Di khianati dan terbunuh oleh orang yang dia cintai, Nada hidup kembali di tubuh seorang gadis kecil yang lemah. Dia terkejut dan tidak tahu harus berbuat apa?
"Kakak, tolong balaskan dendam ku." Pinta gadis kecil yang namanya hampir sama dengan Nada.
"Hah!! Gimana caranya gue balas dendam? tubuh gue aja lemah kayak gini."
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nopani Dwi Ari, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab.27
Beberapa hari kemudian, pencarian barang bukti dan saksi membuahkan hasil. Samudra menemukan Dimas di rumahnya setelah bekerja secara senyap.
Saat itu, keluarga Dimas sedang mengalami masalah keuangan yang serius karena ayahnya membutuhkan operasi pengeluaran cairan di paru-parunya yang memerlukan biaya besar.
Samudra menawarkan bantuan dengan syarat tertentu, dan Dimas setuju. Keluarga Dimas kini berada di bawah pengawasan keluarga Samudra.
"Kak Sam," panggil Nada sambil memeluk Samudra erat.
"Aduh, kamu berat ya sekarang," goda Samudra, membuat Nada cemberut.
"Ihh, nyebelin! Puas-puasin aja peluk aku. Siapa tahu besok bukan aku di tubuh ini, tapi pemilik aslinya," kata Nada dengan mata yang mulai memanas.
"Nada, bisakah kamu tidak bicara seperti itu?" pinta Samudra dengan lirih.
"Tapi itu kenyataan, Kak. Tubuh ini bukan milikku, aku hanya meminjam," jawab Nada dengan nada sedih.
"Bolehkah, Kakak egois. Nad?"
Nada menggeleng, mereka saling berpelukan, menikmati momen singkat itu.
****
Di apartemen milik Samudra, Dimas, ibunya, Nira, dan adiknya, Dila, duduk menikmati makanan yang sangat mereka impikan. Makanan itu biasanya hanya bisa mereka nikmati saat Idul Adha.
"Mereka baik sekali, ya Bu! Mereka bayar SPP aku sampai aku lulus dan membelikan aku tas, seragam, sepatu, buku, dan kebutuhan lainnya yang baru," cerita Dila, yang berusia empat belas tahun.
"Iya, adikmu benar. Mas, di mana kamu mengenal mereka?" tanya Nira.
Dimas menghembuskan napas pelan, lalu menatap ibunya dan adiknya. Ayahnya sementara dijaga oleh suster dan bodyguard Samudra.
"Ibu ingat, kan? Kejadian dua atau tiga tahun yang lalu saat rumah susun kita digemparkan dengan penemuan mayat perempuan?" Dimas menatap ibunya.
"Iya, Ibu ingat. Rusun kita hampir bangkrut waktu itu. Memangnya kenapa?" tanya Nira.
"Mereka adalah kerabat perempuan yang dibunuh itu, Bu. Aku melihat pembunuhnya, dan mereka meminta aku menjadi saksi," terang Dimas.
"Percaya atau tidak, katanya saudara mereka hidup di tubuh anak kecil," lanjut Dimas, menatap ibunya dan adiknya dengan serius.
"Hah? Serius, Kak? Masa ada yang kayak gitu?" Dila menggelengkan kepala, tampak tidak percaya.
Berbeda dengan Dila, Nira lebih cenderung mempercayai hal itu. Mungkin karena masih ada urusan di dunia ini yang belum selesai bagi mereka.
Mereka terdiam, masing-masing tenggelam dalam pikirannya sendiri.
****
Di kediaman Rowman, dia sangat terkejut dengan berita yang dibawa Lucas tentang harta yang seharusnya untuk Hana tapi malah atas nama Kara.
"Tidak mungkin, Luke! Bagaimana bisa? Kenapa kamu begitu, ceroboh?" bentak Rowman frustasi.
"Itu yang aku tahu, Man. Saat itu Hana bilang semua sudah dia lakukan," jawab Lucas.
"Dan bodohnya, aku percaya pada Hana." Lanjut Luke penuh sesal.
Rowman menarik napas dalam-dalam dan menghembuskannya perlahan, tidak tega memarahi anaknya.
"Lalu bagaimana?" tanya Rowman.
"Kita harus menemui Kara," usul Lucas.
"Tapi aku tidak tahu rumahnya di mana?" Rowman merasa putus asa, seketika pikirannya blank. Begitu pula dengan Luke.
Padahal mereka bisa menggunakan kekuasaan untuk mencari Kara.
Tiba-tiba, deru mesin mobil terdengar. Rowman tahu bahwa itu pasti Salsa, istrinya yang baru pulang setelah tiga hari. Entah kemana.
"Bagus, kamu masih ingat rumah!" marah Rowman, menatap tajam Salsa.
