Di balik kebahagiaan yang ku rasakan bersamanya, tersembunyi kenyataan pahit yang tak pernah ku duga. Aku merasa istimewa, namun ternyata hanya salah satu dari sekian banyak di hatinya. Cinta yang ku kira tulus, nyatanya hanyalah bagian dari kebohongan yang menyakitkan.
Cinta yang seharusnya menguatkan, justru menjadi luka yang menganga. Eva, perempuan dengan hati selembut embun, dikhianati oleh pria yang dulu ia sebut rumah.
"Cinta seperti apa yang membuatku merasa sendirian setiap malam? Yang membuatku meragukan harga diriku sendiri? Cintamu .... cintamu telah membunuhku perlahan-lahan, hingga akhirnya aku mati rasa." gumam Eva Alexia
Bagaimana takdir cinta Eva Alexia selanjutnya? Apakah dia akan tetap mempertahankan pernikahan nya atau mengakhiri semuanya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon X-Lee, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
27. Cinta Segitiga
Sidang berikutnya, suasana ruang sidang terasa lebih panas. Kali ini giliran Ardian menghadirkan saksinya. Ia tampak lebih siap, bahkan lebih percaya diri dibandingkan sidang sebelumnya. Di sebelahnya, pengacaranya sesekali membisikkan sesuatu, tampak seperti sudah menyusun strategi baru.
Hakim membuka sidang dengan ketukan palu. "Hari ini, kita akan mendengarkan saksi dari pihak tergugat. Silakan panggil saksi pertama."
Pengacara Ardian berdiri dan memanggil seorang perempuan muda bernama Sera. Langkah Sera terlihat ragu saat memasuki ruang sidang, namun pandangan matanya tajam, penuh siasat.
Setelah bersumpah di depan hakim, Sera mulai memberikan kesaksiannya.
"Saya mengenal Pak Ardian cukup baik," katanya, suaranya sedikit bergetar. "Saya sering melihat sendiri bagaimana beliau memperlakukan Bu Eva dengan baik. Pak Ardian adalah suami yang bertanggung jawab. Ia menikah lagi semata-mata karena ingin mendapatkan keturunan, bukan karena ingin meninggalkan Bu Eva."
Richard mengerutkan kening, memperhatikan setiap kata yang diucapkan Sera.
"Apakah anda tahu bahwa pernikahan kedua dilakukan tanpa izin istri pertama?" tanya Hakim.
Sera tampak gelagapan sesaat, tapi segera menjawab, "Saya rasa Bu Eva sebenarnya tahu, hanya saja mungkin tidak ingin mengakuinya."
Bisik-bisik mulai terdengar dari bangku pengunjung. Eva menggertakkan giginya, berusaha menahan amarah. Ia tahu, Sera adalah orang yang sengaja dibayar untuk membela Ardian.
Richard segera berdiri, meminta hak bertanya. "Saudari Sera," ucapnya tajam, "apakah anda punya bukti bahwa Bu Eva mengetahui dan menyetujui pernikahan kedua tersebut?"
Sera tampak terpojok. Ia menggeleng ragu. "Tidak... saya hanya mendengar dari Pak Ardian..."
"Jadi, saudari hanya berdasarkan katanya, tanpa bukti konkret?" tekan Richard.
Sera mengangguk pelan, wajahnya mulai memerah. Hakim mencatat sesuatu, ekspresinya jelas menunjukkan kekecewaan.
Melihat Sera mulai goyah, Ardian segera memanggil saksi berikutnya: seorang pria paruh baya bernama Pak Sugeng, yang mengaku sebagai teman dekat Ardian.
Pak Sugeng bersaksi bahwa Ardian sudah meminta izin kepada Eva secara tidak langsung, melalui "pembicaraan keluarga". Namun saat ditanya lebih lanjut, ia pun kesulitan membuktikan klaimnya. Jawabannya berputar-putar, semakin memperjelas bahwa kesaksian itu direkayasa.
