Pertemuan antara Yohanes dan Silla, seorang gadis muslimah yang taat membawa keduanya pada pertemanan berbeda keyakinan.
Namun, dibalik pertemanan itu, Yohanes yakin Tuhan telah membuat satu tujuan indah. Perkenalannya dengan Sila, membawa sebuah pandangan baru terhadap hidupnya.
Bisakah pertemanan itu bertahan tanpa ada perasaan lain yang mengikuti? Akankah perbedaan keyakinan itu membuat mereka terpesona dengan keindahan perbedaan yang ada?
Tulisan bersifat hiburan universal ya, MOHON BIJAK saat membacanya✌️. Jika ada kesamaan nama tokoh, peristiwa, dan beberapa annu merupakan ketidaksengajaan yang dianggap sengaja🥴✌️.
Semoga Semua Berbahagia.
---YoshuaSatio---
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon YoshuaSatrio, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
khawatir itu tak biasa
Pak Abdi menatap bingung dengan kepergian Silla dari tempat itu, begitu juga dengan Yohan yang terheran dengan sikap Silla yang terlalu santai, menurutnya.
“Sebenarnya … apa Pak Yohan mengenal Silla sebelumnya?” Pak Abdi sepertinya tak bisa lagi menahan rasa penasarannya. “Ah, maaf … bukan maksud saya lancang, tapi dari cara pak Yohan berinteraksi dengan Silla ….” Pak Abdi menggantung ucapannya, ada rasa segan yang membuatnya tak melanjutkan.
“Ya … kami pernah bertemu sebelumnya.” Tak ingin menutupi, namun rasanya juga berat mengakui, Yohan hanya menjawab sebisanya seraya menggosokkan satu telapak tangannya pada lengan lainnya karena merasa hawa dingin semakin terasa hingga ke tulang-tulangnya.
“Hm … apa karena itu juga pak Yohan memilih tempat ini untuk ,—”
“Bukan!” Yohan buru-buru memotong ucapan pak Abdi, seakan dia tahu isi hati pria paruh baya yang berdiri segan di sampingnya itu.
Yohan memasukkan kedua telapak tangannya ke saku celana untuk sekedar mengusir dingin lalu melanjutkan ucapannya. “Kolega dari ayahku … beliau yang merekomendasikan konveksi pak Abdi … namanya Om Erwinsyah.”
“Oh? Wah … dia memang orang baik, kami dulu berteman semasa sekolah menengah, tapi nasib mujur dan kegigihannya membuat Erwinsyah jauh lebih sukses dari saya.”
Yohan tersenyum simpul, “Jika pak Abdi bisa mempertahankan kualitas dan ketepatan waktu, saya rasa sebentar lagi juga Pak Abdi akan menyusul.”
“Terimakasih pujiannya, Pak Yohan. Sebenarnya saya agak canggung memanggil anda dengan sebutan Pak, tapi ….” pak Abdi tersenyum sengaja menggantung ucapannya.
“Karena saya lebih muda? Tidak apa-apa Pak. Semua orang di kantor kami memang menerapkan sebutan resmi semacam itu, wajar seperti lingkungan kerja lain juga banyak yang menerapkannya.”
“Hmm begitu ya Pak, sebagai formalitas, saling menghormati dan kesetaraan saja ya?”
“Ya, terlepas dari usia dan status mereka, sebutan resmi juga sebagai cara menjaga situasi kerja yang profesional dan formal. Saya rasa itu sedikit gambarannya.”
Yohan melihat waktu di jam tangannya, “Sepertinya semua terkendali dengan baik, maaf karena saya terlalu menekan sebelumnya … Pak Abdi sampai harus lembur hingga dini hari, saya ….”
“Tidak apa-apa Pak Yohan, saya yang harusnya minta maaf karena membuat anda harus terjaga. Maafkan juga sikap Silla yang mungkin terkadang sedikit kurang ajar, dia anak baik, hanya saja sering terlalu jujur kalau menanggapi sesuatu.”
“Apa? Kenapa aku Om?
Silla tiba-tiba sudah muncul lagi di belakang kedua pria itu.
“Ah, karena sudah selesai, saya pamit dulu, Pak. Terimakasih kerja kerasnya, sudah terlalu pagi untuk lanjut mengobrolnya. Permisi ….”
Pak Abdi dan Silla mengantar Yohan hingga ke depan pintu pabrik, tanpa ada lagi perbincangan yang berarti. Bahkan Silla pun lupa dengan tujuannya muncul kembali tadi.
“Kenapa belum tidur?” tanya pak Abdi setelah Yohan menghilang dibalik tikungan.
“Tadi mau ….” Silla membelalakkan mata baru tersadar akan tujuannya. “ah! Malah lupa mau ….” tapi ia kembali menurunkan nada bicaranya. “eh, tapi nggak usah juga lah Om.”
