Prayitno, seorang pria miskin yang nekat merantau ke kota besar demi mencari ibunya yang hilang, justru terperangkap dalam kehidupan penuh penderitaan dan kesuraman. Setelah diusir dari kontrakan, ia dan keluarganya tinggal di rumah mewah milik Nyonya Suryati, yang ternyata menyimpan rahasia kelam. Teror mistis dan kematian tragis menghantui mereka, mengungkap sisi gelap pesugihan yang menuntut tumbal darah.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Its Zahra CHAN Gacha, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pertemuan dengan Rika
"Aku tahu kau belum pergi, Bu..." bisik Suryati, tangannya gemetar saat memotong ujung jarinya dengan pisau kecil.
Tetesan darahnya jatuh ke lantai batu. Tiba-tiba api lilin bergetar. Angin dingin berhembus dari arah lorong. Cahaya redup menjadi merah darah.
Ia mulai membaca mantra, bahasa jawa kuno yang hanya ia dengar dari mulut ibunya, Mariani waktu dia kecil. Ia tidak paham artinya, tapi mantra itu hidup dalam darahnya.
Saat tetesan darah ke-tujuh jatuh, tubuh Mariani bergerak.
Jari-jarinya mengatup. Matanya terbuka perlahan, berwarna putih seluruhnya. Napasnya berat, seperti hembusan dari dalam liang lahat.
Suryati mundur satu langkah, jantungnya berdetak tak karuan, tapi bukan karena takut. Ini yang ia tunggu.
Senyumnya mengembang meskipun tubuhnya gemetaran.
“Anakmu di sini, Bu,” katanya, menahan air mata.
“Aku akan melanjutkan jalanmu.” imbuhnya
Mariani tak menjawab. Tubuhnya masih terbujur, tapi mata putihnya menatap tajam ke arah langit-langit. Senandung itu kini terdengar dari mulutnya sendiri, meski lidahnya tidak bergerak.
Ruang itu mendadak lebih dingin. Uap putih keluar dari bibir Suryati. Ia menggenggam kendi tanah liat yang dipenuhi air kelapa dan bunga tujuh rupa. Perlahan ia tuangkan cairan itu ke kaki ibunya. Aroma harum dan busuk bercampur menjadi satu.
Tiba-tiba, dinding lorong bergemuruh.
Sebuah bayangan besar melintas di antara lilin-lilin. Ia tahu roh penjaga pesugihan telah kembali. Tanpa tumbal baru, roh itu akan mengamuk. Dan Suryati kini kehabisan waktu.
“Beri aku kekuatan,” ucapnya kepada ibunya yang sudah setengah hidup.
“Aku akan mencarikan tumbal baru untuk mu.”
Di saat bersamaan, tanah di bawah altar retak. Sebuah tangan hitam muncul dari sela-sela batu, lalu merangkak naik seperti kepompong yang membelah dirinya. Makhluk setengah manusia, setengah bayangan, merangkak keluar. Wajahnya samar, tapi matanya merah menyala seperti bara neraka.
Makhluk itu adalah perwujudan roh pesugihan yang dahulu dikendalikan oleh Mariani.
Kini, ia berdiri di antara dua dunia, menunggu perintah baru.
Suryati menjatuhkan diri, bersujud.
“Aku anak dari darahmu, Bu... Aku akan meneruskan perjanjian,” katanya pelan.
“Tapi kali ini, aku ingin lebih.”
Makhluk itu mendekat. Nafasnya membuat lilin satu per satu padam. Ruangan menjadi gelap, hanya disinari oleh mata merahnya yang menyorot ke tubuh Suryati.
Ia mencium bau daging hangus dan darah tua.
Makhluk itu menunduk, lalu berbicara dalam bahasa yang tidak dimengerti manusia, namun Suryati mengerti maksudnya. Ia ingin tumbal. Ia ingin nyawa.
“Beri aku waktu satu malam,” kata Suryati.
“Besok, akan kau dapatkan jiwanya.”
---
Sementara itu, di atas tanah, malam terasa lebih tenang dari biasanya. Tapi beberapa anak kecil yang bermain di taman kota mengaku melihat bayangan perempuan tua duduk di bangku taman, menyisir rambut sambil bersenandung. Senandung itu mirip nyanyian Jawa kuno. Saat warga mencoba mendekati, sosok itu menghilang, meninggalkan bau anyir dan bulu kuduk yang berdiri.
Dan di antara mereka, seorang perempuan berambut kusut tengah mengendap dari bayang ke bayang. Matanya kosong. Mulutnya sering menggumam kata-kata tak beraturan.
Dialah Rika.
Selama bertahun-tahun ia mengasingkan diri, sembunyi di pelosok rumah sakit jiwa di luar kota, setelah berhasil melarikan diri dari ritual pengorbanan yang gagal. Namun kini, sesuatu memanggilnya kembali. Seperti ada ikatan darah yang belum selesai.
Rika berjalan pelan ke arah taman yang dulunya rumahnya. Setiap langkahnya terasa berat, tapi hatinya berkata "Di sana ada jawaban."
Dan malam pun terus menggeliat, menyambut darah baru yang akan tumpah.
Prayitno tidak benar-benar mati saat tubuhnya dibakar oleh kekuatan gaib rumah itu. Ia terperangkap dalam dimensi lain. Ruang antara kehidupan dan kematian, tempat roh-roh tumbal yang belum tenang berkeliaran.
Di tempat itu, waktu tidak berjalan seperti biasa. Doa anaknya, tangis Ratih, dan dendam yang belum selesai menjadi cahaya yang membimbing jiwanya. Ia dihantui oleh wajah-wajah para korban pesugihan, termasuk sosok Lestari dan anak-anak kecil yang pernah menghilang dari kampung. Namun, berbeda dari roh lain, Prayitno tidak hilang kendali, ia terus berdoa dan bertahan.
Ia mencoba bertahan hidup dan mencari jalan keluar dari tempat itu. Ia tahu dirinya hanya tersegel, ia belum mati.
Saat Suryati melakukan ritual pembangkitan Mariani, gerbang gaib yang membatasi dunia roh dan dunia manusia retak. Dalam satu momen, saat darah Suryati menyentuh tanah dan mantra kuno dibacakan, roh Prayitno ditarik kembali ke celah sempit antara dunia. Tapi ia tidak pulih sepenuhnya sebagai manusia.
Prayitno kembali sebagai wadag (setengah roh), tubuhnya samar seperti bayangan, namun mampu menampakkan diri di tempat-tempat tertentu—terutama di rumah tua yang kini menjadi taman kota.
Ia muncul pertama kali di hadapan Rika yang linglung, berbisik,
“Waktunya belum habis... kau harus menghentikan Suryati... sebelum semuanya jadi tumbal.”
Rika yang meski sakit jiwa, masih menyimpan ingatan tentang kejadian dulu yang ia alami. Ia perlahan mulai sadar. Kembalinya Prayitno membangkitkan ketakutannya, tapi juga rasa bersalah dan kewajiban. Mereka dulu sama-sama korban. Sekarang, hanya mereka yang bisa menghentikan kutukan itu sebelum makin banyak nyawa melayang.
hihihihihiii keren dehh dan siapa pula gantinya yaaaa
wahh g ada hentinya yaaa
wisss g akan aman deh