Hanasta terpaksa menikah dengan orang yg pantas menjadi ayahnya.
suami yg jahat dan pemaksaan membuatnya menderita dalam sangkar emas.
sanggupkah ia lepas dari suaminya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Elara21, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Hanasta 28
Peta, dokumen, dan laptop berserakan di meja.
Nathan mengemas semuanya dengan kecepatan yang membuat Raina sampai menahan napas.
“Kita harus pindah.
Soni bergerak lebih cepat dari yang kuprediksi,”
ucap Nathan tanpa menoleh.
James memandang Hana yang duduk di kursi, mencoba mengatur napas.
“Hana… bisa berdiri?”
Hana mengangguk meski lututnya gemetar.
James meraih tangannya dan membantu berdiri.
“Kalau sakit bilang,” kata James lembut.
Hana mengguncang kepala.
“Tidak… aku ingin pergi sebelum dia tiba…”
Raina memeriksa jendela kecil.
“Nathan… ada suara mobil… tiga? Atau empat? Jauh, tapi… banyak.”
Nathan berhenti mengemas sejenak.
“…itu dia.”
James menegang.
“Seberapa dekat?”
Nathan memijit pelipis.
“Kalau aku dengar suara mesin dari sini…
mereka kurang dari lima menit.”
Hana langsung memegang lengan James.
“James… James… jangan sampai ketemu dia… tolong…”
James menggenggam tangan Hana erat.
“Hana, aku janji.
Kita pergi sekarang.”
Nathan menekan tombol kecil di bawah meja.
Klik.
Pintu kecil di lantai terbuka—pintu menuju terowongan darurat sedalam 1,5 meter.
Raina terkejut.
“Kau… kau punya jalur pelarian?”
Nathan mengangguk sambil mengambil senter kecil.
“Dulu ayahku membangunnya.
Dia wartawan.
Kalau ada ancaman, ini jalur untuk kabur.”
James membantu Hana turun ke terowongan.
Hana memeluk dirinya, gemetar karena udara dingin.
James turun menyusul.
Raina di belakang.
Nathan menurunkan tas terakhir, lalu menutup pintu lantai itu dari bawah.
“Kita akan keluar di sisi hutan… 300 meter dari sini,” kata Nathan.
“Kalau Soni masuk ke rumah… dia tidak akan melihat apa pun.”
Tapi James memandang ke atas sambil menggenggam bros ibunya.
“Dia akan tetap mengejar kita.”
Nathan memandang James cepat.
“Biarkan dia mengejar.
Kita yang pastikan dia tidak menemukan apa pun.”
BAGIAN 2 — SONI TIBA
DUUUG— DUUUG— DUUUG
Empat mobil hitam berhenti tepat di depan rumah persembunyian Nathan.
Lampu-lampu menyala kuat menembus malam.
Pintu mobil terbuka.
Penjaga turun cepat.
Soni turun belakangan.
Langkahnya pelan, tapi setiap langkah seperti menekan tanah terlalu keras.
Ia berdiri di depan pintu rumah Nathan.
Kepala keamanan mendekat.
“Tuan… menurut drone, mereka ada di area ini 15 menit lalu.”
Soni memandangi pintu kayu rumah itu lama.
Wajahnya tidak marah.
Hanya… kosong.
Berbahaya.
“Buka,” katanya.
Penjaga menendang pintu.
BRAAAK!!
Pintu terlempar.
Soni masuk ke dalam.
Matanya menyapu ruangan:
• Sofa kusam
• Rak dokumen
• Dinding lembap
• Papan investigasi kosong—Nathan sudah melepas semua foto
• Lantai bersih, tanpa jejak kaki
Semuanya sangat rapi.
Terlalu rapi.
“Kosong, Tuan,” laporan salah satu penjaga.
Soni berjalan ke tengah ruangan.
Ia menyentuh meja.
Masih hangat.
“Tidak.”
Soni berbisik.
“Mereka baru saja pergi.”
Ia melihat ke lantai—
area tempat pintu terowongan berada.
Ia menatap lebih lama daripada biasanya.
Hanya lantai biasa…
tapi Soni bukan laki-laki biasa.
Ia merasakan sesuatu yang berubah.
Ia berdiri tepat di atas pintu terowongan—tanpa sadar Hana hanya berada satu setengah meter di bawah kakinya.
Soni memejamkan mata.
Mendengarkan.
Napasnya sangat pelan.
“…kau pikir aku buta, Nathan?”
bisik Soni.
Ia jongkok.
Tangannya menyentuh lantai itu.
“Papan ini baru bergerak.”
Penjaga terkejut.
“Maksud Tuan… mereka kabur lewat bawah?”
Soni berdiri perlahan.
“Kejar ke arah timur.
Ke hutan.”
Semua penjaga langsung berlari keluar.
Namun Soni tetap diam di ruangan itu.
Matanya menatap kosong lantai.
Tidak marah.
Tidak histeris.