"Apakah anda menyaksikan sendiri Eva memberikan izin secara langsung?" tanya Hakim, suaranya tajam.
Pak Sugeng menunduk. "Tidak, Pak Hakim. Tapi... saya merasa itu sudah semacam kesepakatan diam-diam..."
"Kesepakatan tidak bisa diasumsikan," tegas Hakim. "Izin harus jelas, tegas, dan disetujui secara sadar oleh istri pertama."
Sidang kembali bergemuruh. Ardian tampak mulai kehilangan ketenangannya. Ia meremas lengan kursinya, menyadari bahwa rencananya untuk membalikkan keadaan perlahan-lahan berantakan.
Melihat kondisi itu, Richard berdiri dan mengajukan keberatan. "Pak Hakim, mengingat ketidakjelasan keterangan saksi-saksi dari tergugat, kami memohon agar keterangan ini tidak dijadikan pertimbangan utama dalam putusan."
Hakim mengangguk serius. "Baik, keberatan dicatat."
Dengan ketukan palu, hakim menutup sesi saksi. "Sidang akan dilanjutkan minggu depan dengan agenda kesimpulan dari kedua belah pihak."
Semua orang mulai bergerak meninggalkan ruang sidang. Ardian berdiri di tempatnya, menatap Eva dengan mata penuh amarah — tidak lagi dengan senyum licik seperti pertama kali, melainkan pandangan seorang laki-laki yang menyadari kekalahannya.
Eva, berdiri dengan anggun di samping Richard, menatap Ardian untuk terakhir kalinya hari itu. Tatapannya tenang, tidak ada lagi air mata, tidak ada lagi ketakutan. Yang ada hanya kekuatan baru yang tumbuh dari luka-luka lamanya.
Dia tahu, sedikit lagi, kebebasan itu akan benar-benar menjadi miliknya.
***
Keesokkan harinya...
Pagi itu, saat Ardian baru saja selesai rapat dengan para direktur, dia menerima telepon dari Lisna.
"Aku ingin bertemu. Sekarang," suara Lisna terdengar dingin dan mengancam. Tidak ada lagi kelembutan yang biasa terdengar dalam suaranya.
Ardian menghela napas berat. Ia tahu, cepat atau lambat, Lisna pasti mencium rencana besarnya.
"Baik. Di mana kita bertemu?" jawab Ardian hati-hati.
Lisna menyebutkan nama sebuah restoran di pusat kota, lalu memutuskan sambungan begitu saja. Ardian meremas ponselnya, menahan rasa gelisah yang makin membuncah.
----
Restoran itu sepi saat Ardian tiba. Ia melihat Lisna sudah duduk di sudut ruangan, mengenakan dress hitam sederhana. Wajahnya cantik seperti biasa, tapi sorot matanya menusuk tajam. Seperti mata seekor elang yang mengintai mangsanya.
Ardian menarik kursi dan duduk di depannya. Sebelum ia sempat membuka mulut, Lisna sudah lebih dulu bicara.
"Kamu mau ceraikan aku, Mas Ardian?" tanyanya tanpa basa-basi.
Ardian menatap mata Lisna. Ia tidak bisa berbohong lagi.
"Iya," jawabnya tegas.
Lisna tersenyum sinis, lalu menyandarkan punggung ke kursi. "Ini semua pasti karena ulah Eva, ya?"
Ardian hanya diam, bersikap acuh tak acuh.
"Lucu," lanjut Lisna, tawanya kering, getir, tanpa kebahagiaan sedikit pun. "Saat aku pikir kita akan membangun masa depan bersama, kamu justru memilih kembali ke perempuan itu."
Ardian menatap datar istri sirinya tersebut. Tidak ada binar sedih saat dia mendengar perkataan Lisna.
"Aku minta maaf, Lisna," ucap Ardian akhirnya, suaranya berat. "Aku tidak pernah berniat menyakitimu. Tapi aku tidak bisa terus hidup dalam kebohongan. Aku hanya mencintai Eva."
