ya udah nggak ada di dalam bokor lagi...???
ehh kan si juanidin yg kena tusuk keris
klo sate tusuk daging kambing mah nyosss yaa kann 🤣🤣🤣