Di Era Kolonial, keinginan memiliki keturunan bagi keluarga ningrat bukan lagi sekadar harapan—melainkan tuntutan yang mencekik.
~
Ketika doa-doa tak kunjung dijawab dan pandangan sekitar berubah jadi tekanan tak kasat mata, Raden Ayu Sumi Prawiratama mengambil jalan yang tak seharusnya dibuka: sebuah perjanjian gelap yang menuntut lebih dari sekadar kesuburan.
~
Sementara itu, Martin Van der Spoel, kembali ke sendang setelah bertahun-tahun dibayangi mimpi-mimpi mengerikan, mencoba menggali rahasia keluarga dan dosa-dosa masa lalu yang menunggu untuk dipertanggungjawabkan.
~
Takdir mempertemukan Sumi dan Martin di tengah pergolakan batin masing-masing. Dua jiwa dari dunia berbeda yang tanpa sadar terikat oleh kutukan kuno yang sama.
~
Visual tokoh dan tempat bisa dilihat di ig/fb @hayisaaaroon. Dilarang menjiplak, mengambil sebagian scene ataupun membuatnya dalam bentuk tulisan lain ataupun video tanpa izin penulis. Jika melihat novel ini di
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Hayisa Aaroon, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kecurigaan Raden Mas Soedarsono
Sumi menegang mendengar pertanyaan itu. Ia tidak menyangka sang suami akan menangkap perubahan sikapnya begitu cepat, menghubungkannya langsung dengan kedatangan Martin.
"Kangmas," sahutnya cepat, matanya mencari-cari titik fokus di lantai terakota alih-alih menatap langsung mata suaminya. "Saya hanya ... berbicara apa yang selama ini saya pendam."
Tapi Raden Mas Soedarsono bukanlah pria yang mudah dikelabui. Sebagai seorang patih yang terbiasa menghadapi berbagai macam orang dan intrik politik kadipaten, ia bisa menangkap kejanggalan dalam nada suara istrinya.
"Diajeng, tolong jangan berbohong kepada Kangmas," ujarnya lembut namun tegas. "Lima belas tahun bersama, Kangmas tahu kapan Diajeng berkata jujur dan kapan tidak. Seumur hidup, belum pernah Kangmas melihat Diajeng berani berkata seperti ini. Jadi pasti ada sesuatu yang terjadi. Apa yang dikatakan pemuda Belanda itu kepada Diajeng?"
Sumi menarik napas dalam-dalam, berusaha menenangkan debaran jantungnya yang semakin kencang. Angin sore bertiup lembut, membawa aroma bunga melati dari taman samping pendopo.
"Tidak ada yang dikatakan Tuan Martin," sangkalnya, kali ini dengan suara yang lebih terkendali. "Ia hanya membicarakan soal kolam ikan, seperti yang sudah saya sampaikan tadi."
Raden Mas Soedarsono mengerutkan dahi, jelas tidak percaya dengan penjelasan itu.
"Lalu mengapa sikap Diajeng berubah? Mengapa tiba-tiba bicara tentang perceraian dan menolak menjadi garwo ampil? Bukankah selama ini Diajeng selalu patuh pada keputusan Kangmas?"
Sumi terdiam. Bayangan wajah Martin kembali berkelebat dalam benaknya, kata-kata pemuda itu tentang bagaimana ia berhak mendapatkan kehidupan yang lebih baik, seperti memantik sesuatu dalam dirinya.
"Mungkin sudah waktunya saya berpikir tentang diri saya sendiri, Kangmas," ucapnya akhirnya, suaranya lirih namun jelas. "Lima belas tahun saya mengabdi sebagai istri, selalu mendahulukan kepentingan Kangmas daripada perasaan saya, menerima Kangmas menikahi garwo ampil tanpa protes sedikit pun. Saya menerima cacian dari Ibu yang terus mengatakan bahwa saya istri tidak berguna karena tidak bisa memberi keturunan."
Sumi berhenti sejenak, menarik napas dalam-dalam. Ada kesedihan yang mendalam di matanya, namun juga tekad yang belum pernah dilihat sang suami sebelumnya.
"Dan sekarang, setelah semua pengabdian itu, saya akan diturunkan derajatnya menjadi garwo ampil? Digantikan oleh perempuan yang bahkan belum membuktikan apa-apa? Maafkan kelancangan saya, Kangmas, tapi saya rasa ... saya pantas mendapatkan lebih baik dari itu."
Soedarsono terdiam mendengar pengakuan itu. Ada kebenaran dalam kata-kata Sumi yang tidak bisa ia sangkal.
Selama lima belas tahun, Sumi memang telah menjadi istri yang sempurna—mengurus rumah tangga dengan baik, menerima poligami tanpa protes, bahkan tetap tegar menghadapi cibiran dari ibu mertuanya sendiri.
"Kita terikat oleh tradisi, Diajeng," ucap Soedarsono akhirnya, suaranya lebih lembut. "Kangmas tahu ini tidak adil, tapi ini adalah jalan terbaik yang bisa Kangmas tawarkan agar kita tetap bersama. Ibu menginginkan Retno menjadi istri utama karena dia masih muda dan terbukti bisa mempunyai anak. Tapi Kangmas tidak mau kehilangan Diajeng."