Lisna menatap Ardian lama, seolah mencoba membaca isi hatinya. Lalu, perlahan-lahan, matanya memerah. Tangannya yang gemetar berusaha mempertahankan gengsi terakhir yang masih dimilikinya.
"Maaf?" Lisna mengulang kata itu dengan suara bergetar. "Semudah itu, Mas Ardian? Setelah semua yang sudah aku korbankan? Setelah aku menahan tatapan sinis Papa serta adikmu karena menjadi istri siri?"
Ardian hanya bisa diam. Karena selama ini, faktanya tidak ada keluarganya yang menyukai kehadiran Lisna. Mama nya pun juga tidak menyukai Lisna, ia hanya menyayangi Aiden, putra mereka saja.
"Aku meninggalkan segalanya untukmu," lanjut Lisna, suaranya meninggi. "Aku rela menurunkan harga diriku agar bisa menikah dengan kamu, karena aku sangat mencintai kamu. Dan aku juga melahirkan seorang anak yang tampan dan sangat mirip dengan mu. Tapi, apa balasan kamu, Mas? Kamu malah ingin menceraikan aku."
Orang-orang di restoran mulai melirik ke arah mereka, tapi Lisna tidak peduli. Rasa sakitnya jauh lebih besar dari rasa malu.
"Aku ingin semua yang pernah kamu janjikan, Mas Ardian," kata Lisna tegas, matanya bersinar dengan amarah. "Aku tidak akan pergi dengan tangan kosong. Kamu dengar itu?"
Ardian menatapnya, terdiam. Ia tahu, Lisna bukan tipe perempuan yang akan menyerah begitu saja. Ia juga sadar, keputusan yang diambilnya hari ini akan membuka perang yang lebih besar.
"Aku sudah siapkan kompensasi," ujar Ardian pelan, mencoba meredakan situasi. "Rumah, mobil, sejumlah uang... Aku akan pastikan hidupmu tetap terjamin."
Lisna mendengus meremehkan. "Uang? Harta? Kamu pikir itu cukup untuk menutupi harga diriku yang kamu injak?"
Ardian menarik napas panjang, menahan diri agar tidak meledak.
"Lisna," katanya, mencoba bersikap setenang mungkin, "Aku tidak ingin memperkeruh semuanya. Kita bisa berpisah dengan baik-baik. Kamu dapat kompensasi itu dan aku bisa merawat Aiden bersama Eva."
Lisna mendekatkan wajahnya, menatap tajam ke matanya.
"Tidak ada perempuan yang baik-baik saja saat diceraikan. Jangan bermimpi semuanya akan berjalan mudah. Dan sampai mati pun, aku tidak akan menyerahkan putraku padamu dan perempuan mandul itu. Dia tidak layak menjadi seorang ibu."
"Berhenti bicara omong kosong, Lisna. Eva tidak seburuk itu." ucap Ardian penuh penekanan
"Aku tidak peduli! Sekarang, aku akan pergi. Dan ingat, kamu akan menyesal telah memperlakukan aku seperti ini, Mas." ucap Lisna
Setelah mengatakan itu, Lisna berdiri. Ia meraih tasnya, lalu menatap Ardian dengan tatapan penuh dendam.
Lisna berbalik, meninggalkan Ardian yang masih duduk membeku di kursinya. Suasana restoran terasa hampa, meski banyak orang di dalamnya.
Ardian mengusap wajahnya dengan kedua tangan. Ia sadar, badai besar baru saja dimulai. Dan tidak ada tempat lagi untuk bersembunyi.
Di luar restoran, Lisna berdiri sejenak, menghirup udara dalam-dalam. Wajah cantiknya kini dipenuhi bara dendam. Sambil mengetik sesuatu di ponselnya, ia berbisik pada dirinya sendiri:
"Kamu akan membayar semuanya, Mas Ardian. Dengan harga yang tidak pernah kamu bayangkan."
***
tapi kamu juga salah si Adrian ...
itu yg dirasakan Eva saat ia tau kamu selingkuh
saya suka