Tenang.
“James…”
suaranya sangat rendah.
“Aku sangat dekat padamu… kau bahkan tidak tahu.”
Ia memutar tubuh dan berjalan menuju pintu.
Sebentar ia berhenti di ambang.
Berbisik:
“Hana…
kau membuatku melakukan ini.”
Lalu ia pergi.
BAGIAN 3 — DI TEROWONGAN
Hana mendengar langkah-langkah berat di atas kepala.
Suara sepatu hitam menginjak lantai.
Suara Soni.
Tubuhnya gemetar keras.
Ia menutup mulut, menahan isak.
James langsung memeluk Hana dari samping, merapat di lorong sempit itu.
“Diam… aku di sini…
aku di sini…”
bisik James, menenangkan dengan suara serak.
Hana menenggelamkan wajahnya ke dada James.
“James… dia di atas kita…”
James membelai rambut Hana.
“Aku tahu…
tapi dia tidak tahu jalur ini.”
Nathan menyalakan senter kecil.
“Cepat. Kalau Soni sadar, dia akan kirim penjaga menyisir hutan.”
Mereka merangkak secepat mungkin.
Raina di depan—mengayunkan senter kecil.
Nathan di belakang memastikan pintu tertutup rapat.
Dalam kegelapan sempit itu, suara hujan merembes dari atas.
Tanah lembap.
Aroma debu dan udara dingin.
Hana menutup mulut agar tidak ketakutan.
James berjalan tepat di belakangnya, memberi kekuatan.
Setelah beberapa menit…
Mereka melihat cahaya remang di ujung terowongan.
Nathan membuka pintu besi kecil itu.
Udara hutan menerpa wajah mereka.
“Keluar,” kata Nathan.
Raina keluar dulu, lalu Hana.
James menyusul sambil memastikan tanah aman.
Nathan keluar terakhir, menutup pintu itu dengan ranting dan dedaunan agar tidak terlihat oleh siapa pun.
James menarik napas panjang.
Hana menggenggam ujung baju James.
“James… kita benar-benar… lolos?”
James menatapnya.
Senyum kecil muncul meski wajahnya masih tegang.
“Sementara ini… ya.
Kita lolos.”
Nathan menepuk bahu James.
“Tapi Soni hanya tertinggal beberapa menit.
Dia tidak akan menyerah.”
Raina menutup jaketnya karena dingin.
“Apa… apa yang kita lakukan sekarang?”
Nathan menatap ke arah hutan gelap.
“Kita bergerak ke tempat berikutnya.”
James mengangguk.
Dan tanpa sadar…
di belakang pepohonan,
lampu mobil Soni mulai memasuki daerah hutan.
Hutan itu seperti jurang hitam tanpa dasar.
Aroma lumpur, dedaunan basah, dan kabut tipis menciptakan suasana yang membuat siapa pun merasa diawasi.
Nathan berjalan paling depan, membawa senter kecil yang ia tutup sebagian dengan telapak tangan agar tidak terlihat dari jauh.
James memegangi tangan Hana, menjaga tiap langkahnya.
Raina di belakang, memeriksa jejak agar tidak meninggalkan tanda.
“Berapa jauh lagi?”
tanya James dengan suara rendah.
“Dua kilometer. Ada kabin tua—tempat ayahku dulu bersembunyi kalau sedang menyelidiki kasus besar.”
Nathan menoleh cepat.
“Kalian harus kuat sampai ke sana.”
Hana mengangguk, meski wajahnya pucat.
Napasnya pendek, suara gemeretak giginya terdengar jelas.
James mempererat genggamannya.
“Hana… kau bisa?”
Hana menelan ludah.
“Saya… saya bisa… saya tidak mau ditangkap dia lagi…”
James semakin menahan genggaman itu.
“Baik. Aku ada di sini.”
Tapi baru mereka berjalan beberapa langkah—
ARFF!! ARF ARF!!
Semua langsung berhenti.
Hana menutup mulutnya cepat.
Anjing pelacak.
Kemudian…
DRRRRRRRR—
Suara drone terdengar di atas pepohonan.
Nathan langsung berbisik keras:
“MATIKAN SENTER! SEKARANG!!”
Senter padam.
Gelap total.
Raina menahan napas.
Hana memeluk lengan James.
James melindungi Hana dengan tubuhnya secara refleks.
Drone terbang rendah, cahayanya menyapu pepohonan seperti mata predator.
“Diam,” bisik Nathan.
“Kalau drone mendeteksi panas tubuh, kita ketahuan.”
Suara anjing semakin dekat.
Daun-daun berguncang.
Gemuruh langkah kaki penjaga terdengar samar.
Hana mulai gemetar, napasnya tercekat.
James memegang pipinya dan berbisik lembut:
“Hana… taruh tanganmu di dadaku. Ikuti ritme napasku… pelan… pelan…”
Hana melakukan itu.
Pelan-pelan napasnya stabil.