"Saya mengerti beban Kangmas sebagai anak laki-laki satu-satunya yang harus meneruskan garis keturunan," balas Sumi. "Tapi jika Kangmas benar-benar menghargai pengabdian saya selama ini, Kangmas akan tetap mempertahankan kedudukan saya sebagai garwo padmi."
Suasana semakin tegang di antara mereka. Di kejauhan, lampu-lampu minyak mulai dinyalakan oleh para abdi, menerangi halaman Dalem Prawirataman yang mulai gelap.
Bayangan pohon-pohon mangga dan rambutan menari-nari di tanah, digerakkan oleh angin malam yang mulai berhembus.
"Kangmas tidak bisa," ucap Soedarsono akhirnya, ada keputusasaan dalam suaranya. "Itu syarat dari keluarga Retno. Mereka tidak akan menerima jika putri mereka tidak menjadi garwo padmi. Dan Ibu sangat menginginkan pernikahan ini terjadi."
Sumi tersenyum pahit. Pernikahan selalu tentang politik dan status bagi keluarga bangsawan Jawa, bukan tentang cinta atau kesetiaan. Ia seharusnya tahu itu sejak awal.
"Kalau begitu, Kangmas sudah memilih," ucapnya dengan suara yang bergetar. "Dan pilihan Kangmas bukan saya."
"Jangan berkata seperti itu, Diajeng," Soedarsono menggapai tangan istrinya, namun Sumi dengan halus menarik tangannya menjauh. "Kangmas memilih jalan di mana kita bisa tetap bersama."
"Dengan menurunkan derajat saya?" tanya Sumi. "Dengan menunjukkan pada seluruh masyarakat bahwa saya telah gagal sebagai istri? Tidak, Kangmas. Saya lebih baik mengundurkan diri dengan hormat daripada diturunkan dengan aib."
Raden Mas Soedarsono menatap istrinya dengan tatapan yang sulit diartikan—campuran antara kekaguman, kesedihan, dan juga ... kecurigaan.
Sumi tidak pernah berbicara seperti ini sebelumnya. Selama lima belas tahun, ia selalu menjadi istri yang patuh, yang menurut pada setiap keputusan suaminya tanpa banyak bertanya.
"Saya tetap curiga ada pengaruh dari pemuda Belanda itu," ucap Soedarsono akhirnya. "Diajeng tidak mungkin tiba-tiba berubah seperti ini tanpa alasan."
Sumi terdiam sejenak. Haruskah ia mengakui bahwa kata-kata Martin memang telah menggugah sesuatu dalam dirinya?
Bahwa pertemuannya dengan pemuda itu telah membuka matanya tentang betapa ia telah mengorbankan dirinya selama bertahun-tahun demi tradisi dan keluarga?
"Tuan Martin hanya membicarakan bisnis," ulangnya, masih bersikeras dengan sanggahannya. "Jika ada yang berubah dalam diri saya, itu karena saya telah banyak berpikir akhir-akhir ini. Tentang hidup saya, tentang masa depan saya jika Kangmas benar-benar menceraikan saya seperti yang diinginkan Ibu."
Suara langkah kaki terdengar mendekat dari arah dalam rumah. Mbok Sinem, abdi kepercayaan Sumi, muncul dengan membawa nampan berisi dua cangkir teh dan sepiring kecil kue-kue tradisional.
"Permisi, Ndoro," ucapnya sambil menunduk hormat. "Si Mbok bawakan teh untuk Ndoro berdua."
Kehadiran Mbok Sinem menginterupsi pembicaraan mereka, mungkin tepat pada waktunya sebelum situasi menjadi semakin tegang.
Sumi menatap abdi perempuan yang telah mengabdi pada keluarganya sejak masih gadis. Ada kelembutan dan pengertian di mata tua itu, seolah mengerti pergumulan batin yang sedang dialami oleh majikannya.
"Terima kasih, Mbok," ucap Sumi dengan senyum tipis.
Setelah Mbok Sinem menjauh, Soedarsono mengambil cangkir tehnya, menyesapnya perlahan sebelum kembali menatap istrinya.
"Kita akan bicarakan ini lagi nanti malam," ucapnya, suaranya kembali tenang dan berwibawa seperti biasa. "Kangmas harap Diajeng bisa berpikir lebih jernih, tidak terbawa emosi sesaat."
Sumi hanya mengangguk pelan, tidak menjawab. Dalam hatinya, ia tahu bahwa ini bukan sekedar emosi sesaat.
Perubahan yang terjadi dalam dirinya lebih dari itu—ini adalah kesadaran baru, sebuah kebangkitan akan harga dirinya sebagai perempuan.
Ketika Soedarsono beranjak pergi untuk membersihkan diri sebelum makan malam, Sumi tetap duduk di pendopo.
Matanya menatap jauh ke arah gerbang di mana mobil Ford hitam Martin menghilang beberapa saat lalu.
Selain ketakutan akan aib yang mungkin ditimbulkan oleh pertemuannya dengan pemuda Belanda itu, ada sesuatu yang lain yang ia rasakan—sebuah kegamangan akan masa depan yang mungkin tidak akan mudah bagi seorang janda tanpa anak seperti dirinya.
puaaanaaaskan
suami nya banyak istri
mungkin yg mandul Raden Soedarso sendiri