Galih adalah seorang lelaki Penghibur yang menjadi simpanan para Tante-tante kaya. Dia tidak pernah percaya Cinta hingga akhir dia bertemu Lauren yang perlahan mulai membangkitkan gairah cinta dalam hatinya
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ibnu Hanifan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAAB 27
Lorong apartemen itu sunyi. Hanya suara langkah kaki Lauren yang menggema di antara dinding-dinding mewah bernuansa putih gading. Di tangannya, sebuah undangan bertuliskan namanya dan nama Aldo—calon tunangannya.
Lauren berhenti di depan lift. Cermin di dalam lift memantulkan wajahnya yang tampak ragu, seolah bertanya: “Kenapa aku ke sini?”
Pintu lift terbuka di lantai 17. Dengan langkah pelan, ia berjalan menuju salah satu pintu di ujung lorong. Di sanalah ibunya tinggal sekarang, seorang diri, setelah perceraiannya dengan Pak Gunawan.
Lauren berdiri di depan pintu itu, menatap nomor apartemen seperti sedang membaca sesuatu yang berat. Tangannya sempat terangkat, tapi ragu. Ia menunduk sejenak, menarik napas dalam, lalu mengetuk pelan.
Beberapa detik kemudian, pintu terbuka.
Di baliknya berdiri Tante Liana, mengenakan daster sutra sederhana. Rambutnya digelung santai, wajahnya masih secantik dulu, meski kini memancarkan kelelahan.
“Lauren?” tanyanya kaget, suaranya pelan tapi jelas.
“Halo, Mah...” kata Lauren pelan.
Tante Liana membuka pintu lebih lebar. “Ayo masuk, Nak.”
Lauren melangkah masuk. Apartemen itu elegan, tertata rapi, dengan aroma bunga melati samar dari diffuser di pojok ruangan. Ia duduk di sofa putih, menegakkan tubuh dan menyilangkan tangan, mencoba menyembunyikan kegugupan.
Dari dapur terbuka, Tante Liana sibuk membuat teh. Suara gelas beradu menjadi latar dari keheningan canggung itu.
Tak lama kemudian, Tante Liana datang membawa dua cangkir teh hangat dan duduk di samping putrinya.
“Minumlah,” katanya lembut.
Lauren mengambil teh itu dan menyeruputnya perlahan. Hangatnya mengalir, tapi hatinya tetap dingin.
“Aku ke sini... karena mau bilang...” Lauren memulai, lalu menunduk sejenak. “Aku dan Aldo akan bertunangan minggu depan.”
Cangkir teh hampir jatuh dari tangan Tante Liana. “Kalian... bertunangan?”
Lauren mengangguk. “Aku harap Mama bisa datang. Mau bagaimanapun, Mama tetap ibu kandungku.”
Wajah Tante Liana berubah. Di matanya, ada kekhawatiran. Ada luka yang belum sembuh.
“Nak... Aldo bukan laki-laki baik. Kamu nggak tau siapa dia sebenarnya. Mama—”
Namun sebelum kalimat itu selesai, Lauren langsung memotong, nadanya dingin.
“Aku nggak ke sini buat denger Mama jelek-jelekin Aldo.”
“Lauren, Mama cuma—”
“Cukup, Mah!” kata Lauren, berdiri dari sofa. “Aku cuma ke sini buat bilang aku akan tunangan. Terserah Mama mau datang atau nggak.”
Tante Liana ikut berdiri, mencoba meraih tangan putrinya. “Tapi Nak—”
“Sudah,” kata Lauren tajam. “Aku... aku udah cukup dengar dari orang-orang. Sekarang aku cuma ingin bahagia.”
Dengan langkah cepat, Lauren keluar dari apartemen, meninggalkan ibunya yang berdiri kaku.
Tante Liana hanya bisa memandangi pintu yang telah tertutup. Di tangannya, cangkir teh itu masih hangat. Tapi hatinya sudah dingin sejak lama.
Tangis Lauren pecah begitu pintu apartemen tertutup di belakangnya. Ia berlari menuruni lorong, masuk ke lift dengan air mata yang terus mengalir. Kepalanya penuh dengan luka lama dan luka baru. Luka karena pengkhianatan ibunya... dan luka karena dirinya sendiri tak bisa lagi membedakan antara kebenaran dan kebohongan.
Begitu pintu utama gedung terbuka, mata Lauren langsung menangkap sosok Aldo yang duduk di kursi pengemudi mobil hitam elegan. Mobil itu terparkir rapi di pinggir jalan, mesin masih menyala. Aldo turun begitu melihat Lauren berlari kecil dengan air mata di wajahnya.
“Lauren?” panggilnya pelan, penuh perhatian yang dibuat-buat.
Tanpa berkata apa-apa, Lauren langsung memeluk Aldo erat-erat. Dadanya bergetar, air matanya membasahi baju Aldo. Dia menangis sejadi-jadinya di pelukan pria itu, seperti anak kecil yang kehilangan arah.
“Aku... aku nggak ngerti kenapa Mama berubah,” isaknya pelan.
Aldo mengelus rambutnya perlahan. “Ssstt... udah, jangan nangis. Aku di sini, oke? Aku selalu di sini buat kamu.”
Setelah beberapa saat, mereka masuk ke dalam mobil. AC dinyalakan pelan, mengisi kabin dengan hawa dingin yang kontras dengan panasnya emosi Lauren. Aldo mengemudikan mobil perlahan, tak terburu-buru, seolah ingin memberikan ruang bagi Lauren untuk menenangkan diri.
“Jujur aja... aku udah mikir dari awal,” kata Aldo perlahan, “Tante Liana... pasti nggak suka aku deket sama kamu.”
Lauren menoleh. “Kenapa?”
Aldo pura-pura menghela napas berat. “Ya... kamu tahu sendiri. Dia deket sama Galih, kan? Pasti Galih udah bilang yang nggak-nggak tentang aku ke dia. Galih benci banget sama aku... dan dia bisa aja ngeracunin pikiran mamamu.”
Lauren menggigit bibirnya, mencoba berpikir, tapi emosinya masih terlalu kacau. “Tapi, Ap mungkin Galih ngelakuin itu ...”
Aldo langsung menatap Lauren dengan sorot mata penuh luka. “Kamu percaya aku kan, Lauren?”
Lauren terdiam. Tatapannya melemah. Di tengah kebimbangan dan rasa hancur, hanya satu yang ia ingin rasakan: disayangi.
“Iya,” katanya akhirnya. “Aku percaya sama kamu. Aku nggak peduli apa yang orang lain bilang... termasuk Mama.”
Aldo langsung meraih tangan Lauren dan menciumnya lembut.
“Terima kasih,” bisiknya. “Kamu nggak tahu betapa berharganya kamu buat aku.”
Tapi yang tidak diketahui Lauren... di balik genggaman tangan itu, tersembunyi senyuman tipis Aldo yang penuh kemenangan. Karena malam ini, kepercayaannya telah mengunci hati Lauren lebih dalam dari sebelumnya.