Drone melewati mereka—
hanya setengah meter di atas kepala.
James menundukkan kepalanya, melindungi Hana dari cahaya sensor.
Raina menutup wajahnya dengan tanah agar panas tubuhnya berkurang.
Nathan memejamkan mata, diam seperti batu.
Drone mengitari area itu sekali lagi…
Satu detik…
Dua detik…
Lima detik…
Lalu melayang menjauh.
Namun suara anjing semakin dekat.
ARF!!
ARFFF!!
Nathan berbisik cepat:
“Mereka dapat aroma kita.
Kita harus bergerak sebelum anjing sampai di sini.”
James menggendong Hana tanpa memberi kesempatan ia menolak.
“James—!”
“Diam. Kita tidak punya waktu.”
Nathan memberi isyarat tangan.
“Menyebar!
Ke jalur kiri!
Ada sungai kecil untuk hilangkan bau!”
Mereka berlari.
Raina memegang tangan Nathan agar tidak ketinggalan.
James berlari sambil menggendong Hana.
Hana menutup wajahnya ke bahu James.
Langkah kaki di belakang mulai terdengar jelas.
“JANGAN BIARKAN MEREKA LEPAS!”
teriak penjaga.
Suara ranting patah.
Suara anjing menggonggong keras.
Mereka semakin dekat.
“LEWAT SINI!”
Nathan menunjuk arah kiri.
Mereka melompati akar pohon besar, menuruni tanah licin, dan akhirnya…
BRUUUUK!
Raina terpeleset dan jatuh ke lumpur.
Nathan kembali untuk menariknya.
“Raina! Pegangan!”
Hana berteriak kecil, takut Raina ketangkap.
James merunduk, melindungi Hana dengan tubuhnya agar suara tidak terdengar.
Namun anjing pelacak sudah sangat dekat.
ARFFF!!! ARFFF!!
Hana mulai panik.
“James… James… dia akan temukan kita…”
James menarik napas dalam, menunduk ke arah Hana.
“Tidak.
Aku tidak biarkan dia menyentuhmu lagi.
Tidak pernah lagi.”
Nathan akhirnya menarik Raina, dan mereka lari lagi.
Beberapa meter ke depan—
suara gemuruh air terdengar.
“Sungai!”
Nathan menunjuk.
Mereka menuruni tebing kecil menuju sungai dangkal dengan arus kuat.
Nathan terjun duluan.
Air menampar kakinya.
“Masuk!
Kita harus hilangkan bau!”
Raina masuk setelah Nathan.
James menurunkan Hana perlahan ke air.
Airnya dingin sampai menusuk tulang.
Hana hampir terjatuh karena licin, tapi James memeluknya, memastikan ia aman.
“Kita akan lewat tengah sungai, melawan arus sedikit,” kata Nathan.
“Anjing tidak akan bisa ikuti bau kalau kita berjalan di dalam air.”
Mereka berjalan perlahan, menahan dingin.
Suara anjing dan penjaga terdengar semakin dekat ke tepi sungai.
“Pisahkan tim!
Sebagian ke kiri!”
teriak kepala penjaga.
Hana menahan napas.
James merapatkan tubuhnya untuk menghalangi Hana dari cahaya senter para penjaga yang menyorot ke arah sungai.
Nathan berbisik cepat:
“Jangan gerak.”
Semua diam.
Senter melintas perlahan di atas kepala mereka.
Beberapa detik yang terasa seperti satu abad.
Kemudian suara penjaga:
“Tidak ada jejak mereka di sungai!
Mereka pasti ke arah bukit!”
Langkah-langkah menjauh.
Anjing menyalak, tapi arah gonggongannya menjauh juga.
Akhirnya… sunyi.
Hana menutup mulut, air mata jatuh tanpa suara.
James mengusap kepalanya lembut.
“Kita masih hidup, Hana…
kita masih hidup.”
Nathan menghela napas panjang.
“Kita bergerak sekarang.
Setelah sungai, kita bisa naik ke area kabin ayahku.”
Ia memandang semua.
“Tapi ingat, Soni tidak jauh.
Dia pasti datang sendiri.”
James mengangguk.
“Kita hadapi dia nanti.
Sekarang… selamatkan Hana dulu.”
Hana menatap James—
wajahnya penuh air, bukan hanya air sungai, tapi juga air mata.
“James… terima kasih…”
James menatapnya balik, serius, lembut, terluka, dan kuat sekaligus.
“Aku tidak biarkan siapapun merebutmu dari aku lagi.”
Mereka melanjutkan perjalanan
dingin, gemetar, tapi tidak menyerah.
Dan di belakang pepohonan…
Sebuah mobil hitam berhenti.
Soni turun.
Ia menatap jejak air di tepi sungai.
Senyumnya perlahan muncul.
“…pintar.”
Ia mendongak ke arah hutan gelap yang Hana dan James masuki.
“Tapi aku selalu lebih pintar.”
25-11-2025
By : Elara21