Pak Abdi mengernyitkan dahi, mantap aneh pada ponakannya itu, “Apasih kok jadi plin-plan … itu jaket siapa, ditenteng terus dari tadi?”
“Jaket Silla, tadi maunya pinjemin Pak Yohan, kayaknya dia kedinginan, tapi orangnya udah balik, ya udah nggak jadi.”
“Oh, begitu … hm … kenapa Om menangkap seperti ada maksud lain ya?” pak Abdi melirik Silla, sedikit menggodanya.
“Apaan sih Om … nggak ada maksud-maksud! Assalamualaikum, Silla mau tidur dulu ya Om … kita lanjutkan besok!”
Pak Andi terkekeh menatap punggung Silla yang menjauhinya, “Dasar anak nakal, tahu-tahu kok sudah pada besar aja anak-anak itu.”
.
.
.
Keesokan harinya, tepat jam tujuh pagi, armada yang disiapkan Yohan telah tiba di pabrik pak Abdi. Para pekerja pun menyelesaikan pengemasan. Tak lama Yohan pun tiba di sana.
“Semua sudah naik? Sudah dicek ulang?” tanya Yohan memastikan.
“Sudah beres Pak!” sahut Tara yang stanby mengawasi lebih awal.
“Wajah Pak Yohan kenapa merah gitu hidung dan pipinya? Flu kah?” tanya balik Tara merasa khawatir.
“Huum, dikit.” Yohan menyahut singkat seraya memijat keningnya untuk mengusir rasa pening.
“Ya sudah pak Yohan istirahat saja, biar saya nanti yang melanjutkan.”
“Hmm, aku tinggal ya, lanjutkan juga dengan projek selanjutnya, urus kontrak dan segala macamnya.”
“Siap, Pak!”
Yohan berbalik untuk segera meninggalkan Tara, namun menghentikan langkah lagi kemudian dan berbalik sejenak melihat ke raha Tara. “Pastikan mereka mengerti detail desainnya, yang ini lebih rumit soalnya, ingatkan juga klien kita adalah orang yang sangat teliti.”
“Siap Pak.”
Yohan meninggalkan Tara tanpa sempat menyapa pak Abdi yang kebetulan tak menyadari kedatangan Tara.
Namun berbeda dengan sepasang mata yang berdiri tak jauh dari pintu masuk ke pabrik. Sepasang mata yang memperhatikan dengan mata yang menyipit, menyelidik.
“Dasar … sombongnya kumat!” gerutu si pemilik mata dengan sorot kesal itu.
Tiba-tiba ponsel dalam genggamannya bergetar, sebuah pesan masuk.
—Jangan lupa kabari kalau jaketku sudah kamu bersihkan! Biar aku ambil sendiri!—
“Apa-apaan ini, pagi-pagi bikin kesel, tau gitu nggak gue cuci! Mana jaketnya gede, berat, capek tangan imut gue!” umpatnya semakin kesal.
—Nanti kalau inget, Tuan Sombong!—
Balasan dari Silla.
Beberapa saat Silla menatap layar ponselnya, namun selama itu pula tak ada apapun disana. Hanya wajah Jimin yang tersenyum menatapnya, seakan memberi semangat untuk paginya Silla.
Bahkan hingga hampir seharian, melewati malam, tak ada balasan dari Yohan.
“Sialan! Dibaca aja enggak! Tuh manusia masih hidup kagak sih?” gerutu Silla malam itu di atas pembaringan.
Silla membalikkan posisi tubuhnya, ia memiringkan tubuhnya, lalu kembali mengingat pagi tadi.
“Mohon maaf untuk projek selanjutnya sementara saya yang memantau, sepertinya Pak Yohan terlalu kelelahan, tadi tanpa sempat menyapa langsung kembali, soalnya agak nggak enak badan.”
Silla terperanjat lalu duduk saat ia baru mengingat ucapan Tara, asisten Yohan tadi pagi.
“Apa dia sakit beneran? Raksasa itu … apa dia kambuh sakit yang sebelumnya?” gumam lirih Silla.
—Hai, asistenmu bilang kamu sakit? Apa kedinginan semalam?—
Pesan terkirim cepat, setelah ia kembali memikirkan. Malam sebelumnya, Silla menyadari lengan tangan Yohan terlihat merinding sebagai respon dari seseorang yang kedinginan. Ditambah dengan wajah Yohan yang memerah hingga ke pipi.
Ia bermaksud mengambilkan jaket lain yang mungkin akan muat untuk dipakai Yohan, namun ia mengurungkan niatnya saat Yohan mendahului berpamitan.
“Nggak dibuka juga … apa dia pingsan?”
Malam yang panjang bagi Silla, entah kenapa ia justru terus teringat wajah Yohan pagi tadi, yang terlihat sedikit memerah tapi bibirnya pucat.
...****************...
Bersambung ....