"Apaan sih, lebay banget! Biasanya kamu juga tidak peduli," cibir Salsa dengan mata yang berputar malas.
"Salsa!" teriak Rowman dengan nada marah.
"Apa? Kenapa kamu peduli aku pulang? Kamu selalu sibuk dengan anakmu, dan jika aku ada di rumah pun, kamu hanya membandingkan aku dengan Nada, Nada, dan Nada!" balas Salsa dengan teriakan juga.
"Dia sudah mati, Rowman! Terima kenyataan ini! Aku Salsa, bukan Nada. Jadi, kita berbeda!" Salsa meninggikan suaranya, lalu pergi meninggalkan ruang tamu dengan nafas yang naik turun.
Lucas hanya bisa mendesah melihat pertengkaran antara Rowman dan Salsa. Di sudut ruang, Hana menangis memeluk boneka kesayangannya, terpengaruh oleh teriakan orang tuanya.
"Aku takut." Lirih Hana.
****
"Evelin, makan dulu." Bujuk Sekar, sudah beberapa hari Evelin dirawat dan kini kondisinya sudah membaik. Dokter bahkan sudah mengizinkan Evelin pulang sore nanti.
"Aku tidak lapar, Mbak. Nanti saja," balas Evelin.
Sekar mencoba memahami Evelin.
"Evelin, kamu kenapa? Coba cerita sama Mbak, siapa tahu Mbak bisa bantu." Evelin menggeleng, enggan menceritakan masalahnya.
"Lalu dimana Kara? Jayden sudah mencarinya kemana-mana, tapi dia tidak ada. Bahkan di rumah Bagas," kata Sekar.
"Aku tidak tahu, dia sudah pergi dan Kara sudah mati," lirih Evelin.
Sekar terkejut. "Evelin, jangan bicara sembarangan! Kara anak kamu, kamu mengutuk dia mati!"
"Mbak tidak akan mengerti," bentak Evelin, air matanya membasahi pipi. "Kara sudah tidak ada, Kara pergi."
Sekar bertanya dengan lembut, "Pergi ke mana? Sama Alfa?"
Namun, Evelin langsung merebahkan tubuhnya dan membelakangi Evelin. Dia memandang keluar jendela, berharap semua adalah mimpi.
Sekar pun pasrah, dan tidak bisa memaksa Evelin. Dia memutuskan untuk keluar dari ruangan Evelin, dan menghubungi Jayden menanyakan kabar Kara.
*****
Setelah mendapat kabar tentang hilangnya Kara dari Jayden, Bagas segera mencari anaknya di tempat-tempat yang mungkin dikunjungi. Namun, usahanya sia-sia; Bagas tidak menemukan Kara.
Saat ponselnya berdering, Bagas menjawab panggilan dari Rina.
"Mas, kamu di mana?" tanya Rina.
"Di taman, aku sedang mencari Kara," jawab Bagas.
"Ngapain sih dicari, dia bukan tanggung jawabmu."
"Dia anakku, Rina. Bagaimana bisa kamu mengatakan, itu?" marah Bagas.
"Tapi, Mas, Isabel juga butuh kamu. Dia nyariin kamu."
"Tolong kamu kasih dia pengertian, selama ini aku sudah abai pada Kara."
Tanpa menunggu jawaban, Bagas mematikan sambungan panggilannya dan memejamkan mata. Sudah beberapa hari dia belum menemukan Kara.
"Kara, kamu di mana, sayang? Maafkan Papa ya!" ucap Bagas dengan penuh penyesalan.
****
Di panti asuhan, Nada menghabiskan waktu bersama Bunda Kasih, merawat bunga, bermain dengan adik-adiknya, dan membuat kue.
Kehadiran Nada membuat Bunda Kasih lebih bersemangat, meskipun Nada kini berada dalam versi yang berbeda.
Bunda Tari, ikut duduk di sebelah Bunda Kasih.
"Nada kayaknya senang ya, Bun?"
Bunda Kasih mengangguk setuju, dengan ucapan Bunda Tari.
"Iya, Bunda harap Nada yang bertahan di tubuh Kara. Tapi, Bunda juga kasihan pada orang tua Kara."
"Kita tidak boleh egois, Bun. Bagaimanapun kehidupan Kara masih panjang." Bunda Tari mengingatkan, dijawab anggukan oleh Bunda Kasih.
Mereka menatap Nada yang tertawa ceria, dan Bunda Kasih teringat tentang kemungkinan Nada menitipkan Hana, anak Rowman dan Salsa, jika mereka di tangkap.
Nada menatap Bunda Kasih, Bunda Tari, dan Mbak Aida dengan perasaan yang kompleks. Dia ingin menikmati waktu di dunia ini, tapi dia sadar bahwa ini adalah hidup Kara, bukan miliknya.
"Kara," ucap Nada dalam hati, menyadari perbedaan antara dirinya dan Kara.
bersambung...